Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Saksi ahli hukum pidana Dr Yohanes Budiman Bakti menyatakan pengakuan terdakwa yang tertulis dalam Berita Acara Pemeriksaan buatan penyidik bukan merupakan alat bukti. Pengakuan yang sah menjadi alat bukti adalah pengakuan yang disampaikan terdakwa di dalam persidangan.
Pendapat itu disampaikan Budiman saat diperiksa sebagai saksi ahli di Pengadilan Negeri Jayapura pada Senin (20/1/2020), dalam persidangan sejumlah perkara terkait dengan amuk massa 29 Agustus 2019. Sidang pemeriksaan saksi ahli itu dipimpin hakim ketua Maria Magdalena Sitanggang bersama dua hakim anggota, Muliyawan dan Abdul Gafur Bungin.
“Pengakuan terdakwa [yang dituliskan penyidik] di dalam Berita Acara Pemeriksaan tidak bisa dijadikan alat bukti. Pengakuan yang sah itu hanya yang disampaikan [terdakwa] di dalam ruang sidang pengadilan,” kata Budiman saat diperiksa sebagai saksi ahli.
Dr Yohanes Budiman Bakti dihadirkan sebagai saksi ahli oleh Tim Advokat untu Orang Asli Papua (OAP). Pada Senin, Tim Advokat untuk OAP mengajukan Budiman dan saksi ahli Dr Benny Giay untuk melakuan pembelaan terhadap 14 terdakwa dalam perkara yang terkait amuk massa 29 Agustus 2019. Para terdakwa itu adalah Dorti Kawena, Yali Loho, Pandra Wenda, Yoda Tabuni, Perius Entama, Agustinus Mohi, Ronal Wandik, Mikha Asso, Persiapan Kogoya, Jhony Weya, Yusuf Marthen Moay, Helo Hubi, dan Aris Asso.
Budiman menegaskan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak menyebutkan “keterangan tersangka” sebagai alat bukti. Penggunaan istilah “keterangan terdakwa” dalam KUHAP merupakan batasan yang jelas bahwa hanya pengakuan tersangka dalam Berita Acara Pemeriksaan tidak bisa dijadikan alat bukti dalam mengadili terdakwa. “Kalau pengakuan [yang disampaikan kepada] penyidik dan jaksa, [itu] hanya petunjuk, dan nanti hakim yang menilainya,” kata Budiman.
Budiman juga menyoroti kejanggalan kronologi penyusunan BAP yang dianggapnya disusun dengan sangat cepat. Ia menilai proses penetapan tersangka yang dilakukan penyidik dalam waktu sangat singkat jika dihitung sejak perkara itu diadukan kepada polisi, terlebih jika polisi mengenakan Pasal 170 KUHP sebagai sangkaan bagi 14 orang yang kini menjadi terdakwa itu.
Menurut Budiman, persekongkolan merupakan unsur penting yang harus dibuktikan untuk menyatakan 14 terdakwa Pasal 170 KUHP itu bersalah. “Jika pebuatan dilakukan secara persekongkolan dan mereka saling mengenal, dan direncanakan, dengan adanya bukti fisik, dilakukan dalam skala besar, dan mengakibarkan barang rusak, baru bisa dikenakan pasa 170 KUHP,” kata Budiman.
Budiman menegaskan, Pasal 170 KUHP termasuk jenis delik formil yang mementingkan pembuktian terpenuhinya unsur-unsur tidak pidana. Sebagai delik formil, akibat dari perbuatan tidak bisa dijadikan dasar untuk menyatakan seorang terdakwa bersalah.
“Pasal 170 KUHP termasuk [delik] formil [yang] tidak mempersoalkan akibat dari perbuatan. [Unsur yang harus dipenuhi adalah] apabila terdakwa dengan bersama-sama, dengan tenaga yang cukup besar, dan memenuhi unsur barang siapa pada Pasal 170 KUHP. Kalau jaksa tidak mampu membuktikan bahwa mereka ini bersama-sama [membuat] persekongkolan sebelumnya, dan pada saat demo [mereka yang bersekongkol itu melakukan perusakan] serta ada barang yang rusak, para terdakwa tidak bisa dipersalahkan dengan Pasal 170 KUHP,” kata Budiman.(*)
Editor: Aryo Wisanggeni G