RSUD Dok II pernah jadi yang termodern di Pasifik Selatan

Bangunan RSUD Dok II jaman Belanda dibangun sejak 1958 dan diresmikan pada 1959 oleh Gubernur Nederlands Nieuw Guinea, Dr PJ Plateel-jubi/@lengkaanias1

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Jayapura, Jubi- Di Provinsi Papua, terdapat 44 rumah sakit milik pemerintah dan swasta, tersebar di 29 kabupaten/kota. Dari jumlah itu, hanya tiga rumah sakit rujukan untuk penanganan Covid-19 di Provinsi  Papua, yaitu RSUD Nabire, RSUD Merauke, dan RSUD Dok II Jayapura. Jumlah total APD yang tersebar di ketiga RSUD itu hanya 30 set.

Read More

Dinkes Papua telah memesan 5.000 set APD, yang akan diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan APD di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dok II.

Sedangkan di Papua Barat, ada dua rumah sakit rujukan untu pasien Corona, yakni  RSUD Manokwari dan RSUD Kabupaten Sorong.

Satu-satunya rumah sakit peninggalan pemerintahan Nederlands Nieuw Guinea zaman penjajahan mungkin hanya Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) II Jayapura.

Tepat 3 Juni 1959 Rumah Sakit ini pertama kali diresmikan. Difasilitasi sekitar 360 buah tempat tidur. Saat peresmian itu Kepala Dinas Kesehatan dari Australia New Guinea (sekarang Papua New Guinea) dr Scragg hadir menyaksikan rumah sakit termodern di Pasifik Selatan itu . “Ini satu-satunya rumah sakit modern di Pasifik Selatan,”katanya sebagaimana ditulis Arnold Mampioper dalam bukunya berjudul Jayapura Ketika Perang Pasifik.

Tak heran kalau rumah sakit ini mendapat kunjungan dari para dokter dari negara-negara Pasifik Selatan mulai dari Fiji yang masih dijajah Inggris.

Selanjutnya pada 1961, pemerintah Nederlands Nieuw Guinea mengirim enam pemuda Papua untuk belajar kedokteran di Universitas Papua New Guinea di Port Moresby. Waktu itu dr Maryen, Danomira, dr Pangkatana dr Sawei, dr Deda mengikuti pendidikan dasar kedokteran di wilayah Timur New Guinea Island.

Sayangnya pada 1963 mereka tidak kembali ke Irian Barat, bahkan menetap di sana sebagai tenaga medis. dr Maryen bahkan menjadi Direktur Utama Rumah Sakit Pusat di Port Moresby hingga pensiun.

Bukan hanya itu saja, para dokter muda yang bertugas di wilayah Nederlands Nieuw Guinea bekerja di wilayah terpencil. Mereka juga berhasil mengenal berbagai macam penyakit-penyakit di wilayah tropis.

Prof Dr JH E Th Meewiseen mengawali kariernya sebagai dokter pemerintah di Nieuw Guinea dan meneliti penyakit malaria hingga kembali ke Belanda menjadi ahli mikrobiologi di Universitas Nijmegen Belanda.

Henk WA Voorhoeve menulis artikel berjudul “Urusan Kuratif, Ilmu Pengobatan Klinis di Rumah Sakit Pusat Dok II Hollandia” (sekarang Jayapura). Ia menulis di Ibukota Hollandia terdapat rumah sakit pusat yang besar dengan kapasitas hanya 150 tempat tidur. “Dari tahun 1950 sampai dengan 1959, rumah sakit utama berada di Hollandia Binnen (Abepura). “Rumah sakit ini menggunakan bangsal-bangsal rumah sakit tua milik Tentara Amerika Serikat di bawah komando jenderal Douglas MacArthur semasa Perang Dunia Kedua berbasis di sini,”tulis Voorhoeve.

Direktur Utama Rumah Sakit Pusat di Abepura atau Hollandia Binnen adalah dr Jac S de Vreis, seorang ahli bedah tulang. Dr De Vries pula yang merancang Rumah Sakit Dok II pada 1958 dan selesai pada 1959 yang diresmikan oleh Gubernur Nederlands Nieuw Guinea Dr PJ Plateel (1958-1962). Gubernur Plateel pula yang menyerahkan pemerintahan Nederlands Nieuw Guinea kepada perwakilan PBB Jose Rolz bennet dan selanjutnya diberikan kepada Gubernur Jenderal UNTEA Dr Djalal Abdoh.

Rumah Sakit Dok II, tulis Voorhoeve penggunaannya baru digunakan pada 1959 dan sangat baik dari segi bangunan maupun operasionalnya. “Ini adalah termodern di Pasifik Selatan,”tulis Voorhoeve. Apalagi saat itu wilayah Nederlands Nieuw Guinea ( West Papua) masih terdaftar sebagai anggota Komisi Pasifik Selatan atau South Pasific Commision/SPC (1947-1962). Selain itu di seluruh Nieuw Guinea baru terdapat sebanyak 20 rumah sakit, meski ada pula klinik yang merupakan pusat pelayanan kepada masyarakat di sekitarnya.

