Papua No. 1 News Portal | Jubi
Makassar, Jubi – Jurnalis yang melakukan perjalanan keliling Indonesia dalam ekspedisi Indonesia Biru pada 2015, Dandhy Dwi Laksono menyatakan berbagai komunitas masyarakat adat di Indonesia dapat bertahan hidup meski tanpa bernegara.
Pernyataan itu dikatakan Dandhy dalam dikusi daring “4 Jurnalis Keliling Indonesia Bicara 75 Tahun Indonesia Merdeka dan NKRI Harga Mati.”
Diskusi yang digelar Redaksi Jubi dengan moderator Veronica Koman ini, dilaksanakan pada Senin (17/8/2020) petang.
Menurutnya, saat melakukan perjalanan keliling Indonesia selama setahun, ia bersama rekannya Suparta Arz melihat bagaimana kehidupan komunitas masyarakat adat di berbagai daerah.
Banyak di antara komunitas masyarakat adat itu, siap bertahan hidup, meski tanpa harus negara.
Katanya, komunitas masyarakat adat itu masih mempertahankan pola kehidupan turun temurun leluhurnya.
Misalnya ada di antara mereka yang memiliki persediaan padi hingga tiga tahun. Ada yang dapat membuat minyak goreng dan pakaian sendiri, ada yang melakukan transaksi ekonomi sistem barter kebutuhan pangan.
“Tanpa negara apakah bisa? Bisa, dalam perjalanan kami, banyak komunitas adat yang siap kalau nanti negara bubar,” kata Dandhy.
Ia berpendapat, yang tidak siap hidup tanpa bernegara adalah kaum urban yang hidup di kota. Mereka ini dinilai masih bergantung pada berbagai hal atau tak dapat mandiri.
“Mereka bergantung pada berbagai sektor jasa dan lainnya, dengan mengandalkan uang,” ujarnya.
Dalam diskusi yang sama Suparta Arz yang melakukan perjalanan keliling Indonesia bersama Dandhy Laksono mengatakan masyarakat jauh dari riuhnya ibu kota, juga memiliki toleransi yang lebih baik.
“Mengenai toleransi, justru kami temukan di wilayah yang jauh. Misalnya di Merauke, Papua. Kami tiba di sana saat bulan Ramadan. Kami saat itu yang berpuasa diinapkan di gereja dan menu berbuka disiapkan orang di gereja,” kata Suparta.
Menurutnya, kentalnya nilai toleransi juga dirasakan pihaknya saat menginap di rumah seorang warga Sumba, penganut kepercayaan leluhurnya.
“Toleransi ini justru kami temukan di pedalaman. Padahal mungkin sudah lama ditinggalkan [oleh warga] di kota,” ucapnya. (*)
Editor: Edho Sinaga