17 tahun Wasior berdarah, korban hanya butuhkan kepastian hukum

Papua No. 1 News Portal | Jubi ,

Wasior, Jubi – Sebanyak 50 keluarga korban kasus Wasior berdarah 2001 juga hadir dalam Hari Hak Asasi Manusia (HAM) ke-70, di gedung Sasar Wondama Pemkab Teluk Wondama, Wasior, 10 Desember 2018,.

Yunus Sarumi, sekretaris pelaksana Hari HAM di Kabupaten Teluk Wondama, mengutip pernyataan para korban pelanggaran Wasior berdarah antara lain, pertama, penyelesaian kasus Wasior berdarah harus serius dituntaskan; kedua, pemerintah Provinsi Papua Barat mengeluarkan regulasi untuk memproteksi kehidupan korban berupa konpensasi; ketiga, korban ingin adanya kedamaian dan tidak adanya intimidasi ketika mereka ada; keempat, kasus Wasior berdarah ketika para korban mendengar kasusnya dikembalikan masyarakat tidak percaya lagi.

”Karena nyata-nyata telah terjadi pelanggaran HAM berat, terstruktur, dan meluas,” katanya, saat diwawancarai Jubi, di Wasior, Senin (10/12/2018).

Lebih lanjut, kata dia, kelima adalah para korban ingin kasus-kasus pelanggaran HAM berat tidak terulang lagi di tanah peradaban di tanah orang Papua.

Hal senada juga dikatakan Ketua Klasis Gereja Kristen Injili (GKI) Teluk Wondama, Pdt Rosalia Wamafma,  bersyukur dengan perayaan hari HAM sedunia di Wasior, namun harus ada dialog antara masyarakat korban agar ada penguatan dan penegakan hukum.

“Untuk keluarga korban harus ada dialog dan penjelasan agar mereka tahu kasus Wasior berdarah,” kata Pdt Rosalia Wamafma

Sementara, Wakil Bupati Teluk Wondama, Paul Indubri, yang mewakili bupati menyambut baik perayaan Hari HAM sedunia ke-70 yang dilakukan di Wasior ibukota Kabupaten Teluk Wondama.

Perwakilan Komnas HAM Papua dan Papua Barat, Frits Bernard Ramandey, mengakui seluruh korban hanya membutuhkan kepastian hukum, sebab kepastian hukum menjadi hal yang  sangat penting.  

“Segera ada kepastian yang diminta keluarga korban. Inilah yang digambarkan dalam gesture tubuh dalam para korban. Sebagai penyelenggara negara Komnas HAM berharap kasus ini secepatnya diselesaikan,” kata Ramandey.

200 personil TNI/Polri

Sementara itu, Kapolres Teluk Wondama AKBP Marwoto, kepada Jubi dan Cenderawasih Pos, dalam mengawal perayaan Hari HAM sedunia di Wasior Kabupaten Teluk Wondama menurunkan sebanyak 200 personil aparat Polri yang juga di-backup TNI di Wasior.

“Selama ini kondisi kamtibmas di Teluk Wondama kondusif dan aman,” kata Marwoto.

Menanggapi kekuatan pengamanan, Mananwir Paul Mayor, Ketua DAP Wilayah III Papua, mengatakan terlalu banyak jumlah personil bisa membuat masyarakat tidak berani mengungkap perasaan dan kebebasan mereka.

“Saya bersyukur bisa berjalan lancar hanya saja masyarakat kelihatannya masih trauma,” katanya.

Kasus pelanggaran HAM di Wasior terjadi semenjak operasi keamanan yang dilakukan oleh Kepolisian Republik Indonesia pada 13 Juni 2001 sampai saat ini Hak Asasi Manusiai (HAM) mereka masih dilanggar.

“Mereka diperlakukan tidak adil dengan melanggar norma hukum dan tak pernah ada penyelesaian secara hukum sampai dengan hari ini,” kata advokad senior, Chris Warinussy, dalam perayaan 17 tahun kasus Wasior berdarah di Manokwari.

Dikatakan, kasus Wasior pernah diselidiki Komnas HAM RI pada 2003. Saat itu Warinussy sebagai anggota investigasi HAM Wasior. Namun berhenti di tingkat penyelidikan HAM.

Perjuangan para korban untuk mendapatkan keadilan, kata Warinussy, masih membutuhkan kerja keras semua pihak. Sebab itu ia meminta semua pihak harus bersatu untuk bersama-sama membawa persoalan ini ke mekanisme yang lebih tinggi, yakni ke mekanisme internasional.

Sebab, kendati Indonesia sudah memiliki UU No.39 tahun 1999 dan UU No 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM bagi pelanggar HAM, tapi jika Komnas HAM hanya diberikan kewenangan sebagai penyelidik, maka kasus Wasior juga HAM yang lain takkan membawa pelakunya ke Pengadilan HAM.

“Kita harus akui kewenangan penyelidik sangat terbatas, maka pelanggaran HAM itu tak bisa atau sulit dibawa ke pengadilan HAM,” katanya. (*)

Related posts

Leave a Reply