PH: vonis bagi 14 terdakwa seperti pukul rata semua perkara

PH: vonis bagi 14 terdakwa seperti pukul rata semua perkara 1 i Papua
Foto ilustrasi, Dewi Keadilan. - pixabay.com
PH: vonis bagi 14 terdakwa seperti pukul rata semua perkara 2 i Papua
Foto ilustrasi, Dewi Keadilan. – pixabay.com

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Jakarta, Jubi – Sejumlah 14 terdakwa perkara yang terkait unjukrasa anti rasisme Papua dan amuk massa 29 Agustus 2019 divonis enam bulan penjara dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jayapura, Senin (24/2/2020). Penasehat hukum para terdakwa menyatakan putusan itu mengejutkan, karena menunjukkan majelis hakim cenderung menyamaratakan perkara para terdakwa yang didakwa dengan tuduhan yang berbeda-beda.

Read More

Sejumlah 14 terdakwa yang divonis pada Senin adalah Pandra Wenda, Yoda Tabuni, Dorti Kawena, Yali Loho, Ronald Wandik, Jonny Weya, Persiapan Kogoya, Mika Asso, Yusuf Moai, Ello Hubi, Revinus Tambonop, Ari Asso, Ferius Entama, dan Agustinus L Mohi. Sidang pembacaan vonis mereka dipimpin hakim ketua Maria M Sitanggang bersama hakim anggota Muliyawan dan Abdul Gafur Bungin.

Dalam putusan yang terpisah sesuai dengan pengelompokan perkara, majelis hakim menyatakan 14 terdakwa ini terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan tindak pidana yang didakwakan jaksa. Majelis hakim menjatuhkan hukuman yang sama untuk 14 terdakwa itu, yaitu hukuman enam bulan penjara, dikurangi masa penahanan masing-masing terdakwa.

Penasehat hukum para terdakwa, Rita Selena Kolibonso mengatakan dakwaan jaksa penuntut umum kepada para terdakwa itu berbeda-beda. Ia menyatakan pihaknya akan segera menimbang kepentingan masing-masing terdakwa untuk memutuskan banding atau menerima putusan itu.

“Dalam pembelaan yang kami sampaikan, kasus-kasus [yang didakwakan kepada] 14 terdakwa ini berbeda-beda. Secara keseluruhan, [di dalam persidangan] kasus-kasus itu tidak terbukti secara sah dan menyakinkan, dan kasusnya berbeda-beda,” kata Rita.

Rita menegaskan proses persidangan justru menunjukkan fakta adanya bukti-bukti yang direkayasa, bahkan juga memunculkan fakta bahwa terdakwa tidak ada di tempat kejadian perkara seperti yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum. Fakta persidangan itu telah disampaikan tim penasehat hukum dalam nota pembelaan mereka, namun tidak dipertimbangkan oleh majelis hakim.

Rita mengatakan, putusan hakim yang pukul rata ini memang sangat mengejutkan karena seperti “pukul rata” semua perkara 14 terdakwa itu. “Memang sangat mengejutkan, putusan hakim yang demikian. [Penyampaian nota pembelakaan adalah] hak terdakwa. Putusannya dipukul rata, sama dalam kasus dan kejadian yang berbeda-beda, [sebagaimana] sudah kami sampaikan dalam nota pembelaan masing-masing terdakwa. Tetapi, [nota pembelaan masing-masing terdakwa] tidak dipertibangkan oleh majelis hakim dalam putusannya,” kata Rita.

Meskipun demikian, Rita menyatakan pihaknya menghormati putusan majelis hakim terhadap 14 terdakwa itu. Tim penasehat hukum akan segera menemui para terdakwa untuk menjelaskan upaya hukum apa saja yang bisa dilakukan selanjutnya.

“Saya kira ini satu perkara yang besar bagi para terdakwa dan bagi orang asli Papua, dan saya kira ini satu proses yang penting untuk kita perhatikan. Saya pikir tidak hanya terdakwa yang tahu putusannya, tetapi masyarakat juga berhak mengetahuinya,” ujar Rita.

Penasehat hukum terdakwa yang lain, Frederika Korain mengatakan majelis hakim dalam putusan mereka memertimbangkan berbagai barang bukti seperti rekaman kamera CCTV, namun selama persidangan rekaman kamera CCTV itu tidak pernah diperlihatkan. “Bagaimana kita mau bilang para terdakwa ini bersalah lewat CCTV, kalau CCTV saja tidak diperlihatkan dalam persidangan yang berlangsung,” katanya.

Korain menegaskan jaksa penuntut umum juga tidak bisa menghadirkan saksi fakta yang mengetahui bagaimana 14 terdakwa melakukan perbuatan yang dituduhkan dan didakwakan kepada mereka. “Dalam persidangan juga kita lihat tidak ada saksi fakta yang dihadirkan selama persidangan berlangsung,” kata Korain. (*)

Editor: Aryo Wisanggeni G

Related posts

Leave a Reply