Papua No.1 News Portal | Jubi
Oleh: Brayon Virgil Lekitoo
Pengantar
Puji dan syukur kepada Tuhan atas bedah buku “BURUNG PUN TAK ADA LAGI – Perempuan Adat Bertahan Menghadapi Kehilangan Hutan di Papua”. Pertama-tama saya mengucapkan terima kasih kepada penggagas, peneliti, penulis, editor, desainer, dan penerbit karya tulis/buku yang sangat elegan ini. Terlebih khusus saya berikan apresiasi kepada Asia Justice and Rights (AJAR) dan Papuan Women’s Working Group/Kelompok Kerja Perempuan untuk Papua (PWG), serta pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu, atas terbitnya buku yang luar biasa ini.
Buku ini terdiri dari lima pokok pembahasan, yang terbagi lagi ke dalam 13 sub topik, yang merupakan pemaparan hasil penelitian aksi partisipatif (participatory action research) yang melibatkan 100 perempuan adat Papua, dengan fokus penelitian terhadap masalah konflik tanah adat, eksploitasi sumber daya alam, ekspansi korporasi, kepentingan ekonomi-politik negara, tuntutan komoditas pasar global, dan degradasi lingkungan yang dihadapi oleh perempuan Papua, yang dilakukan di lima kabupaten di Provinsi Papua dan Papua Barat, yaitu Kabupaten Jayapura (Unurum Guay), Boven Digoel, Fakfak, Tambrauw, dan Kabupaten Sorong.
Menariknya tim penulis dapat mengkolaborasikan pendekatan sinkronik dan diakronik, melalui metode penelitian aksi partisipatif dengan menggagas tujuh kegiatan, yang bertujuan untuk mendengarkan secara lebih dalam dan belajar dari pengalaman-pengalaman perempuan terdampak konflik tanah/sumber daya alam.
Dengan demikian, proses penelitian aksi partisipatif ini telah memberikan ruang kepada perempuan adat sebagai pemilik budaya, untuk bersuara secara langsung tentang problematika yang dihadapi (native point of view) tanpa perlu menggunakan perspektif luar (scientist point of view)—yang dapat mengaburkan pemahaman konteks tentang realitas permasalahan yang terjadi pada orang Papua, tanah dan hutannya.
Beberapa temuan kunci yang didapatkan dari studi kasus dan hasil penelitian aksi partisipatif di lima kabupaten itu, antara lain, 1) Adanya relasi yang kuat antara perempuan adat dengan wilayah adat mereka; 2) Terdapat berbagai kerentanan dan masalah sosial yang dihadapi oleh perempuan-perempuan adat; 3). Terjadi agresi korporasi ke tanah-tanah adat; 4) Dampak dan efek yang ditimbulkan dari aktivitas perusahaan terhadap sumber daya alam dan masyarakat asli Papua; dan 5) Respons dan ketahanan perempuan adat dalam mempertahankan tanah dan hutan mereka.
Posisi dan peran perempuan Papua
Salah satu ungkapan yang sering terdengar dan mungkin menggambarkan betapa fundamentalnya peran perempuan asli Papua terhadap tanah/hutan yaitu, “Tanah adalah mama yang memberi hidup”.
Mengapa filosofi ini sangat dipegang kuat oleh orang Papua dan tidak pernah diubah atau diganti dengan filosofi lain, seperti, “Tanah adalah pria yang pekerja keras?” atau “Hutan adalah bapa yang baik?”
Tanpa mendiskreditkan posisi laki-laki, namun dapat terlihat dengan jelas bahwa dalam struktur budaya Melanesia, khususnya Papua—yang sarat patriarki, seperti yang telah diutarakan oleh beberapa partisipan perempuan yang menjadi responden pada penelitian aksi partisipatif ini di wilayah Distrik Unurum Guay: Tanah ini yang paling berperan bapak-bapak dorang biasa bicara, “kamu anak-anak ini kau tau apa? Yang lebih (tau) begitu itu bapak-bapak”. Padahal kitorang ini juga punya ilmu, kita sekolah, padahal kita berhak bicara. – UI (hlm. 65).
Secara pribadi saya ingin menjaga alam ini karena bisa pergi pancing, berkebun, dan kumpul batu, tapi saya tidak bisa melawan saudara laki-laki dan orang tua, kita sebagai perempuan tidak bisa melawan …..– UA (hlm. 64).
Terdapat pengakuan yang disampaikan secara tersirat melalui filosofi tanah tadi. Bahwa “tanah adalah mama yang memberi hidup”. Jika tanah—pemberi hidup—dilambangkan dengan keberadaan seorang perempuan (mama), maka dapat dikatakan, bahwa perempuan asli Papua memiliki peran luar biasa bagi kehidupan di Papua, karena tanah merupakan dasar dan fondasi setiap aktivitas manusia untuk keberlangsungan hidupnya.
