Papua No. 1 News Portal | Jubi
Sejumlah siswa berseragam menyangka tempat yang mereka kunjungi hanya hamparan perbukitan, kerikil, dan pohon-pohon seukuran lengan. Tapi semakin dijejaki, rasa penasaran mereka semakin terjawab.
Lokasi ini ternyata situs bersejarah. Di dalamnya menyimpan kisah masa lalu masyarakat di sekitar danau Sentani. Setidaknya itu yang dialami Dominikus Kawib, siswa SMK Negeri 5 Sentani. Langkah Dominikus semakin mantap bersama kawan-kawannya menyusuri ratusan anak tangga, jalan setapak, bebatuan dan semak-semak.
Sesekali mereka mengusap keringat. Lalu berhenti sambil ngos-ngosan di atas pondok-pondok kecil yang menaungi batu-baru. Mereka menyebutnya sektor atau perhentian. Ada enam sektor yang harus dilalui nanti sampai ke puncak bukit.
Mereka seperti sedang melakukan hiking. Tapi tidak. Langkahnya kian cepat. Menyusuri bukit setinggi 150 sampai 200 meter dari permukaan laut.
Pada punggung bukit pertama, di samping sebuah pondok, sebuah jaring bak gawang, di sisi kanan bertuliskan “Tutari”. Mereka pun duduk, berdiskusi, sambil menggoreskan catatan pada buku yang mereka bawa masing-masing.
“Harapan kami semoga situs ini dijaga dengan baik,” katanya.
Sedang beberapa siswa lainnya menekur jalan raya dan Danau Sentani, serta perbukitan hijau di seberang danau, bukit Tungkuwiri.
Lokasi yang mereka kunjungi Kamis siang itu , 21 November 2019, adalah Situs Megalitik Tutari, yang berada di Kampung Doyo Lama, Distrik Waibu, Kabupaten Jayapura, Papua. Sejak Rabu kemarin sejumlah siswa SD dan SMP berdatangan mengikuti kegiatan bertajuk “Rumah Peradaban Situs Megalitik Tutari untuk Generasi Milenial”.
Didampingi guru-gurunya, mereka mengikuti lomba menggambar peta NKRI, menggambar Garuda Pancasila, menggambar motif megalitik Tutari dengan media kertas, lomba cerita rakyat Sentani, dan lomba rekonstruksi gerabah. Diselingi permainan, mop, dan yel-yel.
Kamis siang itu juga , sejumlah siswa SMA/SMK, mahasiswa jurusan Antropologi Universitas Cenderawasih (Uncen) dan Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Tanah Papua mengikuti lomba swafoto, vlog, debat, melukis, pidato, dan penulisan karya ilmiah populer usai mengunjungi Situs Tutari.
Ketua Panitia Rumah Peradaban Situs Megalitik Tutari, Hari Suroto mengatakan kegiatan ini bertujuan untuk memperkenalkan situs tersebut kepada siswa, meningkatkan keingintahuan dan wawasan mereka dengan berkunjung ke lokasi.
Selain itu, Rumah Peradaban Situs Megalitik Tutari juga bertujuan untuk memotivasi siswa agar menghargai peninggalan prasejarah.
“Dan menggali serta memunculkan kreativitas dan berekspresi para siswa melalui melukis dan karya ilmiah populer,” ujar Hari.
Suroto berujar bahwa kegiatan yang dilakukan pihaknya diharapkan menambah wawasan pelajar tentang situs, motif, pusat informasi budaya, dan menggaet keterlibatan semua pihak untuk melestarikan Situs Tutari.
Situs Tutari adalah peninggalan masa lalu masyarakat pesisir danau Sentani, terutama sekitar Doyo Lama. Pada masa lalu situs ini merupakan perkampungan suku Tutari yang kini sudah punah.
Dalam catatan laman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan, situs ini menjadi salah satu kajian dalam Rapat Kajian Tim Ahli Cagar Budaya Nasional 2017. Profesor Dr. Dr. Harry Truman Simanjuntak menyatakan bahwa situs ini merupakan situs megalitik tertua di Papua.
Peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Bagyo Prasetyo pada 1994 dan 1995 mengelompokkan objek di situs Tutari ke dalam empat kelompok, yaitu, kelompok batu berlukis 83 buah dengan 138 objek lukisan (ikan, biawak, manusia, kura-kura, burung, ular, flora, geometris, dan kapak batu), jajaran batu dua deret yaitu, deret satu 44 buah batu dan deret dua 72 buah batu, menhir 110 buah, dan batu lingkar sebanyak 8 buah.
Balai Arkeologi (Balar) Papua pada 2018 melakukan ekskavasi atau penggalian dan menemukan fragmen-fragmen gerabah polos pada area lukisan di sektor empat di selatan jajaran batu (sektor 5).
Balar Papua kemudian mengelompokkan peninggalan di situs ini menjadi enam sektor, yaitu sektor 1 terdapat motif ikan dan kadal, sektor 2 motif ikan dan geometris, sektor 3 motif ikan, kadal, geometris dan kura-kura, sektor 4 motif ikan, kadal, geometris, motif lingkaran-lingkaran sebanyak 18 buah yang dihubungkan oleh garis, kura-kura, manusia, dan flora.
Pada sektor 4 ini terdapat batu gaib menyerupai kepala, leher, dan badan berjumlah empat buah, yang diyakini sebagai Ondoafi Uli Marweri yang mengalahkan suku Tutari (Ebe, Pangkatana, Wali dan Yapo).
Sedangkan di sektor 5 terdapat batu berbaris, membentuk dua barisan memanjang di arah barat laut dan timur daya, yang diyakini sebagai penghubung manusia dan alam (tempat roh nenek moyang bersemayam).
Semakin ke puncak, ditemukan 110 menhir atau batu yang ditegakkan seperti tiang yang ditopang batu-batu kecil. Ukuran batu-batu tegak lonjong ini bervariasi–dari ukuran batu bata merah, hingga seukuran badan orang dewasa. Di puncak ini adalah sektor 6 yang diyakini sebagai tempat bersemayamnya roh leluhur.
Jeni Mangeka, guru SMA Negeri 1 Sentani, yang mendampingi sembilan muridnya mengunjungi Bukit Tutari meminta agar situs ini dirawat dengan baik. Dia juga meminta tiap sektor dipasang plang atau penunjuk arah sehingga pengunjung dapat mengenalinya dengan mudah.
Batu-batu bersejarah juga masih ditemukan berlumut. Oleh sebab itu, pihak-pihak yang bertanggung jawab atas lokasi Tutari harus memperhatikan dengan baik dan membersihkannya, untuk menambah daya tarik bagi pengunjung.
Dia berujar bahwa Bukit Tungkuwiri, yang berhadapan dengan Situs Megalitik Tutari justru lebih ramai dikunjungi. Padahal Tutari bukan sekadar objek wisata budaya, tetapi juga tempat belajar, terutama mempelajari sejarah masa lalu di Papua dan Sentani.
“(Ada nilai) sejarah, bahasa Indonesia, seni, budaya juga,” kata guru pendidikan seni budaya SMA Negeri 1 Sentani ini.
Dia berharap agar lomba-lomba yang digelar menjadi ajang bagi generasi milenial untuk memperkenalkan Situs Tutari kepada publik dan menjadi objek wisata budaya, sejarah dan alam.
Senada dikatakan warga Dondai, Daud Wally, yang ditemui Jubi di Tutari. Wally mengatakan bahwa situs prasejarah ini merupakan aset daerah dan provinsi yang harus dirawat dengan baik. Situs ini akan menjadi lokasi yang ramai dikunjungi masyarakat Jayapura, apalagi menjelang PON XX tahun 2020.
Dirinya bahkan kaget, karena masih ditemukan sampah dedaunan kering pada jalan setapak dan anak tangga sepanjang lokasi situs. Dia pun menyarankan agar Pemerintah Provinsi Papua dan Kabupaten Jayapura bekerja sama dengan masyarakat adat setempat, untuk mempekerjakan anak-anak muda di sekitar lokasi situs agar tetap terjaga kelestariannya.
“Mungkin bisa jadikan anak-anak (pemuda di kampung-kampung) sapu-sapu ka,” kata Wally.
Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kabupaten Jayapura, Elvis Kabey mengatakan bahwa pengelolaan Situs Tutari menjadi tanggung jawab Pemerintah Provinsi Papua. (*)
Editor: Syam Terrajana