60 tahun Bintang Kejora berkibar di Tanah Papua

Bintang Kejora, Papua
Foto ilustrasi, pengibaran bendera Bintang Kejora. - Jubi/Dok

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Jayapura, Jubi – Tepat 60 tahun lalu, pada 1 Desember 1961, bendera Bintang Kejora atau Morning Star berkibar untuk pertama kalinya di depan Gedung Nieuw Guinea Raad, Kota Jayapura. Kini, gedung di Jalan Irian itu dikenal sebagai Gedung Dewan Kesenian Papua.

Saat itu, Ketua Komite Nasional Papua, Willem Inury berpidatonya dan mengatakan, ”hari ini, tanggal 1 Desember 1961, kita menaikan bendera, bendera Papua Barat di atas sebuah Gedung yang belum selesai dibangun.” Pengibaran bendera Bintang Kejora pada 1 Desember 1961 itu menjadi simbol pengakuan politik Belanda terhadap berdirinya negara Papua Barat.

Willy Joost Mirino, jurnalis senior dan editor Suara Perempuan Papua dalam artikelnya berjudul “Dewan Papua , Sejarah Kiprah dan Revitalisasi” menulis pada 10 Okotber 1961 para anggota Nieuw Guinea Raad (NGR, parlemen Papua Barat), Nicolash Jouwe menggunakan hak inisiatif untuk menetapkan rancangan bendera Bintang Kejora sebagai bendera Nasional Papua. Selain itu, lagu Hai Tanahku Papua gubahan IS Kijne menjadi lagu kebangsaan Papua Barat.

Baca juga: Demonstrasi mahasiswa Papua di Denpasar diwarnai bentrok dengan Ormas

Meskipun pengibaran bendera Bintang Kejora pada 1 Desember 1961 tidak disertai pernyataan Proklamasi Kemedekaaan Papua Barat, peristiwa itu ditanggapi dengan keras oleh Presiden RI pertama, Soekarno. Soekarno mengeluarkan Tri Komando Rakyat (Trikora) pada 19 Desember 1961 di Yogyakarta, yang berisi tiga butir pernyataan.

Pertama, gagalkan negara boneka Papua, istilah yang digunakan Soekarno untuk menyebut embrio negara Papua Barat. Kedua, kibarkan Merah Putih di Papua. Ketiga, mobilisasi umum untuk merebut Papua pada Belanda.

Proklamasi kemerdekaan Papua justru dinyatakan jauh hari setelah pengibaran pertama Bintang Kejora. Pada 1 Juli 1971, Brigadir Jenderal Zeth Rumkorem yang berada di Markas Victoria memproklamirkan kemerdekaan Papua. Dalam proklamasi itu, Rumkorem dan pasukannya menaikan bendera Bintang Kejora, serta menyanyikan lagu Hai Tanahku Papua.

Brigadir Jenderal Zeth Rumkorem adalah seorang mantan Letnan Satu TNI AD dari Kodam IV/Diponegoro. Mayjen Samsudin dalam buku berjudul “Pergolakan di Perbatasan” menyebutkan bahwa Zeth Rumkorem adalah lulusan Sekolah Calon Perwira TNI AD dari Pusat Pendidikan Infanteri di Bandung. Dia tak memungkiri kalau Zeth Rumkorem punya ketrampilan militer dalam medan tempur.

Baca juga: Enam Pemuda ditahan usai kibarkan Bendera Bintang Kejora di GOR Cenderawasih

Rumkorem juga dibantu oleh seorang lulusan Akademi Kepolisian Republik Indonesia, Letnan Dua (sekarang Inspektur Dua) Barnabas Fairyo. Mereka memimpin pasukannya di belantara hutan yang membentang di perbatasan antara Papua Barat dan Papua Nugini (PNG). Zeth  Rumkorem akhirnya memperoleh suaka politik dan pergi ke Yunani, hingga akhirnya meninggal di Belanda. Sementara Barnabas Fairyo menetap di PNG.

Proklamasi Zeth Rumkorem bukan satu-satunya proklamasi kemerdekaan bangsa Papua Barat. Pada 14 Desember 1988, Dr Thomas Wanggai berserta para pendukungnya memproklamirkan Republik Melanesia Barat di Lapangan Mandala, Kota Jayapura.

