Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Koalisi Penegak Hukum Dan Hak Asasi Manusia atau HAM Papua menilai keputusan Mahkamah Agung untuk memindahkan lokasi sidang tujuh tahanan politik Papua ke Pengadilan Negeri Balikpapan sebagai diskriminasi sistematik, karena tidak berdasar aturan hukum. Keputusan itu juga dinilai Koalisi melanggar asal proses peradilan yang sederhana, cepat, ringan, dan berbiaya murah.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Kejaksaan Tinggi Papua telah menyatakan tujuh tahanan politik (tapol) Papua akan diadili di Pengadilan Negeri Balikpapan, Kalimantan Timur. Ketujuh tahanan politik (tapol) yang ditahan di Kalimantan Timur itu adalah Wakil Ketua II Badan Legislatif United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) Buchtar Tabuni, Ketua Umum Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Agus Kossay, Ketua KNPB Mimika Steven Itlay, Presiden Mahasiswa Universitas Sains dan Teknologi Jayapura Alexander Gobay, serta Feri Bom Kombo, Hengky Hilapok, dan Irwanus Uropmabin.
Pada 4 Oktober 2019, Kepolisian Daerah Papua memindah lokasi penahanan ketujuh tapol kasus makar Papua itu dari Jayapura ke Kalimantan Timur. Mahkamah Agung RI telah menunjuk Pengadilan Negeri Balikpapan untuk memeriksa dan memutus perkara ketujuh tapol itu. Penunjukan itu dinyatakan dalam surat Mahkamah Agung nomor: 179/KMA/SK/X/2019.
Melalui siaran pers tertulisnya pada Rabu (29/1/2020), Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua menyatakan pemindahan lokasi penahanan maupun lokasi sidang tujuh tahanan politik (tapol) Papua tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 84 dan 85 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Koalisi menyatakan faktor keamanan yang didalilkan sebagai alasan pemindahan lokasi sidang ketujuh tapol sebagai alasan tak berdasar. “Sejak bulan Oktober 2019 – Janurari 2020 kondisi persidangan di Pengadilan Negeri Jayapura aman,” demikian pernyataan tertulis Koalisi.
Koalisi juga menyatakan pemindahan lokasi penahanan ketujuh tapol Papua membuat hak para tapol tidak terpenuhi. “[Ada] persoalan pemenuhan hak-hak tujuh tapol Papua. Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua menilai bahwa Kepala Kejaksaan Tinggi Papua menutup diri … dan sedang menutup fakta … [bahwa] pemindahan tujuh tapol Papua tidak sesuai dengan Pasal 84 dan Pasal 85 KUHAP, dan konsisi persidangan di Pengadilan Negeri Jayapura yang berjalan aman,” tulis Koalisi.
Amannya persidangan di Pengadilan Negeri Jayapura menunjukkan dalil keamanan untuk memindahkan lokasi sidang tujuh tapol Papua tidak berdasar. Karena tidak sesuai aturan hukumnya, pemindahan lokasi penahanan dan lokasi sidang tujuh tapol Papua dinilai sebagai tindakan diskriminasi yang dilakukan secara sistematik yang melibatkan Kepolisian Daerah Papua, Kejaksaan Negeri Jayapura, Kejaksaan Tinggi Papua, Pengadilan Negeri Jayapura, dan Mahkamah Agung RI.
“Pada prinsipnya kebijakan pemeriksaan tujuh Tapol Papua di Pengadilan Negeri Balikpapan bertentangan dengan Asas Peradilan yang Sederhana, Cepat, Ringan dan Biaya Muran sebagaimana diatur pada pasal 2 ayat (4), UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang wajib dijunjung tinggi oleh Kajari Jayapura, Kajati Papua, Ketua PN Jayapura dan Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Berdasarkan penjelasan diatas, Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua selaku Penasehat Hukum tujuh Tapol Papua menegaskan kebijakan Mahkamah Agung RI terkait pemindahan pemeriksaan terhadap tujuh Tapol di Pengadilan Negeri Balikpapan merupakan tindakan diskriminasi secara sistematik yang dilakukan oleh Kajari Jayapura, Kajati Papua, Kepala PN Jayapura dan Mahkamah Agung RI terhadap tujuh Tapol Papua,” tulis Koalisi dalam siaran pers mereka.
Karena didasarkan kepada dalil yang tidak berdasar, Koalisi juga menilai pemindahan lokasi sidang ketujuh tapol Papua tidak sah. “[Dengan demikian] Pengadilan Negeri Balikpapan tidak berwenang mengadili tujuh tapol Papua, karena kondisi persidangan di Pengadilan Negeri Jayapura sejak Oktober 2019 – Januari 2020 berjalan secara aman-aman,” demikian siaran pers Koalisi.(*)
Editor: Aryo Wisanggeni G