Perayaan Hari Konstitusi Fiji dikecam oposisi

Perayaan Hari Konstitusi Fiji dikecam oposisi 1 i Papua
Biman Prasad. - NFP

Papua No.1 News Portal | Jubi

Suva, Jubi – Pada Rabu ini (8/9/2021) bangsa Fiji terpaksa harus merayakan Hari Konstitusi secara virtual akibat krisis pandemi Covid-19 yang sedang menyerang negara itu. Namun banyak pihak yang menganggap hari ini sebagai hal yang hampa dan tidak layak untuk dirayakan sama sekali.

Hari libur nasional ini menandai sudah delapan tahun berlalu sejak Konstitusi 2013 disahkan – dokumen yang sangat kontroversial ini diajukan oleh pemerintah.

Read More

Salah satu pihak yang mengecamnya tahun ini adalah pemimpin oposisi dari Partai Federasi Nasional (NFP), Profesor Biman Prasad. Ia menekankan bahwa dokumen itu ‘ditolak secara meluas’ di seluruh dunia dan seringkali ‘dicemooh’ bahkan di Fiji sendiri.

“Setiap tahun Partai FijiFirst berusaha mati-matian untuk mempromosikan Konstitusi,” ungkapnya dalam sebuah pernyataan Rabu ini yang juga mengkritik dokumen tersebut. “Dokumen itu bahkan mencoba untuk menunjukkan bahwa itu adalah salah satu konstitusi yang terbaik di seluruh dunia. Namun tidak ada satu pun pengacara konstitusional tersohor yang mendukungnya. Di seluruh dunia konstitusi itu ditolak secara luas. Di Fiji, itu sering diejek.”

Prasad menambahkan bahwa Konstitusi itu hanya sekedar ‘secarik kertas’. “Di Fiji, konstitusi itu bukan milik rakyat. Masyarakat hidup dalam ketakutan akan institusi-institusinya.”

Menurut Prasad, ada beberapa alasan yang ia yakini telah menyebabkan ketakutan ini. “kebanyakan orang hidup dalam ketakutan terhadap pemerintah. Banyak yang takut akan diserang oleh aparat polisi, kejadian yang sekarang kian sering terjadi. Orang lain takut menyuarakan oposisinya karena mereka tidak akan mendapat bantuan dari pemerintah. Orang-Orang yang tidak mau menerima vaksinasi ditolak bantuannya. Mereka yang tidak mendukung pandangan pemerintah tentang vaksinasi ditangkap.

“Di bawah konstitusi kita, masyarakat memiliki hak atas kesehatan mereka. Namun penanganan pemerintah atas gelombang kedua covid-19 ini telah menyebabkan ratusan kematian, baik akibat penyakit maupun dari keterbatasan pelayanan kesehatan.

“Serikat buruh tidak diberikan izin untuk mengadakan protes menuntut hak-hak pekerja. Dan pemerintah belum menaikkan upah minimum yang menyedihkan selama hampir lima tahun terakhir. Bahkan orang-orang dengan pekerjaan penuh waktu tapi hidup dalam kemiskinan.” (Asia Pacific Report)

 

Editor: Kristianto Galuwo

Related posts

Leave a Reply