Papua No. 1 News Portal | Jubi

Oleh: Aris Yeimo*

Sebenarnya bagi saya secara pribadi, substansi dari pernyataan si subjek pada topik artikel ini kurang begitu menarik. Menjadi menarik bagi saya adalah ketika kita bermenung dan mengambil pelajaran dari si subjek dan pernyataan-pernyataannya.

Di sini, saya tidak bermaksud menghina atau menjelekkan nama person, tetapi berusaha mengambil sisi positif sebagai pelajaran berharga bagi generasi muda Papua saat ini.

Mengenal narasumber pada acara ROSI. Nama Olvah Bwefar Alhamid akhir-akhir ini menjadi buah bibir publik di Papua. Beranda Facebook, WhatsApp, Instagram, Twitter, bahkan Tik Tok ramai dengan cuitan tentang beliau.

Kali ini, cuitan-cuitan tersebut bukan tentang sanjungan terhadapnya sebagai Putri Intelegensia Indonesia (2015) tetapi justru hujatan karena pernyataan-pernyataan paradoks yang dilontarkannya saat menjadi salah satu narasumber pada diskusi dalam acara ROSI di Kompas TV (8/10/21).

Baca juga: Mengenal kiprah filsafat dalam iklim intelektualitas di Papua

Diskusi tersebut dipandu oleh presenter Rosi Silalahi. Topiknya adalah “Jokowi dan Politik di Papua” Narasumber yang dihadirkan adalah Putri Intelegensia Indonesia wakil Papua Barat, Olvah Bwefar Alhamid; direktur YLBHI, Asfinawati; tenaga ahli KSP, Ali Mochtar Ngabalin; anggota DPRPB 2014-2019, Frida Klasin; dan juru kampanye Hutan Papua Greenpeace Indonesia, Nicodemus Wamafma.

Rosi Silalahi sendiri adalah presenter senior yang telah malang-melintang di dunia jurnalistik. Pertanyaan-pertanyaan tajam yang sering ditanyakan kepada narasumber kadang sulit dijawab.

Asfinawati adalah aktivis HAM yang selalu mengadvokasi masalah-masalah HAM di Indonesia. Kevalidan data yang dipaparkannya kadang membuat “keok” lawan debat. Ali Mochtar Ngabalin adalah tenaga ahli utama pada Kantor Staf Presiden yang selalu tampil sebagai “tameng” atas berbagai kritik terhadap pemerintah.

Frida Klasin adalah mantan anggota DPRPB sekaligus aktivis perempuan yang semasa menjabat selalu memperjuangkan hak-hak ekonomi perempuan asli Papua. Nicodemus Wamafma bersama Greenpeace selalu berkampanye tentang perlindungan hutan Papua yang telah, sedang dan akan dieksploitasi oleh korporasi domestik maupun internasional. Sementara nama Olvah Bwefar Alhamid  sangat asing bagi saya. Mungkin begitu juga bagi publik di Papua. Saya baru mengenal Olvah karena dirinya sedang viral di media sosial.

Kontroversi seputar pernyataan Olvah

Dalam acara tersebut nampak jelas bagaimana Olvah tampil percaya diri. Boleh dikatakan  bahwa dia telah teruji secara mental. Hal itu dibuktikannya dengan bagaimana ia mampu meng-counter balik pernyataan Asfinawati dan Nicodemus.

Namun sayangnya, ia kurang jeli memilih dan memilah kata sehingga pernyataannya terkesan hambar. Hampir tidak menyentuh substansi dari topik yang dibahas, juga tidak mampu menjernihkan pernyataan dari Asfinawati dan Nicodemus.

Di sini saya akan berusaha menunjukkan beberapa blunder yang dilakukan Olvah.

Pertama, ia melakukan argumentum ad hominem. Teoretis, argumentum ad hominem adalah bagian dari cacat nalar (falasi) dalam logika yang berupaya menyerang pribadi lawan debat. Prinsipnya adalah ketika berdebat tentang sebuah topik, kita harus berupaya semaksimal mungkin menyingkirkan persoalan-persoalan privat agar bersih dalam penalaran. Perdebatan mesti diupayakan berbasis pada substansi masalah.

Baca juga: Elawohe, perempuan yang berani angkat tombak

Olvah melakukan argumentum ad hominem saat Asfinawati berupaya menerangkan bahwa YLBHI memiliki data-data tentang pelanggaran HAM. Olvah meng-counter dengan pertanyaan, “apakah mba sudah pernah tinggal sana?”. Hal ini mestinya tidak dilakukan saat berdebat. Harusnya Olvah juga membalas dengan menunjukkan data-data valid yang ia miliki agar memperkuat argumentasinya.

Kedua, ia sedang berada dalam kondisi aversif. Teoritis, dalam psikologi sosial, ada istilah kondisi aversif. Kondisi ini menerangkan tentang situasi seseorang yang sedang berada dalam situasi yang tidak nyaman. Kondisi ini menyebabkan orang bersifat agresif terhadap sumber penyebab ketidak-nyamanannya. Cara untuk keluar dari ketidaknyamanan adalah berusaha menghilangkan atau mengubah situasi.

Olvah tentu berada dalam kondisi aversif. Sejak awal tim redaksi menayangkan kunjungan Jokowi ke Papua dan disambut isak tangis salah satu masyarakat non-Papua, Olvah pun ikut mengucurkan air mata. Itu artinya, Olvah berusaha mengglorifikasi Jokowi secara personal dengan intensi tertentu. Sehingga terlihat jelas upaya Asfinawati dan Nicodemus untuk menerangkan pelanggaran HAM di Papua selalu dibantah. Olvah merasa tidak nyaman jika sanjungannya dikritisi secara akademis.

