Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Pihak keluarga almarhum Evertin Mofu, korban pembunuhan dalam rangkaian kekerasan yang terjadi di Jayapura pada 30 Agustus 2019, merasa kecewa dengan vonis Pengadilan Negeri Jayapura yang menghukum dua terdakwa kasus 3 tahun penjara. Putusan itu dinilai tidak memenuhi rasa keadilan bagi kelurga korban.
Dua terdakwa dalam kasus itu, Nasrul alias Aan dan Irwan dihukum 3 tahun penjara oleh hakim di Pengadilan Negeri Jayapura, Selasa (18/2/2020). Sebelumnya jaksa penuntut umum dalam kasus itu menunjut keduanya dihukum 5 tahun penjara.
Nasrul alias Aan dan Irwan dijerat dengan dua dakwaan. Pada dakwaan pertama, keduanya didakwa melakukan pembunuhan sebagaimana diatur Pasal 338 KUHP dan diancam hukuman maksimal 15 tahun penjara. Pada dakwaan kedua, mereka dikenai menggunakan tenaga bersama untuk melakukan kekerasan yang berakibat kematian, sebagaimana diatur Pasal 170 ayat (2) ke 3 KUHP dan diancam hukuman maksimal 12 tahun penjara.
Korban yang bernama Evertin Mofu adalah pekerja di perusahaan EMKL, tepat di sebelah Kantor Pos Kota Jayapura. Ia dibunuh di belakang Kantor DPR Papua pada Jumat (30/8/2020), satu hari setelah unjukrasa anti rasisme berkembang menjadi amuk massa di sana. Saat bekerja, Almarhum Evertin kemudian dikejar massa Nusantara yang melintas dari Hamadi, Weref, menuju Kantor Gubernur untuk menyerang massa demonstran yang masih tertahan di kantor tersebut sejak Kamis.
Massa berhasil dipukul mundur oleh pihak kepolisian tepat di lampu merah Dok II. Akan tetapi, saat melintas di depan kantor Pos mereka melihat Evertin, dan mengejarnya hingga ke halaman belakang Kantor DPR Papua, dan membunuhnya di sana.
Paman Evertin Mofu, Isak Ap mengaku sangat kecewa dengan putusan Pengadilan Negeri Jayapura. “Keluarga betul-betul kecewa, kami merasa tidak ada kebenaran untuk menegakan aturan di Negara Kesatuan Republik Indonesia, khususnya Pengadilan Negeri Jayapura,” katanya kepada Jubi Selasa (18/2/2020).
Ia menilai majelis hakim yang terdiri hakim ketua Robert Naibaho beserta hakim anggota Alexander Jacob Tetelepta dan Korneles Waroi tidak berhasil mengungkap tuntas kasus pembunuhan Evertin Mofu. Ap mempertanyakan mengapa saksi mata yang melihat Evertin dibunuh tidak berhasil dihadirkan di pengadilan.
“Almarhum dibunuh di belakang kantor DPR Papua. Setiap hari ada satpam, kenapa satpam yang bertugas tidak dihadirkan? Mengapa kakak korban yang mencari [almarhum] ke RS Bhayangkara justru dipanggil bersaksi, padahal dia tidak tahu apa yang terjadi?” sesal Ap kepada Jubi pada Selasa.
Ap menilai Pengadilan Negeri Jayapura telah berlaku tidak adil. “Ini tidak merupakan suatu tindakan yang sangat memalukan. Pertanyaan dari keluarga, apakah [Evertin Mofu] bukan warga negara Indonesia? Mengapa pengadilan tidak memberikan keadilan kepada kami? Apa keluarga kami bukan warga negara Indonesia sejati?” tanya Ap.
Direktur Perkumpulan Advokat Hak Asasi Manusia (PAHAM) Papua, Gustaf Kawer mengatakan putusan itu yang begitu jauh dari ancaman hukuman maksimal kedua pasal yang didakwan kepada kedua terdakwa. Kawer menilai hal itu menunjukan aparatur Negara tidak menunjukkan niat baik dan komitmen untuk menindak para pelaku kekerasan terhadap orang Papua.
Kawer mempertanyakan putusan itu, mengingat persidangan telah membuktikan bahwa para terdakwa telah sengaja membawa senjata tajam untuk menyerang kelompok warga yang lainnya. Kawer mengingatkan pembiaran Negara itu berpotensi melanggengkan praktik rasisme dan diskriminasi terhadap orang Papua. Putusan itu juga dinilai berpotensi menyuburkan praktik diskriminasi hukum terhadap orang Papua.
“Jadi mulai dari polisi, jaksa, hingga hakim tidak melihat keluarga korban mati itu kah? Keluarga yang menderita, dan hadir di setiap kali persidangan. Kemungkinan kami akan desak Jaksa untuk melakukan banding, supaya hukuman sesuai dengan pasal yang digunakan,” katanya.
Sebelumnya, Pengadilan Negeri Jayapura sudah menghukum dua anak yang berhadapan dengan hukum, dengan dakwaan membunuh Evertin Mofu. Kedua anak itu dijatuhi hukuman 11 bulan penjara pada sidang pengadilan anak yang tertutup. Vonis itu dijatuhkan pada awal Desember 2019 lalu.(*)
Editor: Aryo Wisanggeni G