Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Pukul 09.00 WP Domi dan Risni sudah berada di Sanggar Phokouw Faa milik mama Blandina Ursula Ongge di Jalan Kali Kampwolker RW II/RT 02 Perumnas 3 Waena, Kota Jayapura, Papua.
Keduanya mahasiswa Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Tanah Papua yang akan membantu mama Blandina membuat suvenir khusus syal untuk PON XX yang akan berlangsung Oktober 2021.
Mama Blandina mulai mengerjakan suvenir khusus PON XX Papua sejak Oktober 2020. Ia membuat suvenir syal dua ukuran, yang besar 2 meter kali 30 cm. Sedangkan syal kecil 1 meter kali 16 cm. Ia juga menyiapkan kain batik, tapi tidak terlalu banyak.
Risni memindahkan motif burung cenderawasih dan kerang ke kain dengan mengikuti motif dari kertas yang diletakkan di bawah kain. Itu membutuhkan sekitar satu jam. Setelah selesai, Domi mencanting motif tersebut, yaitu melekatkan lilin dengan menyesuaikan pada pola yang telah dibuat. Pekerjaan ini bisa setengah hari.
BACA JUGA: Ribuan suvenir gantungan kunci untuk PON XX
Mama Blandina memilih membuat souvenir syal untuk dijual di arena PON XX Papua dengan pertimbangan lebih ringan, sehingga mudah dan gampang dibawa pembeli pulang sebagai oleh-oleh.
“Mama pikir orang dari luar luar datang kan pasti pulang bawah oleh-oleh dari Papua yang unik-unik to, jadi mama siapkan produk yang kecil agak ringan supaya tidak jadi beban berat untuk mereka bawa pulang,” katanya.
Setelah mencanting, Domi dan Risni melanjutkan dengan menyolet, yaitu memberi warna kuning, biru, dan coklat pada motif memakai kuas dan lidi yang telah dibalut kapas.
Setelah itu syal dibiarkan sehari untuk kering. Kemudian masuk ke proses penutupan lilin pada motif. Syal akan masuk proses pencelupan warna dasar pada kain. Lalu pencucian dan perebusan untuk melepaskan lilin pada kain. Tahap akhir atau finishing adalah menyentrika dan siap dijual.
Syal yang dibuat Blandina bermotif ciri khas Papua dengan warna cenderung pekat dan terang. Motif yang dipakai khusus dari Sentani, berupa kupu-kupu, kerang, tifa ukuran kecil, perahu, dan Yoniki.
“Yoniki itu motif ekor ikan, ini biasa dipakai untuk para ondoafi, dulu waktu mama pu orang tua tete masih hidup itu tidak bisa dipakai oleh sembarangan orang, itu khusus anak ondoafi saja,” ujarnya.
Karena itu, ia perlu meminta izin dari ondoafi Ramses Ohe dan ondoafi lainnya di Sentani untuk memindahkan motif Yoniki dari kulit kayu ke atas kain. Ia mendapatkan izin.
“Jadi sekarang, walaupun bukan anak ondoafi atau siapa pun dia dapat memakai motif itu,” katanya.
Ia menjual syal besar seharga Rp200 ribu per potong dan ukuran kecil Rp100 ribu. Syal tersebut tidak hanya bisa dipakai orang dewasa, tetapi yang kecil bisa dipakai anak-anak.
Meski PON XX masih sembilan bulan lagi, syal Blandina ternyata sudah terjual 20 helai. Saat Jubi berkunjung persediaanya sudah ada 50 helai. Hingga acara PON nanti ia berencana membuat 1.000 helai syal besar dan 800 helai ukuran kecil.
Blandina memesan bahan-bahan dan peralatan dari Yogyakarta. Tak hanya kain santung, tapi juga lilin dan pewarna.
Dalam pembuatan ia dibantu keponakan dan lima mahasiswa dari ISBI Tanah Papua. Untuk mengerjakan syal ukuran besar membutuhkan waktu seminggu dan yang kecil tiga hari.
Biaya produksi untuk syal besar Rp150 ribu dan kecil Rp50 ribu. Jadi ia menjual syal besar Rp200 ribu dan syal kecil Rp100 ribu. Artinya keuntungan per helai Rp50 ribu.
Dengan menargetkan nanti saat PON terjual 1.800 lembar, mama Blandina bisa meraup pendapatan Rp330 juta. Setelah dikeluarkan modal, ia bisa mendapatkan keuntungan Rp90 juta.
Penjualan sudah mulai dilakukan melalui Facebook dan Instagram. Juga melalui pasar online “Rasa Tuna” yang dikelola anak-anak Papua di Jakarta. Untuk penjual di arena PON ia masih menunggu konfirmasi dari Disperindagkop Kota Jayapura dan Korem 172 Prajawirayakti yang berencana membuka stan.
Pengrajin seni lainnya dari Kampung Nafri, Jayapura adalah Mama Susana Rumsumbre Tjoe. Ia juga menyiapkan batik khas untuk PON. Sebenarnya dia sudah membuat suvenir khusus untuk PON pada Juli 2020. Namun karena agenda PON ditunda, ia stop dan menjual habis yang sudah dibuat. Kini ia memulai lagi untuk persiapan Oktober 2021.
Ia memilih membuat kain batik ukuran 2 meter, 3 meter, dan 4 meter, karena mudah dan lebih diminati orang.
“Keunikan batik yang kami buat terletak pada pada motif secara khusus mengangkat motif panglima perang dari Kampung Nafri, Jayapura, motif lainnya dari Port Numbay seperti kura-kura, pinang, cenderawasih, dan tifa,” ujarnya. (*)
Editor: Syofiardi