Baca juga: Pemekaran mengancam eksistensi Orang Asli Papua

Ketiga, ia tidak memiliki kapasitas. Topik diskusi tersebut adalah “Jokowi dan Politik di Papua”. Sejak awal, Rosi menghantar para narasumber mendiskusikan topik ini dengan dua fokus utama, yakni: hak asasi manusia dan pembangunan di Papua.

Pertanyaannya adalah apa kapasitas Olvah dalam diskusi ini? Apakah karena dia dianggap sebagai publik figur, sehingga dipantaskan menghadiri diskusi dengan topik yang berhubungan langsung dengan substansi masalah Papua?

Sangat disayangkan bahwa media nasional sekelas Kompas TV kurang tepat menghadirkan Olvah sebagai narasumber pada diskusi ini. Dapat dimaklumi jika topik diskusi tersebut berhubungan dengan dunia permodelan.

Akibatnya, kehadiran Olvah sekaligus menimbulkan kesan bahwa kredibilitas media nasional dalam menarasikan isu Papua semakin terdegradasi. Independensitasanya pun patut dipertanyakan.

Pelajaran berharga bagi generasi muda Papua

Seusai acara tersebut, Olvah banyak mendapat hujatan dari generasi muda Papua. Ada yang berupaya mengkritik secara konseptual; ada juga secara satire; tetapi banyak juga secara pribadi.

Hujatan tersebut merupakan ekspresi spontanitas terhadap pernyataan-pernyataan paradoksnya. Apakah kasus ini harus membuat kita terus terjebak dalam kemarahan? Tidak.

Oleh karena itu, saya berupaya mengambil sisi positif dari polemik ini sebagai pelajaran bagi generasi muda Papua. Ada tiga poin yang hendak saya utarakan.

Pertama, meningkatkan kemampuan berpikir. Semua kita tentu adalah makhluk rasional. Kemampuan merasionalkan sesuatu menunjukkan bahwa kita sedang berpikir.

Aristoteles (348-322 SM) membagi ilmu logika ke dalam dua jenis: logika naturalis dan artifisialis. Logika naturalis berkaitan dengan kodrat manusia sebagai makhluk rasional yang berpikir secara alamiah berkaitan dengan hal-hal praktis dalam kehidupan. Sedangkan logika artifisialis berkaitan dengan kelogisan penalaran berdasarkan tuntunan kaidah-kaidah berpikir secara sistematis.

Baca juga: Kearifan lokal orang asli Papua sebagai modal dasar pembangunan

Generasi muda Papua mesti memiliki kemampuan berpikir dalam menanggapi berbagai persoalan di Papua. Secara khusus bagi kaum intelektual atau yang sering mengakui diri sebagai intelektual, kecacatan berpikir akan sangat berdampak langsung pada kehidupan rakyat jelata.

Rakyat hari ini membutuhkan intelektual yang mampu mendialektisir persoalan secara rasional; melihat persoalan sejernih mungkin dan merumuskan solusi-solusi demi kebaikan bersama. Bukan demi kepentingan pribadi atau sekelompok orang;

Kedua, meningkatkan kemampuan berargumentasi. Kemampuan berargumentasi memungkinkan generasi muda terhindar dari debat kusir.

Dalam perdebatan yang bersifat formal diupayakan semaksimal mungkin agar perdebatan tersebut tidak terjebak pada sentimen-sentimen. Pilihan kata atau diksi yang digunakan mesti tepat agar retorika yang dibangun tidak terkesan mengaburkan inti persoalan. Argumentasi yang bermutu akan selalu dibarengi dengan perbendaharaan kata yang memadai pula.

Yang mau ditekankan di sini adalah pentingnya membaca. Generasi muda Papua mestinya paling kurang menyediakan sedikit waktu dalam sehari untuk membaca. Hanya dengan membaca, kita memiliki pengetahuan yang cukup.

Baca juga: Krisis ekologi dan kemanusiaan di Tanah Papua

Seorang yang selalu menyisihkan waktunya untuk membaca akan sangat terlihat kemampuannya ketika berargumentasi. Dengan kemampuan argumentasi, paling kurang kita mampu menjernihkan persoalan di Papua;

Ketiga, mendewasakan mental. Ide hanya dapat diuji di dalam konsistensi. Untuk mewujudkan sebuah ide dibutuhkan sikap konsisten dari seorang yang bermental dewasa. Tidak cengeng.

Bagian ini adalah kelemahan terbesar generasi muda Papua saat ini. Tidak semua tetapi banyak generasi muda yang terjebak dalam kepentingan pragmatik dengan memboncengi isu Papua. Mengapa ini bisa terjadi? Karena mentalitas kekanak-kanakan masih subur dalam diri. Mudah berubah.

Rakyat Papua hari ini membutuhkan generasi muda yang konsisten memperjuangkan hak-hak asasinya. Upaya tersebut hanya bisa dilakukan oleh pribadi-pribadi yang benar-benar bermental baja; yang konsisten dan tidak mudah tergiur oleh tawaran-tawaran yang justru menghancurkan hajat hidup rakyat. (*)

* Penulis adalah alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Fajar Timur  Abepura, Papua

Editor: Timoteus Marten

Leave a Reply