Pelayanan kesehatan masyarakat dilakukan oleh perawat-perawat Papua yang bertanggung jawab dalam pelayanan didukung pula oleh kader-kader kesehatan di kampung-kampung.

Kenangan selaku perempuan urusan kesehatan kampung dialami pula oleh Rosmina Tjoe. Ia menyelesaikan pendidikan lanjutan khusus perempuan (Sekolah Gadis) di Genyem selanjutnya mengikuti pendidikan Perempuan Urusan Kesehatan selama dua tahun di RS di Holandia Binnen. Perempuan urusan kesehatan menerima kotak bersalin da timbangan sebagai perlengkapan dalam menjalankan tugas di kampung.

Selain itu para dokter jaman Belanda juga mempelajari geografi patologi di tanah Papua menurut Jaap Bierdrager dalam artikelnya berjudul “Sejarah Perkembangan Pelayanan Kesehatan di tanah Papua geografi patologi merupakan dasar dari pelayanan kesehatan modern yang dilakukan dokter pemerintah di Papua pada 1920-1940.

Para dokter waktu itu meneliti penyakit Malaria di tanah Papua, mereka juga mempelajari perilaku orang Papua. Tujuan penelitian penting karena untuk menemukan cara pemberantasan dan pengobatan Malaria.

Selain itu ada pula penelitian tentang frambosia (kusta), kaki gajah dan TBC. Pelayanan kesehatan pun dipisahkan hampir sebagian pasien penyakit Kusta berobat di RSU di Sorong sedangkan di Jayapura hampir sebagian besar penyakit malaria dan TBC. Pusat pemberantasan Malaria di RS Hollandia Binnen sehingga setiap warga yang hendak berangkat ke Wamena atau Pegunungan Tengah harus karantina bebas dari Malaria.

Kalau seorang penumpang hendak ke Wamena, dipastikan harus bebas Malaria baru boleh bertugas di Wamena dan pegunungan tengah.

RSUD Dok II tipe B

Perkembangan Rumah Sakit di Papua kini terus berkembang pesat. Situs berita  katadata.co.id menyebut RSU di Papua sebanyak 43 rumah sakit sedangkan di Papua Barat terdapat 18 rumah sakit. Sedangkan Rumah Sakit Dok II peninggalan Belanda kini sudah menjadi Rumah Sakit Type B dan menjadi rumah sakit pendidikan bagi mahasiswa Fakultas Kedokteran Uncen sejak 2002 hingga sekarang.

Ketua Komisi V DPRP Papua Jacksen Komboi mengatakan, untuk meningkatkan Rumah Sakit Dok II dari tipe B ke tipe A, butuh anggaran sebesar Rp 1,4 Triliun. Anggaran ini dibutuhkan untuk membenahi rumah sakit milik pemerintah ini selama empat tahun ke depan. Bahkan tidak tertutup kemungkinan meningkatkan kualitasnya ke level internasional.

Selain itu sebanyak 14 Rumah Sakit di Papua mengalami turun kelas.  karena tidak memenuhi kriteria. Ini  berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor Tahun 2014 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit untuk rumah sakit umum dan Lampiran II Peraturan Menteri Kesehatan Nomor No 56 Tahun 2014 tentang Klasifikasi Rumah Sakit untuk rumah sakit khusus yang meliputi kriteria Sumber Daya Manusia (SDM), sarana, prasarana, dan alat kesehatan.

14 rumah sakit itu terdiri dari empat Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) milik pemerintah yang turun dari kelas C ke D yakni RSUD Nabire, RSUD Wamena, RSUD Biak dan RSUD Serui, RSUD Mulia, Selanjutnya dua rumah sakit pemerintah yang turun dari kelas D ke D Pratama yakni RSUD Dekai dan RSUD Mulia, dan satu rumah sakit pemerintah yang turun dari kelas B ke C yakni RS Jiwa Abepura.

Terdapat juga lima rumah sakit umum milik TNI/Polri yang juga mengalami penurunan kelas yakni RS Bhayangkara Jayapura, RS Marthen Indey Jayapura, RS Angkatan Laut dr. Soedibjo Sardadi Jayapura, RS Angkatan Laut dr. R. Gandhi AT Biak yang sama-sama turun kelas dari C ke D serta Rumah Sakit TNI Angkatan Laut Merauke yang turun kelas dari D ke D Pratama.

Sementara itu, ada dua rumah sakit swasta Katolik yakni RS Provita Jayapura yang turun dari kelas C ke D dan RS Bunda Pengharapan Merauke yang turun kelas dari D ke D Pratama.(*)

Editor; Syam Terrajana

Related posts

Leave a Reply