Papua No.1 News Portal | Jubi
Accra, Jubi – Kemunculan internet membuat usaha bioskop swasta di Ghana menghadapi nasib yang tidak jelas. Namun poster film buatan tangan justru banyak diminati kolektor sebagai barang antik. Hal itu dirasakan, pelukis poster negara Ghana, Daniel Anum Jasper yang kini karyanya justru banyak diburu kolektor.
Jasper, seorang perancang poster film veteran, sedang menyelesaikan salah satu poster film klasik “Butch Cassidy and the Sundance Kid” (1969), pesanan seorang kolektor asing yang menghubunginya lewat Instagram.
Baca juga : Nancy Wii perempuan pertama pimpin angkatan udara Papua Nugini
Keterlibatan sutradara perempuan di AS turun 16 persen
Pemerintah Taliban larang tayangkan sinetron aktor perempuan
Karya jasper itu diburu, khusunya sejumlah poster akhir 1970-an hingga 1990-an, sebagai bukti Ghana mengembangkan tradisi iklan film dengan poster-poster semarak buatan tangan saat bioskop-bioskop lokal menjamur di negara Afrika Barat itu. Kala itu para seniman poster saling bersaing menarik penonton terbanyak dengan tampilan mencolok, imajinatif dan memukau.
Jasper adalah seorang pelopor tradisi itu. Dia telah melukis poster film pada karung terigu daur ulang selama 30 tahun terakhir. Namun pasar untuk menampung karya seninya, yang pernah membuat orang berebut kursi di bioskop, kini telah berubah.
“Orang tak tertarik lagi menonton bioskop ketika film bisa diputar dengan mudah dari ponsel mereka,” kata Jasper, dikutip Antara dari Reuters, Kamis, (24/2/2022).
Ia mengatakan saat bioskop tutup justru minat membeli poster film lukisan tangan meningkat di pasar internasional. “Poster zaman dulu itu banyak menghiasi di ruang-ruang pribadi atau memajang di pameran,”ujar Jasper menjelaskan.
Karya Jasper telah menarik minat publik di luar negeri, termasuk di Amerika Serikat, di mana poster-poster itu dihargai sebagai representasi yang khas dari seni Afrika pada masa tertentu. Film koboi menjadi andalan tradisi itu, seperti halnya film Bollywood dan Mandarin. Banyak dari poster-poster itu yang menampilkan adegan klenik dan kekerasan asal-asalan –meskipun tidak ada di dalam filmnya– dan sosok yang ditampilkan secara fisik tampak berlebihan.
Tercatat Joseph Oduro-Frimpong, profesor antropologi budaya pop di Universitas Ashesi Ghana mengoleksi sejumlah karya Jasper. Dia telah mengumpulkan poster-poster itu bertahun-tahun dan diketahui pernah membeli semua koleksi film dari sebuah toko penyewaan video yang ditutup.
Dia berencana menampilkan koleksi posternya di Pusat Kebudayaan Populer Afrika yang akan dibuka di universitasnya akhir tahun ini. Dia berharap masyarakat menghargai sejarahnya. “Tentu saja ada nilai estetika dari poster-poster itu, seberapa ‘gila’ gambarnya dan sebagainya, tapi kami menggunakannya sebagai bahan perbincangan dengan mahasiswa,” kata Joseph. (*)
Editor : Edi Faisol