Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh: Bernardus Bofitwos Baru, OSA
Siapa pemilik hak atas tanah adat?
Sebelum berdirinya suatu negara, masyarakat adat di seluruh dunia telah mengetahui batas-batas wilayah adatnya, manfaat dan cara pengelolaannya berdasarkan tatanan hukum adat dan sistem pemerintahan adat yang dimilikinya.
Milik dan hak ini diwariskan turun-temurun kepada keturunannya (marga atau klan). Demikian pun di Indonesia, jauh sebelum Indonesia didirikan sebagai negara, masyarakat adat di seluruh Nusantara telah mengelola dan melindungi wilayah leluhur mereka dengan menggunakan sistem hukum adat dan tata pemerintahan adatnya yang unik.
Prinsip pemikiran ini ditegaskan pada pasal 18B ayat (2) UUD 1945, tentang hak-hak warga negara sebelum terbentuknya NKRI (Kompas, 27 Juli 2019). Namun saat ini di Indonesia hak-hak wilayah adat belum diakui oleh negara. Kurang lebih 70% daratan Indonesia diklaim sebagai kawasan hutan negara oleh pemerintah.
Menurut Noer Fauzi Rachman dari Sajogyo Institute, konsep yang dipakai oleh negara untuk mengklaim tanah milik masyarakat adat sebagai tanah negara adalah prinsip kolonial yang masih diterapkan oleh negara terhadap tanah milik masyarakat adat. Jadi, negara masih melanjutkan prinsip kolonial yang menganggap tanah dan hutan milik masyarakat adat sebagai tanah dan hutan negara.
Ketika pemerintah mengklaim bahwa wilayah adat atau tanah rakyat, saat ditetapkan menjadi hutan dan tanah negara, maka rakyat itu kehilangan haknya. Cara pemerintah ini dipandang sebagai kebijakan yang masih mempertahankan prinsip negara kolonial. Dengan kata lain, ketika pemerintah menerapkan konsep ini berarti pemerintah masih melanjutkan prinsip negara kolonial, bukan prinsip keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana diatur di dalam UUD 1945.
Kebijakan tata guna lahan Indonesia lebih memihak perusahaan daripada masyarakat adat. Rencana perluasan tata ruang lokal dalam skala besar untuk ekspansi perkebunan dan pertambangan menjadi pemicu yang merusak–menghancurkan hutan milik masyarakat adat. Dengan demikian, jutaan hektare hutan Indonesia telah hancur dan ribuan konflik lahan terus berlanjut.
Ada upaya kampanye panjang oleh masyarakat adat agar memperoleh pengakuan dari negara atas hak milik hutan dan wilayah adat leluhurnya. Risiko konflik agraria terus bermunculan jika negara tetap mempertahankan prinsip kolonial bahwa hutan dan tanah masyarakat adat sebagai miliknya.
Berdasarkan Keputusan MK No. 35/PUU.X/2012 terhadap Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999, menetapkan bahwa hutan adat adalah milik masyarakat adat, dan tidak diklaim lagi sebagai hutan negara. Namun keputusan MK ini harus diikuti dengan penetapan perangkat hukum dan regulasi kebijakan dari pemerintah sebagai implementasi atas pengakuan hak masyarakat adat.
Saat ini terdapat dua sistem hak kepemilikan yang ditawarkan oleh pemerintah kepada masyarakat adat, yaitu kepemilikan individu dan konsesi masyarakat di atas tanah negara.
Pada prinsipnya masyarakat adat menolak kedua model hak kepemilikan tsb. Mereka menuntut pengakuan dan jaminan hukum oleh negara atas hak-hak kolektif masyarakat adat atas tanah dan hutan leluhurnya.
Demikian pun masyarakat adat menolak tawaran konsesi oleh pemerintah kepada masyarakat adat di atas tanah negara yang diikuti dengan model hutan desa. Bagi masyarakat adat, hutan desa dilihat sebagai sebuah skema pemerintah yang memberikan kepada masyarakat adat hak kelola dalam waktu terbatas, dan tidak sebagai hak milik.
