Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Legislator Papua, Emus Gwijangge, menyatakan penyelesaian berbagai masalah di Papua, terutama kasus pelanggaran HAM masa lalu, lebih penting dibanding pemekaran yang kini direncanakan pemerintah.
Anggota komisi bidang pemerintahan, politik, hukum, dan hak asasi manusia DPR Papua itu menyatakan yang selama ini didorong berbagai pihak di Papua adalah penuntasan akar masalah di sana, terutama lewat dialog damai Jakarta-Papua.
Sedangkan pemekaran merupakan keinginan sebagian pihak yang dianggap mengatasnamakan masyarakat Papua.
“Yang mesti dipikirkan pemerintah, bagaimana menyelesaikan masalah di Tanah Papua. Apakah lewat dialog atau cara lain,” kata Emus Gwijangge melalui panggilan teleponnya kepada Jubi, Minggu (6/2/2022).
Ia berpendapat, apabila pemerintah membentuk daerah otonomi baru di Papua, sebelum berbagai masalah diselesaikan, justru dapat memicu munculnya masalah baru. Sebab, yang diinginkan sebagian besar pihak di Papua bukanlah pemekaran atau kucuran dana dari pemerintah akan tetapi keseriusan negara menyelesaikan masalah di provinsi tertimur Indonesia itu.
“Kalau berbagai masalah di Tanah Papua sudah selesai, barulah bicara pemekaran. Kalau dalam situasi Papua sekarang ini kita bicara pemekaran, saya pikir itu bukan solusi terbaik,” ucapnya.
Apalagi, lanjut Gwijangge, hingga kini rencana pemekaran pemerintah memekarkan Papua menjadi empat provinsi, dan Papua Barat dua provinsi menuai pro dan kontra berbagai kalangan di Papua.
Katanya, masyarakat Papua di berbagai daerah juga menyampaikan penolakan, saat para anggota DPR Papua termasuk dirinya, reses ke daerah pemilihannya.
“Bukan pemekaran yang diinginkan masyarakat Papua. Mereka ingin dialog yang difasilitasi pihak ketiga, seperti di Aceh yang melahirkan perjanjian Helsinki. Presiden perlu mempertimbangkan hal lain,” ujarnya.
Emus Gwijangge berharap, sebelum periode kedua Presiden Joko Widodo berakhir, mantan Wali Kota Solo dan Gubernur DKI Jakarta tersebut dapat segera mencari solusi menyelesaikan masalah Papua.
Ia tak ingin masalah Papua terus menjadi ‘luka’ antara Papua dan Indonesia. Sebab, situasi itu berpotensi dimanfaatkan pihak ketiga.
“Untuk itu, Presiden, Wakil Presiden, dan Panglima TNI perlu berpikir negarawan. Berpikir bagaimana mempertahankan negara ini. Jangan sampai menjadi bom waktu,” katanya.
Baca juga: Situasi Tanah Papua dan dunia menjadi pesan harapan dalam HUT Pekabaran Injil ke 167
Sementara itu, dikutip dari suarapapua.com, salah satu tim Asistensi Undang-Undang Otsus Papua pada 2001 silam, Dr. Agus Sumule, mengatakan rencana memekarkan Papua menjadi empat provinsi berpeluang mendatangkan arus penduduk dalam skala besar, dari berbagai provinsi lain ke Papua nantinya.
“Apabila wacana pemekaran ditolak dan dipertanyakan oleh orang asli Papua. Itu artinya orang Papua merasa pemekaran provinsi bukan untuk mereka,” kata Agus Sumule kepada suarapapua.com, Selasa (2/2/2022).
Akademisi Universitas Papua (Unipa) Manokwari, Papua Barat itu berpendapat, selama setiap daerah di Papua dan Papua Barat belum memiliki kebijakan pengendalian penduduk. Ini merupakan peluang bagi siapapun bebas masuk ke Tanah Papua.
Menurutnya, pemekaran merupakan program transmigrasi atau perpindahan penduduk dari provinsi lain ke Papua dan Papua Barat, yang berganti nama.
“Dulu [perpindahan penduduk ke Papua] bahasanya transmigrasi. Sekarang melalui pemekaran. Selain itu, hingga kini belum ada kajian ilmiah yang menunjukan pemekaran kabupaten, kota, dan provinsi di Papua juga Papua Barat, sudah harus dimekarkan,” ucapnya.
Katanya, belum adanya dasar kajian ilmiah itu seakan menunjukkan pemekaran di Papua dan Papua Barat hanya diperjuangkan oleh pihak tertentu. (*)
Editor: Dewi Wulandari