Papua No.1 News Portal | Jubi
Suva, Jubi – Ratusan pekerja pelayaran asal Kiribati yang terdampar di luar negeri memohon kepada pemerintahnya untuk mengizinkan mereka kembali ke rumah, sementara negara itu masih menutup perbatasannya dari penerbangan internasional.
Kapten Tekemaua Kiraua adalah salah satu dari 165 pelaut yang telah berada di Fiji sejak Maret, ia berkata penantian yang panjang itu mempengaruhi kesehatan mental mereka.
“Ini membuat kami merasa frustasi, kru kami menjadi khawatir. Ada banyak yang marah. Ada banyak masalah dan keprihatinan dari keluarga di Kiribati,” ungkapnya.
Dengan wabah Covid-19 yang sedang melanda Fiji, mereka terkurung di hotel mereka di Nadi, dimana makanan dan kamar mereka dibayar oleh perusahaan pelayaran Jerman yang mempekerjakan mereka.
Namun sejak sampai di Fiji, gaji pokok mereka telah dihentikan dan mereka tidak bisa mengirim uang ke rumah mereka lagi.
“Kami punya anak-anak yang pergi ke sekolah, beberapa dari kami ditinggalkan istri mereka yang menemukan suami lain… Ini sungguh menyedihkan, duduk di sini tanpa melakukan apa-apa, tidak menghasilkan pemasukan apa-apa, dan sepanjang waktu disibukkan dengan masalah-masalah,” tuturnya .
Saat sidang parlemen minggu ini, Kapten Kiraua menekankan betapa penting situasi mereka, yang harus diangkat dan didiskusikan untuk menekan pemerintah agar mengizinkan mereka pulang.
Situasi mereka ini telah mendorong sebuah konsorsium perusahaan pelayaran Jerman untuk mengakhiri perjanjian untuk melatih dan merekrut pekerja i-Kiribati yang sudah berlaku selama puluhan tahun. Kelompok perusahaan itu mengatakan mereka tidak bisa lagi merekrut pekerja tanpa bis memulangkan mereka dan mengakhiri kerjasamanya pada Juni, setelah negosiasi dengan pemerintah Kiribati gagal.
Pastor Matthias Ristau adalah seorang Pendeta di Hamburg, Jerman, di mana dia membantu 20 pelaut i-Kiribati lainnya yang tertahan disana.
“Ada berbagai cara untuk membawa mereka pulang, mungkin lewat Australia… Secara teknis itu dapat dilakukan, secara finansial juga bisa. Hanya saja pemerintah harus mendukung, mereka harus bilang ya, kami akan melakukannya,” jelasnya.
Pastor Ristau menekan bahwa dengan berakhirnya perjanjian kerja tadi, itu berarti pekerja pelayaran di Kiribati akan kehilangan pekerjaan mereka, hal itu pasti akan menghancurkan masyarakat. Tapi ia masih berharap akan ada solusi di detik-detik terakhir sebelum Desember, yaitu ketika perusahaan-perusahaan Jerman tadi benar-benar angkat kaki dari Kiribati.
Saat parlemen bertemu minggu ini, anggota-anggota keluarga pada pelaut, termasuk istri Kapten Kiraua, Aenererei, berharap akan ada kabar baik tentang kesepakatan kerja dengan perusahan Jerman dan pulangnya orang-orang yang mereka cintai.
“Suami saya tidak ada di sini, itu adalah beban yang besar. Saya selalu memikirkan dia, dan berharap dia kembali,” katanya. (Pacific Beat)