Kelemahan kebijakan ini adalah dari pihak masyarakat yang harus mengajukan kepada pemerintah agar memperoleh hak pengelolaan sementara waktu, dan ketika masa pengelolaannya berakhir, masyarakat adat harus membuat pengajuan hak pengelolaannya yang baru. Jika tidak ada pengajuan kembali, maka secara otomatis mereka kehilangan hak pengelolaannya.
Untung dan rugi kepemilikan tanah dalam tiga opsi
Hutan desa dan hutan adat
Hutan desa adalah sebuah skema pemerintah yang memberi masyarakat hak sekolah dalam jangka waktu terbatas, namun tidak memberi hak milik. Masyarakat adat harus mengajukan permohonan kepada pemerintah untuk mendapatkan hak pengelolaan sementara.
Hutan desa tidak menjadi hak milik tetapi hak pakai. Tanah tersebut adalah milik negara. Bagi masyarakat adat, hutan adat lebih menekankan hak milik, sedangkan hutan desa hanya diberikan hak kelola sementara waktu.
Menurut Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), konsesi masyarakat terhadap hutan adat merupakan suatu langkah mundur. Pada prinsipnya hutan yang ada adalah hutan adat, bukan hutan negara. Jadi, disimpulkan bahwa kebijakan pemerintah ini, merugikan masyarakat adat daripada menguntungkan mereka.
Sertifikasi perorangan (individu)
Keuntungan sertifikasi perorangan (individu) yaitu si pemilik memiliki hak sepenuhnya atas tanah miliknya. Pribadi bersangkutan mengambil keputusan menjual tanahnya tanpa harus berunding dengan pihak lain. Namun kerugian dari sistem sertifikasi individu (atau sertifikat milik perorangan) ini mengandung risiko besar, yaitu menghancurkan nilai-nilai kebersamaan. Misal nilai persaudaraan/kekeluargaan dan keharmonisan antara keluarga, marga/klan menjadi ambruk/hancur, karena dipicu oleh kepemilikan pribadi ini.
Cara sertifikasi perorangan ini pun dapat menyuburkan sikap egoistik, individualistik, tamak, rakus, dan sikap menutup diri terhadap saudara atau keluarganya. Selain itu, menurut Direktur AMAN, Abdon Nababan, ketika tanah-tanah ini masuk ke pasar bebas, maka tanah-tanah terbaik di wilayah adat akan dibeli oleh orang-orang kaya (kaum pemodal), sehingga masyarakat adat akan terusir dari tanah leluhurnya.
Berdasarkan fakta bahwa ketika pemerintah memberikan sertifikat kepada individu, justru masyarakat menjadi miskin, bukannya menjadi sejahtera. Karena secara umum mayoritas masyarakat lebih suka memilih jalan pintas dengan menjual tanah miliknya kepada pihak tengkulak, bila kebutuhan ekonomi menuntut. Misalnya ketika mereka mengadakan hajatan nikah atau sakit berat atau pun biaya sekolah anak-anaknya, maka individu bersangkutan menggadai/menjual tanahnya kepada tengkulak, maka mereka akan kehilangan hak milik atas tanah adatnya karena diambil oleh tengkulak-tengkulak tersebut.
Bila demikian yang terjadi, maka masa depan masyarakat adat akan menjadi buruh atau pekerja kasar di atas tanah leluhurnya sendiri. Tuntutan masyarakat adat bukan sertifikat tanah, melainkan pengakuan dan perlindungan dari negara terhadap eksistensi dan hak masyarakat adat.
Kepemilikan pribadi berpotensi memicu konflik yang berakibat pada hancurnya kesatuan masyarakat adat yang secara historis berabad-abad dibangun dan terjaga.
Tanah adat adalah ibu. Tidak ada seorang pun yang menjual ibunya sendiri. Tanah itu juga sakral karena di dalamnya tersimpan situs-situs keramat tentang asal-usul keturunan atau marga. Tanah adat adalah milik bersama demi kelanjutan generasi ke generasi, bukan tanah milik perorangan.
