Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Anak dan Keluarga Berencana Kota Jayapura-Papua, Betty Puy, mengatakan penghentian proses hukum pelaku Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) karena faktor himpitan ekonomi dan kepentingan anak.
“Penyelesaiannya lebih banyak kasus ditarik keluarga atau pelapor,” ujatr Puy di Kantor Wali Kota Jayapura-Papua, Selasa (18/8/2020).
Dikatakan Puy, hukum pidana membedakan jenis tindak pidana berdasarkan tata cara pemrosesannya. Dalam hal ini dikenal dua jenis delik, yaitu delik biasa dan delik aduan.
“Delik biasa yaitu suatu perkara dapat diproses tanpa adanya laporan dari korban. Sedangkan delik aduan adalah delik yang hanya dapat diproses apabila terdapat aduan atau persetujuan dari korban. Kebanyakan korban mencabut laporannya karena terjadi perdamaian,” ujar Puy.
Namun, dikatakan Puy, meski sudah terjadi perdamaian yang diikuti dengan surat perjanjian, namun masih menimbulkan rasa kekhawatiran dan trauma kepada korban, sehingga membuat korban selalu terbayang atas kekerasan yang dilakukan suami terhadap dirinya.
“Kami sudah lakukan sosialisasi ke berbagi lini sehingga menekan angka kekerasan dalam rumah tangga. Kami juga membina perempuan agar bisa mandiri tanpa harus bergantung pada suami,” ujar Puy.
Menurut Puy, tingginya angka kasus KDRT yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya karena laki-laki mempunyai kewenangan penuh atas istrinya, dan sebagai kepala keluarga dianggap paling dominan dalam rumah tangga.
“Hal inilah yang menyebabkan suami berlaku semena-mena kepada istrinya. Untuk itu, kami terus melakukan penguatan pada perempuan, baik dalam bentuk mental dan juga penguatan dari sisi ekonomi,” ujar Puy.
Menurut Puy, faktor ekonomi dan kepentingan anak juga yang menyebabkan korban kekerasan tidak melaporkan kejadian yang dialaminya.
“Tahun lalu di bulan yang sama angka kekerasan perempuan dan anak ada 50 kasus, tapi tahun ini baru 23 kasus yang kami terima. Ini juga berkaitan dengan pandemi Covid-19 yang terjadi saat ini sehingga korban tidak melaporkan kasusnya,” ujar Puy.
Baca juga: Infografis : Pelanggaran dan diskriminasi terhadap anak-anak asli Papua
Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Jayapura-Papua, Frans Pekey, mengatakan setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan dan anak, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan penelantaran rumah tangga adalah melawan hukum.
“Termasuk ancaman atau melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan dalam lingkup rumah tangga. Saling pengertian dan saling mencintai, dalam hukum agama juga dilarang melakukan kekerasan,” ujar Pekey.
Pekey menambahkan agar mencegah kekerasan secara fisik, seksual, psikologis harus saling memaafkan dan menimbulkan rasa cinta kasih dalam rumah tangga sehingga menjadi keluarga harmonis. (*)
Editor: Dewi Wulandari