476.534 anak di Tanah Papua tidak dapat bersekolah karena guru minim

papua
Anak-anak di Kampung Sawanawa, Kabupaten Keerom belajar mengeja huruf yang didampingi oleh tenaga pengajar dari komunitas Literacy For Everyone (LiFE) Papua. - Jubi/Theo Kelen

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Jayapura, Jubi – Sebanyak 476.534 anak di Provinsi Papua dan Papua Barat tidak dapat bersekolah. Mereka tidak dapat bersekolah lantaran kekurangan tenaga guru yang mengajar dan tenaga guru yang mangkir dari tempat tugas.

Akademisi Universitas Papua Agus Sumule mengatakan hasil ini diperoleh dari analisis data Kemendikbudristek dan Badan Pusat Stastik (BPS) Papua dan Papua Barat yang menunjukkan masih banyak anak-anak Papua di tujuh wilayah adat tidak dapat bersekolah.

Dari hasil analisis ditemukan bahwa di Wilayah Adat Domberai anak yang tidak bersekolah 57.040 orang, Wilayah Adat Bomberai 14.504, Wilayah Adat Mamta 56.769, Eilayah Adat Anim Ha 92.988, Wilayah Adat Meepago 89.433, Wilayah Adat Saireri 43.622, dan di Wilayah Adat Lapago terbanyak, yaitu 100.969 anak.

“Jumlahnya hampir 500 ribu, ini belum termasuk anak usia PAUD dan Sekolah Luar Biasa,” kata Sumule kepada Jubi melalui sambungan telepon pada Sabtu, 18 Desember 2021.

Menurut Dosen Fakultas Pertanian Universitas Papua tersebut faktor utama anak-anak Papua tersebut tidak dapat bersekolah karena kekurangan guru. Sebab walaupun gedung sekolah ada, tapi tidak ada guru sehingga sekolah tidak beroperasi.

“Kalau guru kurang yang jelas sekolah tidak berfungsi. Misalnya satu sekolah gurunya sudah terbatas, yang mengajar cuma dua atau tiga orang, otomatis sekolahnya tutup, kalau sekolah tutup bagaimana anak-anak mau datang belajar ke sekolah,” ujarnya.

BACA JUGA: 43 persen dari 853 siswa SD di Kabupaten Jayapura belum bisa membaca

Sumule mengatakan kekurangan tenaga guru ditambah lagi permasalahan guru yang mangkir dari tempat tugas, khususnya guru mengajar di daerah Pegunungan Tengah. Studi yang dilakukan UNICEF 2012 menunjukkan 30 persen guru di Papua dan Papua Barat mangkir mengajar.

“Biasa ada sekolah, tapi tidak ada tenaga guru. Ini menunjukkan bahwa banyak guru yang ditugaskan pemerintah mengajar di daerah Pegunungan Tengah tidak selalu berada di tempat tugas,” ujarnya.

Kekurangan tenaga guru di Papua dan Papua Barat mencapai 20.147 orang. Di antaranya kekurangan tenaga guru SD (9.351 orang), guru SMP (5.402), guru SMA (1.964), guru SMK (1.676), dan guru yang akan pensiun (1.754).

Menurut Sumule harus ada terobosan baru dengan cara mengadakan tenaga guru yang cukup dan berkualitas. Sebab jika hanya mengandalkan lulusan guru dari FKIP UNCEN, UNIPA, dan MUSAMUS di Merauke tidak akan pernah menutupi kekurangan tenaga guru di Tanah Papua.

“Karena total kebutuhan guru itu belasan ribu hanya untuk SD saja. Itu berarti harus mengundang pihak-pihak lain juga membuka PGSD. Kalau kita tidak bisa melakukan ini suatu saat kita akan memanen hasilnya dan saat ini sudah terlihat banyak anak Papua yang tidak bersekolah,” ujarnya.

Sumule mengatakan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 106 Tahun 2021 tentang kewenangan dan kelembagaan pelaksanaan kebijakan Otsus itu mengatur bahwa tenaga guru SD bisa diadakan dengan cara membuka program Diploma Dua (D2) PGSD yang diterima ada lulusan SMA dan SMK.

Dengan demikian Program Diploma Dua PGSD dapat dibuka melalui Perguruan Tinggi yang memiliki program pendidikan. Salah satunya melalui Sekolah Tinggi Teologi yang memiliki Pendidikan Agama Kristen. Artinya di STT telah memiliki tenaga dosen yang punya latar belakang ilmu pendidikan.

“Sudah ada dosennya tinggal berlatih sedikit bisa buka PGSD. Mari kita kerja sama dan kasih kesempatan untuk pendidikan agama Kristen, pendidikan agama Katolik, pendidikan agama Islam, silahkan membuka yang penting mereka Perguruan Tinggi yang punya program pendidikan. Dengan membuka satu program lagi yang namanya D2 PGSD dengan cara begitu mudah-mudahan lebih cepat memenuhi kebutuhan tenaga guru di Papua,” katanya.

Menurut Sumule Papua membutuhkan setidaknya tenaga guru sebanyak 33 ribu untuk mengajar anak-anak yang tidak bersekolah saat ini. Ia mengusulkan dana Otsus di Papua dan Papua Barat yang mencapai Rp1,4 triliun, khusus pendidikan pada 2022, dapat juga dimanfaatkan untuk menangani kekurangan tenaga guru dan anak-anak Papua yang tidak bersekolah saat ini.

“Masalah utama orang tidak bersekolah itu bukan gedung, di Afrika orang bisa bersekolah di bawah pohon. Tetapi tidak ada guru jangan mimpi ada sekolah,” ujarnya.

Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pendidikan, Perpustakaan, dan Arsip Daerah Provinsi Papua Protasius Lobya dalam kegiatan Lokakarya Replikasi Program Literasi yang diselenggarakan  Yayasan Nusantara Sejati pada 19 Oktober 2021 mengatakan bahwa tingkat kehadiran guru-guru di pedalaman Papua masih sangat rendah.

Menurut Lobya beberapa faktor penyebab guru jarang hadir di sekolah adalah meninggalkan tempat tugas karena urusan keluarga dan urusan kesejahteraan, termasuk urusan pangkat berkala dan gaji. Selain itu, faktor lain paling menarik adalah transparansi pengelolaan dana BOS oleh kepala sekolah dan bendahara BOS yang tidak melibatkan guru lain. (*)

Editor: Syofiardi

Leave a Reply