Ibarat beberapa anak yang memiliki seorang ibu kandung yang mengandung, melahirkan dan membesarkan mereka. Karena itu, mustahil salah seorang anak dari saudaranya yang lain, menjual ibunya sendiri.
Kepemilikan komunal-kolektif
Opsi yang lebih sesuai dengan harapan masyarakat adat adalah tanah dimiliki oleh komunitas. Tanah dan hutan dapat dikelola secara bersama oleh masyarakat adat dan otoritas adat atau perwakilan mereka sendiri. Model ini sangat sesuai dengan falsafah masyarakat adat. Karena bagi masyarakat adat, tanah dan hutan adalah ibu (the motherland).
Karena itu, bagi masyarakat adat, tanah dan hutan tidak hanya bernilai ekonomis semata, melainkan juga bernilai spiritual/rohani, sosial, kesehatan, keindahan dan ilmu pengetahuan. Tanah dan hutan sebagai simbolisme yang mengikat kesatuan dan persatuan seluruh masyarakat adat.
Tanah dan hutan menjadi tali pengikat persaudaraan antara keluarga yang satu dengan yang lainnya. Tanah adat sebagai aset kekayaan yang dapat dikelola dan dinikmati secara bersama-sama (komunal), tidak secara individual yang bersifat egoistik dan tamak.
Manfaat wilayah adat
Apa itu wilayah adat? Apa manfaat wilayah adat bagi masyarakat luas? Wilayah adat adalah kehidupan itu sendiri. Wilayah adat berisi segalanya. Wilayah adat juga berarti tempat semua makhluk hidup dapat hidup dan tempat tersimpan semua sejarah ingatan (the memory of tribe history), serta tempat ilmu pengetahuan dan gudang obat bagi hidup manusia.
Wilayah adat ibarat bank alam yang menabung segala aset dan modal kekayaan bagi hidup manusia saat ini dan generasi akan datang. Bumi ini adalah tubuh manusia: air adalah darah, dedaunan segala jenis pohon adalah rambut manusia, batu-tabu adalah tulang-tulang manusia dan isi bumi adalah daging manusia.
Oleh karena itu, wilayah adat diyakini oleh seluruh masyarakat adat sebagai ibu. Maka ketika hutan dan segala isinya dieksploitasi seenaknya demi kepentingan ekonomi semata, berarti kita sendiri yang merusakkan dan membunuh tubuh ibu yang melahirkan dan memberikan hidup kepada anak-anaknya yakni kita ini.
Hutan dan tanah adalah landasan kehidupan bagi semua makhluk hidup, termasuk kita manusia. Melalui tanah kita dapat dipersatukan menjadi satu kawanan dari berbagai perbedaan. Melalui tanah adat seluruh marga/klan dapat dipersatukan menjadi satu ikatan persaudaraan yang kokoh.
Roh inilah yang mengikat rasa persatuan dan kesatuan warga negaranya. Inilah prinsip nasionalisme sejati, bukan prinsip nasionalisme yang dibangun atas dasar kepentingan politik kekuasaan dan kepentingan ideologi ekonomi semata.
Oleh sebab itu, pengakuan dan kepastian hukum kepada masyarakat adat atas haknya sangat diperlukan, agar secara legal yuridis dapat melindungi komunitas masyarakat adat dari ancaman kepunahan segala kekayaan yang ada di dalamnya, termasuk manusianya, dan menjamin ketersediaan segala kebutuhan bagi manusia, baik masyarakat adat itu sendiri, maupun masyarakat yang lebih luas.
Hutan adat juga bermanfaat sebagai rumah sakit bagi masyarakat, karena di hutan adat tersedia puluhan, bahkan ratusan bahan material untuk obat-obatan dan ketersedian berbagai sumber bagi kepentingan penelitian. Komunitas (adat) yang mempunyai kepastian pengakuan hak dan jaminan hukum atas tanah atau wilayah adatnya, maka masyarakat tersebut dapat menata masa depan mereka dan memajukan perekonomian mereka sendiri.
