Papua No. 1 News Portal | Jubi
Wamena, Jubi – Tokoh Papua, asal Balim, Kabupaten Jayawijaya, Markus Haluk mengatakan pemekaran Papua Tengah menjadi ancaman bagi penduduk lokal. Bakal jadi minoritas akibat migrasi.
Haluk menyampaikan itu menyusul informasi dari tim Pemekaran Provinsi Papua tengah tentang kunjungan dari Komisi 2 DPR RI ke Wamena pada 6 April 2022. Kunjungan itu untuk membahas pemekaran Provinsi Papua tengah dengan ibu kota di Balim, Kabupaten Jayawijaya.
“Sebagaimana diinfokan oleh John Tabo dan Briur Wenda, siapapun Anda sebagai orang Balim, hadir dan sampaikan pandangan,”ungkap mantan Sekjen Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua se Indonesia itu melalui rilisnya kepada jurnalis Jubi, Sabtu (5/03/2022)
Kata dia, semua pihak seharusnya ingat, Lembah Balim hanya berukuran -+10×45 km. Dari jumlah luas itu, sebagian sudah terisi permukiman tradisional dan modern, perkantoran dst.
“Jadi apabila benar mereka paksakan ambisi pemekaran, maka lembah yang bagaikan dalam Belanga dalam hitungan bulan dan cepat akan terpenuhi manusia baik migrasi lokal sesama orang Gunung (Papua) dan dari Indonesia,”kata pria yang kini menjabat Direktur eksekutif United Liberation Movement for West Papua atau ULMWP itu.
Baca juga:
DPRD Dogiyai sepakat tolak pemekaran Provinsi Papua Tengah
Rapat Pemekaran Provinsi Papua Tengah ditunda, Kowoi: Kenapa pemilik hak ulayat tak pernah diundang?
Jikalau itu terjadi, pihaknya sangat khawatir nasib orang asli Papua. Mereka terancam marginalisasi dan menjadi penduduk minoritas ibu kota provinsi nanti.
“Kita bisa bayangkan anak cucu kita pada 100 tahun yang akan datang,”ungkapnya membamdingkan nasib penduduk asli Kota Jayapura, ibu kota Provinsi Papua saat ini.
Katanya, perbandingan dan ini adalah fakta di depan mata, di Port Numbay pada 1910, pada saat pemerintah Belanda membuka pos pemerintahan, orang Belanda dan Asia (Indonesia) hanya 10 an orang dan orang asli Port Numbay ribuan orang. “Hari ini, Maret 2022 orang Port Numbay hanya 9.000 orang dari 320.000 penduduk di Kota Jayapura,”ungkapnya.
Kata dia, akibatnya, Lembah Imbi, Hamadi, Entrop, Kota Raja, Abepura, Padang Bulan, Perumnas 4 dan lembah Waena sudah diduduki orang migran. Demikian juga wilayah Gunung: Wilayah Dok, Angkasa, APO Gunung, Polimak, Skyland telah di duduki orang migran.dalam tempo 112 tahun.
“Maka saya harap siapapun anda sebagai orang Balim pikir hari esok. Jangan tinggalkan beban penderitaan bagi anak cucu,”
Tokoh Balim lainnya, Zakeus Entama sebagai ketua bidang pidana Adat, Lembaga Bantuan Hukum Hak Asasi Manusia atau LBH dan HAM Paralegal Institute Dewan Pimpinan Daerah Provinsi Papua, mempertanyakan jaminan pemekaran provinsi membawa kesejahteraan bagi rakyat Papua.
“Dengan DOB provinsi dan kabupaten/kota, akankah rakyat Papua menikmati kesejahteraan itu sendiri?,” katanya kepada Jubi di Wamena, Sabtu (5/03/2022).
Menurut dia, ide pemekaran provinsi terkesan jadi agenda paksa Jakarta kepada rakyat Papua. Jakarta dan kalangan elitlah yang menghendaki pemekaran, dari pada rakyat Papua. Karena, rakyat Papua punya sikap jelas terhadap kebijakan Jalarta. “Tahun 2010, rakyat Papua tolak UU Otsus karena rakyat menilai Otsus gagal 10 tahun,” ujarnya.
Lalu pada 2012, Jakarta bentuk satu departemen dengan sebutan Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B), namun sama saja nasibnya. Malah terjadi ada pemborosan uang negara. Jakarta siapkan segala fasilitas darat dan udara untuk kelancaran pelayanan demi kesejahteraan rakyat Papua, namun tidak sampai ke akar rumput.
Pemerintah yang gagal tidak pernah belajar dari kegagalan. Ketika UU Otsus berakhir, rakyat Papua katakan tolak Otsus jilid II . Tetapi Jalarta terus memaksa revisi dan memaksakan pemekaran provinsi di Papua. ” Ada apa ini? Jakarta terus, terus dan terus dorong pemekaran. Apakah ini bagian dari proses menguasai rakyat papua?”tanya dia.(*)
Editor: Syam Terrajana