Papua No.1 News Portal | Jubi
“Dulu kami Papua, sekarang kami Papua, dan sampai kapan pun kami tetap Papua.”
Adalah budayawan Papua mendiang Arnold C. Ap yang selalu menekankan kepada generasi muda Papua agar menyanyikan lagu-lagu asli Papua sesuai dengan penyebutan dan dialek suku-suku asli di tanah Papua.
Masih terngiang di telinga jurnalis arsip.jubi.id ketika bertemu dengan mendiang Arnold C. Ap di Museum Loka Budaya Universitas Cenderawasih era 1980-an.
“Ade kitorang harus selalu menjaga budaya asli Papua termasuk bahasa suku dan pengucapan yang benar,” kata Arnold Ap kala itu.
Bahkan Arnold Ap juga melakukan gerakan tarian khas Asmat dengan hentakan yang persis sama dengan orang Asmat, Manusia sejati dari Bumi Animha Papua Selatan.
Tak heran kalau grup Mambesak yang tadinya bernama “Manyouri” harus berganti nama menjadi Mambesak sejak 43 tahun lalu pada 20 Agustus 1978.
Sekretaris Kelompok Kerja (Pokja) Agama Majelis Rakyat Papua (MRP) Papua Roberth Wanggai menyebutkan, kalau meneropong grup musik Mambesak tidak mesti lagu saja, tetapi dalam buku Grup Mambesak simbol Kebangkitan Orang Papua proto dalam halaman 148 mengatakan, almarhum Dr. Enos Rumansara secara bunga rampai ini, yang telah di-launching pada 5 Agustus 2020, bertepatan HUT ke-42 Mambesak.
Antropolog Enos Rumansara mengisahkan, Mambesak tampil sebagai kelompok seni yang berjuang untuk membangkitkan rasa cinta orang Papua Proto terhadap kebudayaannya dengan spirit “Kami menyanyi untuk hidup, dulu, kini dan nanti”.
Lebih lanjut, kata Rumansara, makna di balik spirit ini adalah: “dulu kami Papua, sekarang kami Papua, dan sampai kapan pun kami tetap Papua”.
Selain itu, menurut Andreas Goo, editor buku ini, mengungkapkan tentang aspek hakikat Mambesak, aspek sejarah Mambesak, dan gaya khas Mambesak serta muatan nilai budaya atau aspek emosionalitas Mambesak. Goo mengatakan, buku ini ditulis bukan untuk mendegradasi terhadap semua kesalahan.
Namun buku ini ditulis dengan tujuan mulia, untuk mengantarkan orang Papua Proto pada suatu peradaban menuju “Bangsa Belajar” dan “Bangsa Cerdas” untuk melawan semua kebobrokan, kejahatan dan kepalsuan yang bersumber dari dalam orang Papua sendiri, maupun yang bersumber dari luar orang Papua, termasuk negara sebagai sumber kebijakan.
Dalam buku ini, memuat lampiran tentang lagu rakyat Mambesak Volume 1, 2, 3 dan 4, termasuk biodata Arnold C. Ap sebagai pimpinan Mambesak.
Sayangnya buku ini tidak banyak menggali informasi yang valid dari narasumber atau mantan personil grup Mambesak yang masih hidup, untuk dijadikan referensi terbaik dalam memberi bobot buku ini. Selain buku ini tidak banyak mengurai efek dari grup musik Mambesak, sehingga kala itu muncul grup-grup musik tradisional yang ada di seantero tanah Papua
Lepas dari pro dan kontra soal warisan nilai budaya dan hilangnya budaya asli Papua bahwa ada lima bahasa daerah dari 276 bahasa daerah di Papua telah hilang dari penuturan atau punah. Lima bahasa yang punah itu adalah bahasa Saponi di Waropen, Bahasa Dusner dan Tandia di Teluk Wondama, bahasa Pijin Lha di Kaimana, dan bahasa Nambla di Senggi (Keerom).
“Bukan dua bahasa yang punah tetapi lima bahasa. Ini berarti tinggal 271 suku bahasa dari suku-suku bangsa Papua,” kata Handro Yonathan Lekitoo, kandidat doktor Antropologi di Universitas Indonesia kepada Jubi, Jumat (19/6/2015), mengomentari pemberitaan Jubi, Selasa (16/6) tentang dua bahasa Papua, bahasa Saponi dan Mapia dari 14 bahasa daerah di Indonesia yang punah.
Kata dosen antropologi Universitas Cenderawasih (Uncen) ini, 271 bahasa-bahasa Papua yang tersisa pun terancam punah. Bahasa-bahasa itu terancam karena sebagian kosakatanya sudah tidak ada lagi dalam penuturan. Jumlah yang terancam punah itu mencapai angka 30-an bahasa daerah.
“Kita tidak perlu jauh-jauh. Masyarakat Kayu Batu dan Kayu Pulau di kota Jayapura itu saja sudah tidak tahu angka dalam bahasa mereka. Dalam bahasa asli, mereka bisa hitung sampai 24 tetapi sekarang mereka hanya bisa sebut sampai angka 6,” katanya.
Lekitoo mengatakan ada sejumlah penyebab utama bahasa-bahasa daerah Papua hilang dan terancam punah. Penyebab pertama, jarang menggunakan bahasa daerah akibat perkawinan campur.
“Orang-orang yang kawin beda suku dan bahasa menyebabkan jarang menggunakan bahasa daerah dalam komunikasi,” ungkapnya.
Orang jarang menggunakan bahasa daerah juga akibat perbedaan bahasa. Perbedaan bahasa yang ada mendorong semua orang di Papua menggunakan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia digunakan dalam rangka membangun nasionalisme tetapi tidak memperhitungkan kebangsaan Indonesia itu terdiri dari keragaman suku dan bangsa.
Penyebab kedua, menurut penulis buku ‘Potret Manusia Pohon’ ini, migrasi penduduk dalam jumlah besar. Kaum mayoritas penduduk mendatangi kampung tertentu sangat mempengaruhi. Kaum mayoritas mendominasi komunikasi sehari-hari sehingga kelompok minoritas ikut larut menggunakan bahasa mayoritas.
“Lihat wilayah trans di Papua. Orang Papua pintar bicara bahasa Jawa tetapi tidak tahu bahasa daerahnya,” katanya mencontohkan salah satu daerah trans di Merauke.
Penyebab ketiga, perkembangan teknologi yang datang ke Papua. Teknologi ini sudah mempunyai bahasa komunikasi. Orang-orang Papua yang mengakses informasi dan komunikasi lewat teknologi lupa lagi menggunakan bahasa mereka.
“Orang tidak melihat bahasa daerah sebagai identitas yang membanggakan. Baik kalau orang komunikasi lewat teknologi dengan bahasa daerah.”
Menurut Lekitoo, kalau orang sudah tidak merasa bahasa sebagai identitas, dengan sendirinya bahasa dilupakan. Orang tidak lagi memiliki identitas dirinya sebagai orang Papua. Bangsa Papua terancam punah. “Bahasa menunjukkan bangsa. Tidak ada bahasa berarti tidak ada bangsa,”tegasnya.(*)
Editor : Dominggus A. Mampioper