Jubi – Keindahan Danau Sentani ternyata banyak menyimpan kekayaan alamnya termasuk berbagai jenis ikan khususnya ikan gabus besar (Khahabei) dan ikan gabus kecil (Kayou). Bagi masyarakat di Kampung Hobong mencari ikan di danau biasanya dengan melepaskan jaring.
Mama Yustin Ongge perempuan berusia 56 tahun adalah salah satu dari warga Kampung Hobong yang sampai saat ini terus menekuni profesinya sebagai penjual ikan. Meski sebelumnya Mama Yustin juga mencari ikan dengan menebar jala, saat ini dia sudah meninggalkan profesinya itu.
“Saya bersama suami saya sejak 1975 mencari ikan dengan memakai jaring tetapi memasuki tahun 1985 sudah tidak lagi. Sekarang kami hanya menjual ikan saja,” ujar Yustin Ongge, istri dari Carlos Suebu (60) kepada Jubi belum lama ini di Pasar Praha Sentani.
Keluarga Carlos Suebu yang telah dikaruniai enam orang anak ini menuturkan bahwa menjadi penjaring ikan pada saat itu merupakan suatu mata pencaharian utama untuk menopang kehidupan keluarganya.
“Pada sore hari saya dan suami mulai memasang jaring pada beberapa tempat termasuk kail kail kecil. Besok pagi hasil tangkapan itu sudah dibawa ke pasar untuk dijual,” ujar Yustin Ongge mengenang masa mudanya bersama suaminya.
Namun Mama Yustin Ongge juga mengaku terkadang jaring dan kail yang sudah dipasang dicuri orang. Namun itu tak menyurutkan niatnya untuk terus menekuni profesinya sebagai nelayan di tepian di Danau Sentani.
“Memang mereka yang mencuri ikan itu jelas mengganggu jumlah hasil tangkapan dan ini merupakan kendala bagi saya,” ujar Yustin Ongge.
Memang, jaring kail yang dipasang pada sore hari biasanya lebih dahulu diambil oleh orang-orang tak dikenal atau dicuri sehingga sangat mempengaruhi hasil tangkapan.
“Hasil tangkapan itu setiap pagi saya bawa ke pasar lama Sentani dan dilakukan secara bergantiang dengan suami saya,” ujar Yustin Ongge.
Hasil tangkapan ikan waktu itu lanjut Yustin Ongge cukup banyak dan hasilnya pun melimpah karena saat itu masih sedikit masyarakat yang menjual ikan khususnya ikan dari danau Sentani.
Hari demi hari terus dilalui Yustin bersama Suaminya hingga tak terasa pada tahun 1985 kegiatan menjaring ikan terpaksa harus dihentikan.
“ Selama 10 tahun saya bersama suami menjaring ikan, namun banyaknya kendala yang kami temui seperti pencuri ikan sehingga terpaksa kegiatan ini kami hentikan, “ jelas Yustin Ongge.
Selain itu kendala di lapangan seperti makin banyaknya penjaring ikan dan usia pun semakin bertambah.
“Ini semua mempengaruhi hasil tangkapan kami,” ujar Yustin Ongge.
Selanjutnya kegiatannya beralih sebagai penjual ikan yang tidak banyak menimbulkan banyak resiko.
“ Menjual ikan dipingiran jalan seperti ini tidak terlalu menimbulkan sakit hati dan resiko yang tingi sebab tidak ada yang bisa mengganggu kami dalam berusaha,” ujarnya
Walau demikian ia juga mengaku membeli ikan kemudian menjualnya kembali agak berbeda dengan mencari sendiri untuk kemudian dijual, sebab jumlahnya jelas tidak sebanyak mencari sendiri.
“Untungnya lambat laun mulai banyak pembeli sehingga hasil jualan juga semakin meningkat,” ujar Yustin Ongge.
Dulunya, kalau menangkap sendiri ikan seperti gabus besar (Khahabei), ikan gabus kecil (kayou), ikan mujair, ikan lele, serta jenis yang lain menurut Yustin Ongge, ia mampu mendapatkan 10 hingga 15 gantung ikan yang dijual sesuai dengan jenis dan besar kecilnya ikan.
“Lebih untung menjual ikan dari pada mencari baru kami jual,” ujar Yustin Ongge.
