Papua No.1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Sekitar 100 mahasiswa exodus memadati aula Asrama Ninmin di Jalan Biak Abepura, Kota Jayapura pada Kamis, 6 Januari 2022. Mereka berkumpul mendiskusikan seputar konflik yang terjadi di Papua dan menyatakan sikap meminta Gubernur Papua, DPRD Papua, dan MRP bertanggung jawab penuh atas kelanjutan pendidikan mereka setelah kasus rasisme.
Peristiwa rasisme 2019 terhadap mahasiswa Papua di Surabaya, Malang, Semarang, dan Makassar mengakibatkan eksodus besar-besaran mahasiswa Papua yang berstudi di Jawa, Bali, Sulawesi hingga Ambon kembali ke Tanah Papua.
Atas kejadian itu MRP mengeluarkan maklumat Nomor: 05/MRP/2019 pada 21 Agustus 2019 yang menyatakan apabila tidak ada jaminan keamanaan di tempat studi maka mahasiswa Papua dapat kembali dan melanjutkan studinya di Tanah Papua.
Koordinator Posko Umum Mahasiswa Eksodus Awi Pahabol mengatakan sudah dua tahun ini tidak ada kejelasan nasib pendidikan bagi mahasiswa eksodus. Saat ini ada sekitar 700 mahasiswa eksodus yang berada di Tanah Papua.
BACA JUGA: Mahasiswa nilai pendidikan di Papua belum maksimal
Pihaknya meminta pertangungjawaban dari Gubernur Papua dan MRP untuk mengurus pendidikan bagi mahasiswa eksodus tersebut. Mereka tidak akan kembali ke tempat studi mereka karena sudah tidak merasa aman.
“Kami kembali ke Tanah Papua kerena diperlakuan rasis dan adanya maklumat dari MRP. Jadi kami meminta MRP bertanggung jawab atas pendidikan kami, karena pendidikan itu hak setiap orang dan kami adalah generasi masa depan Papua,” kata Pahabol kepada Jubi.
Penasehat Hukum Mahasiswa Eksodus Papua Haris Azhar mengatakan persoalan pendidikan mahasiswa eksodus adalah tanggung jawab Pemerintah Provinsi Papua dan MRP. Menurutnya MRP, dan terutama Pemerintah Provinsi Papua, tidak perlu bersilat lidah lagi karena itu tanggung jawabnya mereka.
“Dulu mereka pulang karena adanya maklumat dan juga kerentanan keamanan mahasiswa eksodus di beberapa wilayah di Indonesia,” kata Azhar kepada Jubi.
Menurut Azhar harusnya Pemerintah Provinsi Papua mengambil tanggung jawab dengan membuat suatu program bagi mahasiswa yang tidak mau kembali ke tempat asal studinya. Maka mereka harus difasilitasi bisa kuliah di kampus-kampus di Papua atau Papua Barat.
“Untuk bidang studinya bisa disesuaikan dengan fakultas-fakultas yang ada di kampus-kampus yang ada di Papua dan Papua Barat,” ujarnya.
Azhar mengatakan jika ilmu yang diambil di luar Papua tidak ada fakultas atau jurusannya di kampus-kampus di Papua dan Papua Barat, mungkin dicari caranya. Atau mau kembali ke daerah asal studi Pemprov Papua harus membuat tim untuk kerja sama dengan pemprov dan pemkab di tempat studi mahasiswa tersebut. Supaya bisa menjamin keamanan bagi mahasiswa Papua melanjutkan studinya.
“Menurut saya sesimpel itu, cuma butuh kesadaran dan kemauan. Kalau cara kan banyak, kalau duit kan Pemrov Papua banyak, bahkan menurut Menteri Keuangan ada uang trilunan rupiah yang belum digunakan. Teman-teman ekodus ini kan Orang Asli Papua, jadi buat saya tidak ada alasan untuk tidak bertanggung jawab,” katanya.
Mahasiswa Eksodus, Gerads Miagoni mengaku sudah dua tahun tidak berkuliah. Ia sebelumnya berkuliah di Jurusan Hukum Universitas Dr. Soetomo, Jawa Timur.
Mahasiswa Asal Nduga tersebut hanya berkuliah hingga semester 7. Ia memutuskan pulang ke Papua setelah kasus rasisme, karena sudah tidak merasa aman di kota studinya.
Miagoni kini berencana melanjutkan kuliah di Universitas Cenderawasih. Ia berharap Pemrov Papua dapat bertanggung jawab dengan mengurus kelanjutan pendidikan mereka di Papua.
Kasus rasisme 2019 juga menyebabkan empat mahasiswa Papua meninggal dunia. Keempat korban ditembak saat pembubaran posko mahasiswa eksodus di Waena oleh pihak keamanan.
Orang tua korban penembakan, Atni Wasareak berharap pelaku penembakan dapat diadli. Atni merupakan orang tua dari almarhum Yermanus Wesareak yang ditembak saat pembubaran posko mahasiswa eksodus di Expo.
“Kami orang tua selalu berdoa proses berjalan dengan baik. Walaupun kami tahu ujungnya keadilan tidak pernah ada buat kami,” katanya.
Ia berpesan agar mahasiswa yang masih kuliah melanjutkan kuliah hingga selesai agar bisa membangun Tanah Papua.
“Penuhi masa depan dengan ilmu yang cukup, jangan belajar setengah-setengah,” ujarnya. (*)
Editor: Syofiardi