TERVERIFIKASI FAKTUAL OLEH DEWAN PERS NO: 285/Terverifikasi/K/V/2018

Warga adat di Papua menolak perluasan lahan tambang PT Freeport

Papua
Ilustrasi tambang Freeport di Papua dari pencitraan satelit – Jubi/Mongabay.co.id

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Jakarta, Jubi – Masyarakat adat di tiga kampung Papua menolak rencana pengembangan dan perluasan wilayah untuk tambang PT Freeport Indonesia. Tercatat perluasan itu untuk tambang bawah tanah dan tambang terbuka berupa tembaga dan emas.

“Kami meyakini bahwa saat ini tidak tepat dilakukan rencana perluasan tersebut,” ujar Sekretaris Forum Pemilik Hak Sulung (FPHS), Yohan Zonggonau, Sabtu (15/8/2020).

Baca juga : Pembangunan di Teluk Youtefa harus perhatikan keberlangsungan masyarakat adat

Masyarakat adat diminta tidak bergantung bantuan pemerintah di masa pandemi Covid-19

Dua kampung di Distrik Bouwobado banjir diduga akibat penebangan hutan

FPHS merupakan perwakilan masyarakat di tiga kampung adat, Tsinga Waa, dan Arwanop (Tsingwarop), yang terancam terkena dampak dari perluasan tersebut.

Menurut Yohan, dalam beberapa pekan terakhir FPHS menganalisis dan menyusun Analisi Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) di kampung Tsingwarop terkait perluasan lahan kerja Freeport. Hasilnya menunjukan ketiga kampung, itu dihuni secara turun temurun oleh Masyarakat Asli wilayah setempat. Mereka hidup dengan ekosistem dari kondisi yang ada di alam.

“Itu alasan kami menilai rencana perluasan tersebut saat ini tidak tepat,” kata Yohan menambahkan.

Yohan menyebut PT Freeport hingga kini belum memenuhi hak dasar masyarakat di tiga kampung tersebut. Bahkan, janji perusahaan sejak 53 tahun lalu untuk membangun sekolah dan rumah sakit belum terealisasi.

Selain itu masyarakat di Tsingwarop juga sering menerima kekerasan selama masa operasi perusahaan. Hal itu dibuktikan hingga saat ini sebagian besar warga kampung masih mengungsi akibat operasi keamanan.

Sedangkan saat ini telah terjadi longsor di salah satu dari tiga kampung Tsingwarop. Namun, hingga kini tidak pernyataan resmi dari pemerintah pusat maupun daerah menjelaskan penyebab bencana tersebut.

“FPHS menyakini peristiwa tersebut akibat dari praktik bisnis tambang yang tidak sensitif pada aspek lingkungan hidup,” ujar Yohan mejelaskan.

Selain itu masalah pencemaran sungai yang menjadi tempat pembuangan limbah beracun seperti di Sungai Aghawagon, Otomona Ajkwa, penanganan tailing berdampak serius terhadap perairan.

“Perluasan tambang hanya akan mengakibatkan konflik alias adu domba diantara masyarakat. Sangat disayangkan,” katanya. (*)

CNN Indonesia

Editor : Edi Faisol

Baca Juga

Berita dari Pasifik

Loading...
;

Sign up for our Newsletter

Dapatkan update berita terbaru dari Tabloid Jubi.

Trending

Terkini

JUBI TV

Rekomendasi

Follow Us