Menurutnya hasil yang diperoleh dari hasil jualan ikan ini cukup untuk menghidupi keluarganya dan menutupi biaya hidup serta biaya pendidikan anak-anaknya yang masih bersekolah..
Ikan-ikan yang dijualnya didapat dari penjaring secara langsung di lokasi danau maupun dibelinya dipasar untuk dijual kembali.
“Biasanya setiap pagi saya mendatangi para penjaring dan membeli ikan-ikan mereka dengan harga rata-rata Rp 20.000,- hingga Rp 25.000,- setiap tusuk untuk kemudian dijual kembali lagi,” ujarnya.
Untuk memperoleh sedikit keuntungan, Yustin menjualnya kembali dengan harga Rp 35.000,- hingga Rp 50.000,- setiap tusuknya.
Dari usahanya ini Yustin mengaku mampu menjual minimal 90 tusuk ikan setiap harinya dengan keuntungan minimal Rp 200 ribu hingga Rp 300 ribu setiap harinya. “Minimal saya mendapatkan keuntungan kotor Rp 2 juta per bulannya,” ujar Yustin Ongge agak malu malu.
Dari pantauan Jubi di lapangan pada Selasa (16/10) pagi di Pasar Prahara Sentani dalam waktu 30 menit saja ikan-ikan jualan Mama enam anak ini cukup laris dan ramai dikunjungi pembeli.
Untuk ikan-ikan ukuran kecil dalam satu tusuk atau tali yang berjumlah kurang lebih 25 ekor dijual dengan harga Rp 35.000 . Sementara untuk ikan ukuran sedang satu tusuk yang terdapat kurang lebih 10 ekor ikan dijual dengan harga Rp 40.000,- Sedangkan lima ekor ikan ukuran besar seperti ikan gabus atau khahabei dijual dengan harga minimal Rp 45.000 dan Rp 50.000,-.
Namun, dia juga mengaku usaha ini terkadang ada pasang surutnya kalau hari baik tentunya mengalami keuntungan sebaliknya bisa juga merugi.
“Kadang hari ini rugi ya mungkin esok bisa untung lagi,” ungkap ibu enam anak ini.
Berkat kesabaran dan keseriusannya itu suami istri ini mampu membangun rumah permanen di kampung. “Namun yang paling utama adalah mampu menyekolahkan ke enam anak dan salah satu anak saya sudah menjadi sarjana kehutanan,” ujar Mama Yustin Ongge.
Dia menambahkan dua anaknya yang lain sudah jadi PNS dan bekerja di instansi pemerintah.
“Tiga anak yang lain masih sekolah masing-masing SMA, SMP dan SD,” ujarnya seraya menambahkan usaha ini masih tetap dilakukan guna membantu biaya pendidikan anak anaknya yang bersekolah.
Meski demikian Yustin juga mengaku masih saja ada tantangan yang dihadapi dalam menekuni profesinya sebagai penjual ikan. Pasalnya perhatian dari pemerintah khususnya Kabupaten Jayapura bagi penjual ikan danau ini masih kurang.
“ Dulu waktu kami masih berjualan di Pasar Lama kami masih mempunyai tempat jualan yang ramai dikunjungi orang. Tapi setelah pindah ke Pasar Praha kami ditempatkan bersama para penjual ikan laut yang aromanya sangat tidak enak dan tidak ramai dikunjungi,” ujar Yustin Ongge.
Dia menambahkan terpaksa harus jualan di luar dan mencari tempat walau pun di emperan toko.
“Kami pernah menempati tempat yang sudah ditunjukkan oleh Pemda tetapi kondisinya sangat tidak mendukung, hal ini sudah pernah kami aspirasikan pada pemerintah Kabupaten Jayapura tentang masalah tempat, namun sampai hari ini belum ada jawaban,” ujar Yustin Ongge.
Dia juga mengingatkan bahwa Dinas Perindakop Kabupaten Jayapura sekitar tiga tahun lalu pernah berjanji akan memberikan bantuan berupa Cool Box dalam menunjang dan membantu usaha para penjual ikan.
“Tetapi kami penjual ikan-ikan danau sampai sekarang ini tidak ada satupun yang mendapatkan Cool Box tersebut,” jelas Yustin sambil menghitung uang hasil jualannya. (Yunus Paelo/Dominggus A. Mampioper)