Jayapura, Jubi – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mendukung upaya para pihak maupun lembaga yang mendorong upaya pemerintah yang bersih, termasuk memerangi budaya amplop yang dilakukan aparatur negara terhadap jurnalis.
“AJI Indonesia sangat mendukung upaya lembaga-lembaga yang berupaya mendorong agar jurnalis tidak menerima amplop atau suap,” kata Suwarjono kepada Jubi, melalui sambungan telepon dari Jakarta, Jumat (22/4/2016).
Pernyataan ini disampaikan menjawab pertanyaan Jubi tentang pernyataan organisasi advokasi pers dan media, Reporters Sans Frontieres (RFS) atau Reporters Without Border yang menyebutkan banyak jurnalis di Papua yang diupah rendah hingga praktek suap atau amplop marak terjadi.
Menurut menurut Ketua AJI Indonesia ini, salah satu potensi suap dalam praktek jurnalisme adalah jika pemerintah daerah memiliki Aggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang berkaitan dengan jurnalis.
“Pemerintah daerah harus menghentikan dan menghapus APBD yang berkaitan dengan jurnalis itu,” katanya.
Jurnalis yang profesional, menurutnya, tidak boleh menerima imbalan, uang ataupun bentuk lainnya dari narasumber, karena itu bentuk suap, pelanggaran kode etik serius dan akan mempengaruhi pemberitaan.
Suap dalam praktek jurnalisme di Papua menjadi catatan khusus RSF tahun ini. Christophe Deloire, Sekretaris Jenderal RSF menyebutkan banyak jurnalis yang diupah rendah di Papua sehingga membuka peluang terjadinya suap. Pernyataan ini juga disampaikan RSF dalam laporan Index Kebebasan Pers 2016.
“Banyak jurnalis di Papua terima suap. Mereka diupah rendah sehingga mau menerima suap sebagai imbalan untuk liputan yang positif,” ungkap Deloire. (*)