Atau dalam konsep materialisme kebudayaan yang dikembangkan oleh Marvin Harris (ahli Antropologi US – University of Florida) dalam bukunya “The Rise of Anthropological Theory (1968) & Cultural Materialism: The Struggle for a Science of Culture (1979)” terdapat 3 unsur penting dalam setiap kebudayaan, yang membuat kebudayaan tersebut tetap solid, yaitu infrastruktur, struktur dan suprastruktur.
Dalam hal ini tanah/hutan digambarkan sebagai representasi perempuan asli Papua atau sebaliknya perempuan Papua sebagai representasi dari keberadaan tanah/hutan itu sendiri. Dapat dikatakan sebagai infrastruktur/basis/fondasi yang memprakarsai produksi, serta reproduksi terhadap terbentuknya suatu struktur dan suprastruktur dari orang asli Papua yang solid dan tangguh.
Di sini struktur digambarkan sebagai sistem dan relasi sosial yang dimiliki oleh orang Papua, yang di dalamnya terdapat hubungan kekerabatan, ekonomi dan politik. Sedangkan suprastruktur yang dimaksud di sini adalah ranah ideologis, intelektualitas, dan pola pikir.
Dengan demikian dapat dikatakan secara sederhana bahwa keberadaan perempuan Papua menjadi dasar tercipta dan solidnya hubungan sosial dan kekerabatan dalam setiap komunitas adat orang asli Papua (tetapi juga antarkomunitas adat), tetapi perempuan Papua juga dapat menjadi aktor intelektual dari munculnya pola pikir dan ideologi konstruktif tentang pengelolaan hutan, tanah, dan lingkungan di Papua.
Bernard Narokobi—filsuf, pengamat hukum dan politik dari Papua Nugini—pada salah satu bagian pembahasan dalam bukunya “The Melanesian Way (1980)”, yang diberikan judul “There’s No Need For Women’s Liberal Here, Because …… ‘Melanesian Women Already Equal” menekankan, bahwa perempuan dalam budaya Melanesia tidak lebih rendah atau juga lebih tinggi dari laki-laki, tetapi perempuan Melanesia memiliki perbedaan yang menjadikan mereka istimewa.
Dalam bahasa Bukip dan Sausa, Narokobi menjelaskan, kata “perempuan/wanita” sangat identik dengan penciptaan, kedamaian, dan peradaban. Lebih lanjut Narokobi menegaskan, dengan pengetahuan tentang budaya (alamnya), flora, dan fauna yang dimiliki perempuan, dapat menjadikannya sosok yang dihormati dan disegani para pria. Seperti contoh yang diberikan oleh salah satu pejuang wanita berinisial SC asal suku Moi (Kota Sorong) dalam buku ini.
Dengan menggunakan kolaborasi pengetahuan formal dan informal, SC dapat menemukan titik masuk pada sistem dan struktur adat masyarakat adatnya, sebagai tonggak awal perjuangan yang dirintisnya, untuk membuat peta tanah adat Kota Sorong dan membuat tapal batas 7 marga, yang ada di pusat Kota Sorong, hingga akhirnya berhasil ditandatangani di depan notaris bersama perwakilan dari 7 marga tersebut.
Penutup
Penelitian ini telah mengakomodasi lima kabupaten yang mewakili empat wilayah adat di Tanah Papua (Tabi, Anim-Ha, Doberai, dan Bomerai). Jika memungkinan, penelitian dan karya tulis ini dapat dikembangkan dengan mengakomodasi tiga wilayah adat lainnya, yaitu Lapago, Mepago dan Saireri, sehingga menjadi suatu rangkuman data permasalahan perempuan, tanah adat dan hutan yang komprehensif tentang Papua.
Dengan demikian, saya berharap hasil dari lima temuan kunci sebagai insight tentang apa yang sebenarnya terjadi tentang tanah, hutan dan manusia Papua, serta sepuluh rekomendasi kunci sebagai gagasan dan solusi konkret yang diperoleh dari penelitian aksi partisipatif ini, yang berdasarkan pada realitas konflik yang terjadi di lapangan, kiranya dapat memberikan kesadaran tentang betapa signifikannya peran perempuan-perempuan Papua, dalam mengambil tindakan konservasi dan mitigasi terhadap eksploitasi sumber daya alam, konflik tanah adat, ekspansi korporasi, kepentingan ekonomi-politik negara, tuntutan komoditas pasar global, dan degradasi lingkungan yang terjadi pada tanah dan hutan milik masyarakat adat di Papua.
Rekomendasi-rekomendasi dalam buku ini diharapkan dapat ditindaklanjuti oleh pihak-pihak terkait, yaitu, Pemerintah Pusat, DPR RI; Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup dan Departemen Pertanian, Komnas HAM, Komnas Perempuan, Pemprov Papua dan Papua Barat, pemerintah kabupaten/kota, perusahaan-perusahaan, lembaga dan pimpinan adat, lembaga dan pimpinan gereja, serta kelompok masyarakat sipil. (*)
Penulis adalah alumnus Antropologi Uncen dan mahasiswa Magister Antropologi Budaya Universitas Gadjah Mada.
Editor: Timoteus Marten