Masyarakat Dusun Yakyu, Kampung Rawa Biru, Distrik Sota, Kabupaten Merauke – Jubi/Frans L Kobun

Papua No. 1 News Portal | Jubi

“Kami berharap perhatian Pemkab Merauke untuk menaikkan harga kemiri. Selama ini, masyarakat menjual ke tengkulak Rp3 ribu per kilogram. Harga itu masih sangat murah.”

SENIN 16 Desember 2019, Jubi mengikuti rombongan mantan Bupati Merauke, Romanus Mbaraka, memberikan pelayanan kasih, sekaligus pembagian bingkisan kepada masyarakat di Dusun Yakyu, Kampung Rawa Biru, Distrik Sota, Kabupaten Merauke.

Untuk menjangkau dusun tersebut, membutuhkan waktu lama. Perjalanan dari Kampung Rawa Biru menuju ke penyeberangan, hanya bisa menggunakan ketinting (perahu) kecil. Dari situ, perjalanan dilanjutkan ke Dusun Yakyu.

Perjalanan dengan perahu ketinting sekitar 30 menit. Selanjutnya menggunakan jasa ojek sepeda motor. Jalan menuju dusun tersebut pun masih setapak. Bukan jalan yang dapat dilalui kendaraan roda empat.

Sedangkan lama perjalanan dari penyeberangan hingga Dusun Yakyu sekitar 1,5 jam dengan jarak tempuh mencapai 25 kilometer. Jalan setapak itu hanya dimanfaatkan saat musim kemarau. Ketika musim hujan, jalan itu tidak dapat dilalui karena becek dan berlumpur.

Masyarakat setempat yang hendak bepergian untuk menjual berbagai potensi alamnya terpaksa melalui rawa hingga tiba di Kampung Rawa Biru.

Di dusun tersebut, hidup 25 kepala keluarga dengan jumlah jiwa 133 orang. Umumnya masyarakat setempat hidup dari bertani serta mengandalkan potensi lain yang ada.

Kepala Dusun Yakyu, Lukas Robert Maywa- Jubi/Frans L Kobun

Kepala Dusun Yakyu, Robert Maywa, kepada Jubi, Senin (16/12/2019), mengaku potensi yang dimiliki masyarakat setempat berupa kemiri maupun daging rusa, babi, serta kanguru. Semua hasil itu dapat dibawa sekaligus dipasarkan di Kampung Rawa Biru.

Hampir semua kepala keluarga memiliki kemiri. Ketika datang musim panen, mereka bersama-sama memilih kemiri sekaligus membawa dan menjual kepada salah seorang tengkulak di Kampung Rawa Biru.

Kemiri yang dijual biasanya masih ada kulit maupun sudah dibersihkan. Tetapi harganya berbeda. Kalau sudah dikuliti, harganya Rp5 ribu per kilogram. Sedangkan yang masih dengan kulit Rp3 ribu per kilogram.

“Biasanya masyarakat setempat sekali membawa antara 20-30 kilogram. Sebenarnya bisa dalam jumlah banyak dibawa. Hanya saja jarak tempuh sangat jauh, sehingga dibawa juga terbatas,” ungkapnya.

Hasil penjualan kemiri maupun daging, biasanya dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Termasuk biaya sekolah anak-anak di jenjang pendidikan SD hingga SMA.

“Memang ini saja yang bisa menjadi harapan masyarakat untuk menopang hidup keluarga. Tak ada sumber lain yang bisa mendatangkan uang,” katanya.

Kehidupan masyarakat seperti begini sudah berlangsung lama. Tidak mengalami kemajuan sama sekali dibandingkan kampung-kampung lain.

Salah satu persoalan mendasar juga adalah akses transportasi yang sangat jauh dan sulit. Jarang juga pejabat pemerintah datang di sini mendengar berbagai keluhan masyarakat.

“Ya kita pasrah saja, sambil hanya mengandalkan daging maupun kemiri untuk bisa menopang hidup keluarga,” ungkapnya.

Akses transportasi dari Rawa Biru ke penyeberangan dengan menggunakan ketinting – Jubi/Frans L Kobun

Hal serupa disampaikan Vincentius Banggu, salah seorang warga di Dusun Semader, Kampung Rawa Biru. Menurutnya, selain kemiri yang menjadi andalan hidup, masyarakat setempat juga bertani dengan menanam kumbili.

“Semua warga di dusun ini memiliki kemiri. Kalau datang musimnya, mereka mengumpulkan. Itupun tidak rutin, karena harga yang tidak terlalu mendukung,” katanya.

Dari tahun ke tahun, menurutnya, harga kemiri dijual Rp3 ribu per kilogram. Itupun masih dengan kulit.

“Ada semangat masyarakat mengumpulkan, namun harganya tak sesuai. Sehingga kadang kemiri dibiarkan begitu saja ketika jatuh,” kisahnya.

Banggu berharap adanya perhatian Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Merauke untuk membeli kemiri petani dengan harga terjangkau. Karena setiap tahun tak pernah mengalami kenaikan.

Tokoh masyarakat Merauke, Romanus Mbaraka, mengatakan dirinya siap mengambil kemiri dalam jumlah banyak. Olehnya ia meminta masyarakat untuk mengumpulkan. Lalu harganya juga dinaikkan dari Rp3 ribu per kilogram menjadi Rp5 ribu per kilogram.

“Saya minta masyarakat mulai kumpulkan kemiri. Besok saya suruh salah seorang warga di kampung Rawa Biru untuk mengantar uang sekaligus membelinya,” pinta dia.

Jadi, mulai dari sekarang agar kemiri mulai dikumpulkan. Sebelum 25 Desember 2019, sudah harus dibawa ke kota. Berapapun yang dikumpulkan siap dibeli. Dari pada masyarakat menjual ke tengkulak dengan harga tidak sesuai. (*)

Editor: Yuliana Lantipo