Papua No.1 News Portal | Jubi
Oleh Ian Kemish
Tiga bulan lalu keadaan tampak sangat buruk bagi Papua Nugini dan Fiji. Kedua negara Kepulauan Pasifik itu masing-masing terlihat sangat rentan terhadap varian Delta Covid-19, namun dalam aspek yang sangat berbeda.
Pada 10 Juli, PNG melaporkan kasus varian Delta yang pertama, dan tenaga-tenaga kesehatan negara itu dengan sigap memberikan peringatan akibat kombinasi antara tingkat pengujian Covis-19 yang sangat rendah, persentase hasil positif yang tinggi, dan kampanye vaksin yang sangat lamban adalah sebuah “resep untuk penyebaran yang meluas”.
Saat itu Fiji sudah berada di tengah-tengah krisis Covid-19. Setelah varian Delta yang mematikan memasuki negara itu melalui pelanggaran karantina pada April lalu, tingkat infeksi per kapita di negara itu lalu menjadi salah satu yang tertinggi di seluruh dunia pada pertengahan tahun ini.
Jumlah kasus baru harian mencapai lebih dari 1.800 pada pertengahan Juli – jumlah yang sangat tinggi untuk negara yang hanya berpopulasi 900.000 orang. Krisis tersebut telah menyebabkan 647 kematian.
Beberapa bulan sejak itu, PNG dan Fiji tampaknya menuju ke arah yang berlawanan. Lebih dari 95% warga Fiji yang berusia di atas 18 tahun dan memenuhi syarat kini telah menerima vaksinasi tahap pertama mereka, dan 80% sekarang telah menerima vaksinasi lengkap.
Sebaliknya, PNG kini berada dalam cengkeraman gelombang pandemi wabah besar, dimana kurang dari 1% dari total populasi yang sudah menerima vaksinasi penuh. PNG sangat tertinggal dibandingkan dengan sebagian besar negara lainnya di dunia.
Mengapa dua negara Pasifik ini, yang berbagi koneksi sesama budaya Melanesia, menangani peluncuran vaksin Covid-19 mereka dengan cara yang sangat berbeda?
Bukan akibat medan yang berat atau pasokan vaksin
Tingkat infeksi Covid-19 harian Fiji saat ini adalah 4 % dari saat itu mencapai puncaknya, dan angka itu pun menurun. Saat ini kurang dari 50 kasus baru dilaporkan rata-rata setiap hari.
Di PNG, tingkat infeksi yang resmi sekarang rata-rata dibawah 300 kasus baru per hari, tetapi angka ini dianggap jauh lebih rendah dari apa yang sebenarnya terjadi di negara tersebut.
Tingkat pengujian Covid-19 yang sangat rendah di PNG itu tidak dapat diandalkan. Data kesehatan negara itu sendiri melaporkan ada 2,6 Juta kasus dengan gejala mirip flu dan pneumonia selama setahun terakhir, dan Rumah Sakit Umum Port Moresby sekarang melaporkan tingkat pengujian Covid-19 positif sebesar 60%. Seperti rumah sakit lainnya di seluruh negeri, RSU itu menghadapi risiko kewalahan akibat Covid-19.
Ini bukan hanya masalah pasokan vaksin. Pada tahap krisis yang mendunia ini, PNG, sama seperti Fiji, telah menerima pengiriman vaksin yang besar – terutama dari Australia, Selandia Baru, dan inisiatif pengiriman vaksin yang disebut COVAX.
Bahkan ribuan vaksin dari pengiriman awal ke PNG dibuang-buang karena otoritas kesehatan tidak dapat menggunakannya. Pemerintah PNG baru-baru ini berusaha untuk mengambil langkah terbaik dalam situasi yang buruk dengan menyalurkan kembali 30.000 botol vaksin yang disumbangkan oleh Selandia Baru ke Vietnam.
Kita juga dapat mengesampingkan anggapan yang beredar bahwa Australia, sebagai donor utama di Pasifik, entah bagaimana lebih mengutamakan satu negara daripada yang lain.
Pemerintah Australia telah menempatkan prioritas tinggi dalam penyediaan vaksin untuk kedua negara dalam beberapa bulan terakhir. Bantuan ini juga diperluas ke upaya-upaya pendidikan dan logistik, bersama dengan tim darurat medis dan dukungan bagi mereka yang memiliki keahlian dan kapasitas di lapangan.
Itu juga bukan masalah pendistribusian.
