Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Dalam persidangan Senin (20/1/2020), Tim Advokat untuk Orang Asli Papua menghadirkan saksi ahli saat pembelaaan 14 terdakwa perkara yang terkait dengan peristiwa amuk massa 29 Agustus 2019. Saksi ahli antropologi, Pdt Dr Benny Giay menyatakan stigma negatif dan diskriminasi terhadap orang asli Papua, khususnya orang Papua dari wilayah pegunungan, dimulai sejak awal proses integrasi Papua dan Indonesia pada 1963.
Sidang pemeriksaan saksi ahli itu dipimpin hakim ketua Maria Magdalena Sitanggang bersama dua hakim anggota, Muliyawan dan Abdul Gafur Bungin. Kesaksian kedua saksi ahli itu disampaikan dalam pembelaan perkara terdakwa Dorti Kawena, Yali Loho, Pandra Wenda, Yoda Tabuni, Perius Entama, Agustinus Mohi, Ronal Wandik, Mikha Asso, Persiapan Kogoya, Jhony Weya, Yusuf Marthen Moay, Helo Hubi, dan Aris Asso.
Saat diperiksa sebagai saksi ahli, ahli antropologi Pdt Dr Benny Giay menjelaskan stigma negatif dan diskriminasi terhadap orang asli Papua (OAP) sudah terjadi sejak lama, dimulai sejak awal proses integrasi Papua dan Indonesia pada 1963. Dalam perkembangannya, stigma negatif dan diskriminasi yang lebih kuat dialami oleh OAP dari pegunungan tengah Papua.
Giay menyatakan istilah “orang gunung” muncul pada tahun 2000. Istilah itu muncul setelah terjadi penyerangan Markas Kepolisian Sektor Abepura di Kota Jayapura, Papua, yang disusul dengan penggerebekan Asrama Mahasiswa Nim-nim di Abepura. “Mulai hari itu, stigma negatif terhadap ‘orang gunung’ dipublikasikan di media massa, dan muncul dalam perbincangan dari mulut ke mulut,” kata Giay.
Giay menjelaskan stigma negatif kepada “orang gunung” antara lain dimunculkan dalam pernyataan sejumlah tokoh ada dari kelompok yang berbeda, yang menyatakan “orang gunung yang membuat kekacauan.” “Stigma itu muncul, padahal yang turun melakukan aksi dan pelemparan itu bukan orang gunung,” katanya.
Giay juga menjelaskan sejarah migrasi orang dari kawasan pegunungan tengah Papua menuju perkotaan di daerah dataran rendah, yang antara lain dipicu operasi militer yang digelar TNI di kawasan pegunungan tengah Papua pada 1977. “Selain itu, kedatangan orang gunung ke kota-kota terjadi karena mereka mencari pendidikan. Orang gunung mulai banyak [bermigrasi ke kota-kota di dataran rendah pada] tahun 1990-an,” katanya.
Orang Papua, khususnya yang berasal dari kawasan pegunungan tengah Papua, memiliki pengalaman hidup yang keras, seperti menjadi saksi operasi militer TNI. Kebanyakan “orang gunung” yang bermigrasi juga harus berjuang keras untuk bertahan hidup, dan harus bekerja sangat keras untuk menggapai cita-citanya.
“Faktor lain, bahwa orang gunung datang [ke kota] tanpa pendidikan dan bekal materi, dan di kota mereka berhadapan dengan realita [hidup] yang keras. Inilah yang tidak dipahami pemerintah, kelangsungan hidup masyarakat gunung. Saya berbicara berdasarkan referensi dari hasil penelitian antropolog Universitas Cenderawasih, Johszua Robert Mansoben,” kata Giay.
Giay menyebut stigma negatif terhadap orang gunung terlihat dalam amuk massa dan bentrokan antar warga pada 29 Agustus 2019. Dalam berbagai kasus bentrokan atau amuk massa, publik cenderung mempersalahkan orang gunung.
Giay menyebut persoalan rasisme Papua bukan hal yang baru. Penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) juga sudah menyebut rasisme Papua sebagai salah satu akar masalah Papua yang belum diselesaikan oleh Negara. “Salah satu akar masalah Papua dalam penelitian LIPI adalah stigma rasisme ini,” kata Giay saat menjawab pertanyaan penasehat hukum 14 terdakwa kasus itu.
Ia menegaskan Negara harus hadir untuk menyelesaikan masalah rasisme terhadap orang asli Papua. Negara seharusnya tidak mengalihkan isu rasisme dengan menjalankan pemidanaan terhadap para terdakwa, yang didakwa sebagai orang yang melawan Negara.
Giay menegaskan, para terdakwa adalah korban dari praktik panjang rasisme terhadap orang asli Papua, dan meminta majelis hakim memberikan keadilan terhadap para terdakwa. “Mereka ini korban dari kasus rasisme terhadap OAP, sehingga saya harapkan ada keadilan dari majelis hakim dalam menilai kasus itu,” katanya.
Dalam persidangan yang sama, Tim Advokat untuk OAP juga menghadirkan saksi ahli hukum pidana, Dr Yohanes Budiman Bakti. Ia menjelaskan persekongkolan merupakan unsur penting yang harus dibuktikan untuk menyatakan 14 terdakwa Pasal 170 KUHP itu bersalah. “Jika pebuatan dilakukan secara persekongkolan dan mereka saling mengenal, dan direncanakan, dengan adanya bukti fisik, dilakukan dalam skala besar, dan mengakibarkan barang rusak, baru bisa dikenakan pasa 170 KUHP,” kata Budiman.
Budiman menegaskan, Pasal 170 KUHP termasuk jenis delik formil yang mementingkan pembuktian terpenuhinya unsur-unsur tidak pidana. Sebagai delik formil, akibat dari perbuatan tidak bisa dijadikan dasar untuk menyatakan seorang terdakwa bersalah.
“Pasal 170 KUHP termasuk [delik] formil [yang] tidak mempersoalkan akibat dari perbuatan. [Unsur yang harus dipenuhi adalah] apabila terdakwa dengan bersama-sama, dengan tenaga yang cukup besar, dan memenuhi unsur barang siapa pada Pasal 170 KUHP. Kalau jaksa tidak mampu membuktikan bahwa mereka ini bersama-sama [membuat] persekongkolan sebelumnya, dan pada saat demo [mereka yang bersekongkol itu melakukan perusakan] serta ada barang yang rusak, para terdakwa tidak bisa dipersalahkan dengan Pasal 170 KUHP,” kata Budiman.(*)
Editor: Aryo Wisanggeni G