Papua No. 1 News Portal | Jubi
Dakar, Jubi – Perserikatan bangsa -bangsa minta agar pemerintah Mali menghentikan perbudakan turun-temurun, menyusul serangkaian kekerasan terhadap orang-orang yang lahir dalam perbudakan. Tercatat perbudakan resmi dihapus di kolonial Mali pada 1905, namun masih ada sebuah sistem orang-orang dipaksa bekerja tanpa diberikan upah untuk keluarga yang memperbudak nenek moyang mereka.
“Sedangkan hukum di Mali tidak secara khusus mengkriminalisasi bentuk perbudakan, sehingga para pelaku kerap lolos dari jeratan hukum,” tulis pernyataan pakar hak asasi manusia PBB, Jumat, (29/10/2021), kemarin.
Baca juga : Aksi black lives matter di Australia singkap sejarah perbudakan kepulauan Pasifik
Wali kota di Australia diingatkan tentang hak pekerja musiman Pasifik
Perempuan mantan sekretaris kamp Nazi ini dituduh ikut membantai 10 ribu orang
Pernyataan itu menyebutkan pada September lalu sekelompok orang yang dianggap sebagai budak diserang oleh warga lain yang keberatan mereka merayakan Hari Kemerdekaan. Serangan berlangsung selama dua hari, menewaskan satu orang dan melukai sedikitnya 12 orang. Peristiwa itu merupakan serangan kedelapan tahun ini di kawasan Kayes, yang berjarak sekitar 500 km dari ibu kota Bamako.
“Fakta bahwa serangan-serangan ini sering sekali terjadi di daerah ini menunjukkan bahwa perbudakan turun-menurun secara sosial masih dilakukan oleh sejumlah politisi, pemimpin adat, pejabat penegak hukum dan otoritas berpengaruh di Mali,” tulis pernyataan itu lebih lanjut.
PBB sebelumnya berulang kali mengecam praktek keji perbudakan, pemerintah Mali harus bertindak, dimulai dengan menghentikan impunitas atas serangan terhadap budak.
Menurut pernyataan PBB, sedikitnya 30 orang dari kedua belah pihak ditangkap dan polisi telah melakukan penyelidikan.
Perbudakan turun-temurun juga terjadi di negara tetangga Mali, yaitu Senegal, Burkina Faso, Niger, dan Mauritania yang menjadi negara terakhir di dunia yang menghapus perbudakan pada 1981.
Laporan Trafficking in Persons oleh Departemen Luar Negeri AS, menyebutkan jaksa di Mali mendakwa sebagian besar kasus perbudakan turun-temurun sebagai perkara yang tergolong ringan.
Laporan itu merekomendasikan agar UU anti-perdagangan 2012 direvisi untuk memasukkan perbudakan turun-temurun. (*)
Editor : Edi Faisol