Tidak dipungkiri bahwa medan di PNG memang menghadirkan sejumlah hambatan fisik yang menantang dalam pendistribusian vaksin Covid-19 – daerah pegunungan di sana yang terkenal dan keterpencilan dari banyak penduduknya adalah dua hal yang sudah lama diketahui.
Namun perusahaan-perusahaan swasta, mulai dari Digicel hingga South Pacific Brewery (SPC), berhasil menembus bahkan daerah yang paling sulit diakses dengan produk mereka, padahal juga dihadapkan dengan kesulitan yang sama. Pihak berwenang juga berhasil menyelenggarakan pemilu nasional di seluruh pelosok negeri itu setiap lima tahun.
Dengan medannya yang terjal dan populasi yang tersebar di beberapa pulau, Fiji juga menghadapi hambatan yang sama dalam peluncuran vaksinnya.
Kita semakin dekat dengan persoalan utama ketika kita berpikir, dalam hal kepercayaan, pemahaman, dan keyakinan.
Orang-orang Fiji telah menyambut peluncuran vaksinasi ini hampir sebagai satu kesatuan, mengikuti panduan dari otoritas kesehatan mereka, dan mengikuti kebijakan tegas ‘no jabs, no job’ dari perdana menterinya, mantan komandan militer Frank Bainimarama.
Di PNG, istilah keragu-raguan terhadap vaksin itu seolah mengecilkan suatu masalah yang besar. Satu survei yang dilakukan awal tahun ini menunjukkan rendahnya keinginan untuk menerima vaksin, dan survei lainnya terhadap mahasiswa menunjukkan hanya 6% yang ingin menerima vaksin.
Di beberapa daerah tim-tim patroli vaksin Covid-19 telah menerima ancaman pembunuhan, dan setiap politisi yang bersuara untuk mendukung vaksinasi berisiko menerima kecaman politik. Saat ini upaya-upaya tegas sedang dilakukan untuk mengatasi isu ini, dimana otoritas kesehatan PNG mencoba pendekatan baru dan memberdayakan tokoh-tokoh terkenal seperti bintang rugby, Mal Meninga, dalam mendukung upaya kesadaran publik.
Keadaan yang sangat kontras ini tidak dapat dijelaskan sepenuhnya dengan hal-hal seperti perbedaan standar pendidikan, atau kualitas nasihat medis yang diberikan.
Yang pasti, Fiji mengalahkan PNG dalam hal ini – tingkat literasi di Fiji itu 99%, dibandingkan dengan sekitar 63% di PNG, menurut data terbaru yang tersedia. Dan meski sistem pelayanan kesehatan Fiji juga punya tantangannya tersendiri, penurunan kualitas pelayanan kesehatan PNG karena kurangnya investasi yang berkepanjangan telah menempatkan negara ini dalam kategori yang sangat berbeda.
Di PNG, kepercayaan pada pemimpin telah meradang setelah beberapa dekade yang dipenuhi dengan naiknya rasa frustasi di kalangan masyarakat karena tingginya ketimpangan kekayaan dan kekhawatiran atas tata kelola dan transparansi pemerintah.
Daripada mempercayai sumber yang terpercaya, masyarakat di PNG sering merujuk Facebook dan media-media sosial lainnya untuk menerima informasi mereka, dan oleh karena itu, rentan terhadap berita palsu yang disebarkan oleh gerakan anti-vaksinasi di barat.
Saya pun menyadari betapa cepat orang-orang Papua Nugini mengetahui apa yang terjadi di Australia juga. Mereka pasti mengamati bagaimana debat publik di Australia telah merusak kepercayaan vaksin Covid-19 AstraZeneca – vaksin andalan mereka sendiri.
Tetapi, satu hal yang mungkin paling meresahkan dari semua ini adalah banyak orang Papua Nugini yang seolah-olah telah mengembangkan keyakinan mereka sendiri bahwa Covid-19 hanyalah satu lagi tantangan kesehatan dari serangkaian masalah kesehatan serius lainnya yang dihadapi negara itu, di antaranya kematian ibu, malaria, dan TBC.
Seolah-olah mereka percaya ini semua, entah bagaimana, merupakan satu lagi isu berkepanjangan yang harus dihadapi orang-orang PNG. Tapi sebenarnya itu tidak perlu terjadi. (The Conversation)
Ian Kemish dulunya merupakan diplomat Australia. Ia sempat menjabat sebagai komisaris tinggi PNG periode 2010 hingga 2013. Saat ini ia memimpin yayasan Kokoda Track.
Editor: Kristianto Galuwo