Proklamasi Republik Melanesia Barat itu membuat beberapa tokoh, termasuk para mahasiswa Papua saat itu, ditangkap dan diadili, termasuk Tom Wanggai. Tokoh yang memproklamasikan negara berbendera Bintang 14 itu akhirnya meninggal di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang Jakarta pada 13 Maret 1996, dan dimakamkan di Jayapura pada 18 Maret 1996.

Larangan untuk Bintang Kejora

Sekalipun pernah ada bendera Bintang 14 yang diusung Dr Thomas Wanggai dan para pendukung Republik Melanesia Barat, tetapi bendera Bintang Kejora yang dikibarkan pada 1 Desember 1961 tetap menghidupi gerakan kemerdekaan Papua Barat. Sejarah pengibaran Bintang Kejora pada 1 Desember 1961 tidak tercantum dalam buku pelajaran sejarah Indonesia, namun hidup dalam ingatan orang asli Papua, dan menghidupi impian mereka meraih kemerdekaan.

Rezim Orde Baru dan aparatus militernya selalu melarang pengibaran bendera Bintang Kejora. Banyak orang Papua dibunuh, dianiaya, atau dipenjara gara-gara bendera Bintang Kejora.

Bendera Bintang Kejora baru bebas berkibar di Tanah Papua saat Presiden Abdurrahman Wahid mengizinkan pengibarannya pada 1 Desember 1999. Gus Dur, sapaan Presiden Abdurrahman Wahid mengapresiasi Bintang Kejora bukan sebagai simbol politik gerakan Papua merdeka, namun sebagai simbol budaya bagi orang Papua.

Laman berita Merdeka.com menyebut, Gus Dur meyakini tidak ada yang salah dengan pengibaran Bintang Kejora, selama ia dikibarkan berdampingan dengan bendera Merah Putih. Dalam diskusi di Kantor PBNU pada 6 Juli 2007, Gus Dur menjelaskan alasannya mengizinkan Bintang Kejora dikibarkan di Tanah Papua. “Bintang kejora bendera kultural. Kalau kita anggap sebagai bendera politik, salah kita sendiri,” kata Gus Dur kala itu, sebagaimana dikutip dari Merdeka.com.

Baca juga: Peringatan 1 Desember, KNPB Pusat imbau orang Papua berdoa di rumah

Namun, pada era Presiden Megawati Soekarnoputri maupun Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono pemerintah kembali resisten terhadap pengibaran Bintang Kejora. Ketika Majelis Rakyat Papua mengajukan usulan soal lambang dan bendera daerah, pemerintah justru mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007 tentang Lambang Daerah. Aturan baru itu melarang Bintang Kejora dijadikan lambang atau bendera daerah.

Kenyataannya, orang asli Papua tidak lantas surut atau lupa akan peristiwa bersejarah pada 1 Desember 1961, ketika Bintang Kejora pertama kali dikibarkan. Kenyataannya, dari masa ke masa Papua selalu melahirkan tokoh baru yang melanjutkan upaya menuntut pengakuan kemerdekaan Papua, pun setelah pemerintah membuat beleid melarang pengibaran Bintang Kejora.

Pada 2014, para tokoh gerakan Papua merdeka untuk berkumpul di Port Villa, ibu kota Vanuatu, sebuah negara di Pasifik Selatan. Vanuatu memfasilitasi pertemuan para tokoh yang menyepakati pembentukan United Liberation Movement for West Papua atau disingkat ULMWP.

“Pada Desember 2014, para pemimpin Papua mendeklarasikan ULMWP. Pada Juni 2015 di Honiara, ULMWP diterima sebagai observe di Melanesian Spreadhead Group,” kata Markus Haluk kepada Jubi.

Otonomi Khusus Papua sudah berlangsung 20 tahun, Papua juga sudah sukses menyelenggarakan Pekan Olahraga Nasional atau PON XX Papua. Akan tetapi, setiap 1 Desember, aparat keamanan selalu disibukkan oleh hal yang sama, mengejar orang yang memperingati 1 Desember dan mengibarkan bendera Bintang Kejora. Begitu pula kali ini, 1 Desember 2021.

Setelah 20 tahun pemberlakuan Otonomi Khusus Papua, apa masalah Papua yang terselesaikan secara tuntas? Salah siapa? Kalau kata Gus Dur, salah …. (*)

Editor: Aryo Wisanggeni G

Leave a Reply