Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jayapura pada Rabu (12/2/2020), Tim Advokat untuk Orang Asli Papua membacakan pledoi atau nota pembelaan dalam lima berkas perkara kasus amuk massa di Kota Jayapura pada 29 Agustus 2019 lalu. Tim Advokat untuk Orang Asli Papua menyatakan proses persidangan menunjukkan para terdakwa tidak terbukti melakukan perusakan yang didakwakan jaksa penuntut umum.
Dalam persidangan yang dipimpin hakim ketua Maria Magdalena Sitanggang bersama dua hakim anggota, Muliyawan dan Abdul Gafur Bungin, Tim Advokat untuk Orang Asli Papua (OAP) membacakan pledoi bagi terdakwa Mika Asso, Jhoni Weya, Persiapan Kogoya, Yusup Marthen Muay, Ronald, Wandik, Elo Hubi, Rofinus Tambonop, Ali Asso, dan Yoda Tabuni. Tim penasehat hukum para terdakwa itu menyatakan klien mereka tidak terbukti melakukan tindak pidana perusakan barang atau benda atau pertokoan di sepanjang Jayapura, sebagaimana yang didakwakan jaksa.
“Fakta persidangan ternyata membuktikan bahwa para terdakwa tidak melakukan tindak pidana perusakan seperti yang didakwakan oleh JPU,” kata Ketua Tim Advokat untuk OAP, Sugeng Teguh Santoso saat membacakan pledoi bagi para terdakwa.
Pledoi itu juga menekankan bagaimana jaksa penuntut umum selama persidangan gagal menghadirkan saksi fakta yang mengetahui tindakan para terdakwa dalam amuk massa 29 Agustus 2019. Proses persidangan justru memunculkan pengakuan dari para terdakwa tentang adanya intimidasi dan kekerasan yang dilakuan para penyidik dalam penyusunan Berita Acara Pemeriksaan kasus para terdakwa. “Penetapan terdakwa sebagai tersangka dalam penyidikan tidak sesuai dengan alat bukti, dan pemeriksaan yang dilakukan juga tidak sesuai dengan prosedur yang berlaku seperti biasanya,” kata Sugeng saat membacakan pledoi itu.
Anggota Tim Advokat Untuk Orang Asli Papua (OAP), Frederika Korain, mengatakan, dalam perkara kliennya, sebagian besar jaksa penuntut umum tidak berhasil menghadirkan saksi fakta, atau orang yang mengetahui tindakan para terdakwa dalam rangkaian unjukrasa anti rasisme yang berkembang menjadi amuk massa 29 Agustus 2019.
“Seharus dalam sebuah perkara itu harus didukung oleh alat bukti yang kuat dan saksi fakta. Akan tetapi, dalam kasus itu tidak ada alat bukti yang kuat, dan tidak ada saksi fakta yang dihadirkan oleh jaksa penentut umum,” ucapnya.
Saat membacakan pledoi bagi kliennya, Korain menegaskan proses penyidikan kasus itu yang penuh dengan kekerasan, dimana para terdakwa mereka mengalami kekerasan dan dipaksa untuk mengakui perbuatan yang tidak pernah mereka lakukan. “Dalam persidangan, mereka telah mencabut Berita Acara Pemeriksaan, dan itu dikabulkan oleh majelis hakim. Itu juga yang digaris bawahi di dalam pembelaan ini,” kata Korain.
Sebelumnya, pada Selasa (11/2/2020), majelis hakim PN Jayapura yang terdiri dari hakim ketua majelis Alexander Tetelepta bersama hakim anggota Roberto Naibaho dan Korneles Waroi telah menjatuhkan vonis bersalah terhadap tiga terdakwa yang terkait kasus amuk massa 29 Agustus 2019. Oktovianus Hisage yang dijadikan terdakwa kasus pencurian komputer di Kantor Komisi Pemilihan Umum Papua saat unjukrasa anti rasisme Papua itu dinyatakan bersalah dan dihukum enam bulan penjara, dipotong masa tahanan.
Majelis hakim yang sama juga menjatuhkan vonis bersalah terhadap Yosam Wenda dan Yoda Tabuni yang dinyatakan bersalah mencuri keyboard di Kantor Dharma Wanita Setda Provinsi Papua pada 29 Agustus 2019. Wenda dan Tabuni dihukum enam bulan penjara, dipotong masa tahanan. “Kami menyatakan masih pikir-pikir, apakah akan mengajukan banding atas vonis itu, atau tidak,” kata Korain seusai persidangan Rabu.(*)
Jurnalis Jubi, Angela Flassy, turut berkontribusi dalam penulisan berita ini.
Editor: Aryo Wisanggeni G