Jadi, ketika tanah adat dikelola secara baik dan profesional, maka perekonomian masyarakat adat menjadi berkembang.
Mereka juga mempunyai sumber/pendapatannya sendiri, tidak sepenuhnya menggantungkan nasibnya kepada pemerintah dan pihak luar atau kaum kapitalis.
Selain itu, tanah dan hutan dipandang oleh seluruh masyarakat adat, sangat berkaitan erat dengan identitas spiritual, sosial dan budaya mereka. Maka pengakuan dan kepastian hukum atas hak wilayah adat dapat memberikan jaminan perlindungan terhadap identitas masyarakat adat. Karena masyarakat adat adalah warga negara sekaligus warga dunia.
Oleh karena itu, ketika hutan adat dibabat habis oleh kaum kapitalis melalui berbagai perusahaan multinasional, maka identitas spiritual, sosial dan budaya masyarakat adat tersebut akan punah. Kepunahan suatu komunitas masyarakat adat tertentu di belahan dunia ini, merupakan suatu bencana kemanusiaan secara universal.
Budaya suatu kelompok masyarakat tertentu, pada dasarnya merupakan satu kesatuan entitas yang menyatu dengan alam-hutan dan tanah mereka. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa identitas suatu masyarakat adat dan bangsa sangat tergantung pada eksisnya hutan dan tanah milik masyarakat adat.
Dengan adanya kekayaan alam–hutan adat, turut menyumbang bagi kepentingan ekonomi, ilmu pengetahuan, keindahan dan kebersihan udara, yang tidak hanya menguntungkan masyarakat adat itu sendiri, tetapi juga bagi masyarakat luas, bahkan masyarakat dunia. Salah satu manfaat lain yang lebih luas bagi masyarakat dunia jika kepastian pengakuan dan jaminan hukum atas hak wilayah adat diberikan adalah terjaminnya iklim yang ramah bagi dunia, karena hutan masih utuh sebagai paru-paru dunia; karena hutan memproduksi CO2 yang dibutuhkan manusia dan makhluk hidup yang lainnya.
Selama masih ada hutan, bumi tetap sejuk. Maka ketika masyarakat adat mendapatkan pengakuan dan memiliki kepastian hukum atas hak perlindungan terhadap hutan adatnya, maka hal ini merupakan kontribusi besar masyarakat adat bagi kepentingan regional, nasional dan internasional.
Tidak ada cara lain untuk melindungi hutan, selain mendorong pemerintah memberikan pengakuan dan perlindungan secara hukum atas hak masyarakat adat.
Dengan demikian, pangan, air, iklim, ilmu pengetahuan, bahan obat-obatan, rasa damai-sejuk dan indah, itu semua adalah wujud nyata kontribusi masyarakat adat kepada bangsa Indonesia dan dunia.
Oleh karena itu, pemerintah seharusnya memberikan pengakuan dan kepastian jaminan hukum kepada masyarakat adat agar mereka mengelola hak milik atas tanah-hutan adatnya. Secara prinsipil manfaat wilayah adat dan hutannya tidak hanya berguna bagi masyarakat adat itu sendiri, melainkan juga bermanfaat pula bagi bangsa Indonesia, bahkan bagi kepentingan seluruh umat manusia, kepentingan dunia.
Adat itu suci. Melupakan adat berarti mengabaikan kehidupan; kehilangan adat, kehilangan kehidupan. Karena adat dan budaya mengalami degradasi, maka perlu strategi sekolah adat untuk menjadi wadah belajar bersama dan mewariskan nilai-nilai luhur, serta pengetahuan adat. Proses pendidikan adat: learning by doing, trial and error dan problem solving of daily life. (*)
Penulis adalah Direktur Sekretariat Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (SKPKC) Ordo Santo Augustinus, Sorong, Papua Barat
Editor: Timo Marten