Papua No. 1 News Portal | Jubi
Manokwari, Jubi – Hilangnya arti dari perayaan ulang tahun pekabaran Injil di tanah Papua, mulai terasa. Situasi tesebut menimbulkan kritik dari sejumlah pihak yang peduli dengan nilai-nilai religi dan sejarah peradaban bangsa Papua yang keluar dari kegelapan setelah mengenal injil (kabar baik).
Nuansa rohani yang diharapkan dalam perayaan HUT pekabaran injil, sekaligus momen penting untuk menjada nilai historis inipun seakan hilang arah untuk kaum muda.
Ronald Mambiew panglima Parlemen Jalanan (Parjal) Papua Barat di Manokwari mengatakan, usia 164 tahun HUT pekabaran Injil di Tanah Papua sudah sangat mapan. Namun, faktanya justru akhir-akhir ini banyak generasi muda Papua yang terancam punah dikarenakan pengaruh pengunaan zat adikitif dari lem dan pergaulan bebas. Mansinam adalah fakta dan saksi sejarah peradaban.
“Mansinam bukan tempat pesiar (jalan-jalan) atau tempat hiburan. Momen 5 Februari di Pulau Mansinam bukan tempat ajang baku dapa pasangan muda-mudi,” ujarnya.
Mambieu meminta Pemprov Papua Barat, Sinode GKI bahkan Klasis GKI Manokwari yang sampai saat ini masih bertanggungjawab penuh untuk situs Mansinam agar ditahun mendatang harus lebih ketat dalam menyusun rencana kegiatan.
“Pendaratan kapal di bibir pantai Pulau Mansinam harus diperketat. Jika sudah waktu Ibadah, maka semua perahu atau kapal dilarang menepi. Ini harus dijalankan agar roh dan suasana 5 Februari dapat diresapi, secara langsung mendidik generasi gereja untuk memahami makna Injil tersebut,” ujarnya.
Sesuai pengamatan Parjal, saat ini umat yang berbondong-bondong itu hanya sekadar pesiar, jualan dan berswafoto bahkan tidak sedikit kaum muda yang terlihat mengkonsumsi minuman beralkohol di sekitar pulau sejarah tersebut.
“Ini tidak bisa dilihat atau dibiarkan berlalu begitu saja, HUT pekabaran injil jangan di jadikan budaya yang bobrok tapi harus benar-benar diresapi oleh siapapun dia yang menginjakkan kaki di Pulau Mansinam”, tukasnya.
Sementara, Derek Ampnir tokoh gereja di Manokwari mengatakan evaluasi total perlu dilakukan untuk perayaan tahun-tahun mendatang. Menurut dia, masih banyak warga yang datang ke Mansinam bukan untuk ibadah, ini artinya dinamika nuansa wisata lebih dominan daripada ibadah.
“Hal yang perlu dievaluasi adalah substansi dari perayaan HUT pekabaran Injil ini. Mulai dari proses Ibadahnya harus ditata ulang, atau dievaluasi supaya waktunya benar-benar dihayati oleh warga jemaat dan tidak ada lagi yang datang untuk jalan-jalan,” katanya.
Dikatakan Ampnir, kelompok muda yang menjadi harapan masa depan Gereja dan juga penerus sejarah pekabaran Injil di tanah Papua, seakan terlupakan dalam konsep perencanaan mulai dari tingkat Sinode GKI, Klasis dan panitia pelaksana hajatan 5 Februari.
Tentunya, kaum muda harus lebih banyak dilibatkan dalam iven tahunan tersebut sehingga kedatangan mereka ke Pulau Mansinam bermakna, atau ada pesan yang dibawa untuk mengubah karakter dan menjadi panutan hidup ke depan.
“Generasi muda Papua ke depan, jangan sampai hilang arah untuk mempertahankan nilai-Nilai sejarah peradaban, makanya mereka harus disiapkan. Banyak anak-anak yang bagian mereka kita hilangkan dalam HUT ini,” kritiknya.
Di tempat terpisah Pdt. Yohanis Mamoribo, ketua Klasis GKI Manokwari mengatakan, bukan baru kali ini kondisi itu dibicarakan. Namun dalam rapat evaluasi usai hajatan 5 Februari kondisi tersebut menjadi persoalan uatama tapi kita belum sampai pada titik maksimal dan apa yang diharapkan itu belum dapat terealisasi.
“Kami sadari, bahwa belum ada solusi untuk kondisi tersebut. Tapi kedepan kita akan mengakali kegiatan ini, supaya semua peserta yang datang ke Mansinam bisa ambil bagian dalam ibadah,” ujar Mamoribo. (*)
Editor : Edho Sinaga