Papua No. 1 News Portal | Jubi

Oleh: Aris Yeimo

Pengantar

Maria itu Bunda Allah (Dister, 2004: hlm.483), meskipun demikian Maria juga mengakui bahwa dirinya sebagai hamba Allah. Dalam kerendahan hatinya, Maria menaruh harapan sepenuhnya kepada Allah. Maria menyerahkan dirinya secara total pada penyelenggaraan Allah dan mempersilakan Allah berkarya dalam hidupnya, sebab Maria sadar bahwa ia adalah hamba Allah, “Aku ini hamba Tuhan” (bdk. Luk. 1:38).

Sebagai hamba Allah, Maria menghayati semangat anawim/orang miskin (Gerald O’collins & Edward G. Farrugia, 1996: hlm.26) dalam dirinya. Maria mengalami secara sangat mendalam bahwa Allah “memperhatikan kerendahan hamba-Nya” (bdk. Luk. 1:48).

Selain daripada itu, Allah sendiri tidak tinggal diam. Allah juga memperhatikan kerendahan hati bangsa-Nya yang diperbudak oleh para penguasa dan memihak pada orang miskin (Tisera, 1997: hlm.30). Dalam rasa solider dengan bangsanya, Maria menyatukan diri dengan Putranya yakni Yesus, Hamba Allah yang menderita. Maria ikut menderita bersama Yesus hingga berpuncak di bawah kayu salib.

Pada artikel ini, penulis akan mendeskripsikan beberapa bagian penting menyangkut topik artikel di atas sebagai refleksi iman bagi umat Tuhan di Intan Jaya sekaligus sambil mengambil kekuatan dari padanya. Topik yang akan diulas, antara lain: Mater Dolorosa, penderitaan manusia Papua, melihat wajah Mater Dolorosa pada nama Intan Jaya dan selalu ada kemenangan.

Mater Dolorosa

Istilah Mater Dolorosa merupakan suatu gelar atau ungkapan untuk menamai Bunda Maria Berdukacita. Pada tanggal 15 September, Gereja Katolik mengenangkan peristiwa ‘Kedukaan Santa Perawan Maria’ (Schneiders, 2011: hlm.453-455).

Sepanjang perjalanan hidup Maria bersama Yesus anaknya, Maria mengalami begitu banyak penderitaan. Maria selalu menyertai Yesus hingga berpuncak di bawah kaki salib.

Atas dasar itulah, Gereja Katolik memberi gelar atau menamai Maria ‘Mater Dolorosa’, Bunda yang Berdukacita, dan Ratu para Martir. Secara garis besar, Gereja meringkas seluruh penderitaan dan dukacita Maria dalam tujuh peristiwa yakni:

Kedukaan sewaktu Simeon meramalkan apa yang akan terjadi atas diri Yesus anaknya saat ia bersama Yusuf mempersembahkan Yesus di Bait Allah; kedukaan sewaktu pengungsian ke Mesir; kedukaan sewaktu Maria bersama suaminya mencari Yesus di Yerusalem; kedukaan sewaktu bertemu Yesus di jalan salib; kedukaan sewaktu Yesus disalib dan wafat; kedukaan sewaktu Yesus dibaringkan di pangkuan Maria; dan kedukaan sewaktu Yesus dimakamkan.

Dari kedukaan Maria tersebut, Maria menyadari bahwa ketaatan menuntut kerelaan untuk menjadikan hidupnya sejalan dengan hidup anaknya, bahkan di dalam penderitaan dan kematian-Nya (bdk. Yoh. 19:23-27). Dalam peristiwa salib, Maria hadir bersama beberapa wanita lain (bdk. Yoh. 19:25-27). Penderitaan Yesus dan derita Maria memang sulit dipisahkan.

Pada awal, Simeon telah meramal tentang Maria, “dan suatu pedang akan menembus jiwamu sendiri” (bdk. Luk. 2:35). Nasib Yesus adalah pula nasib Maria bunda-Nya. Dengan kata lain, Maria turut serta menderita bersama Yesus. Maria menanggung semua perkara dan penderitaan itu dengan tabah dan penuh iman sebab ia telah menyerahkan seluruh hidupnya seturut rencana Allah, “Aku ini hamba Tuhan, jadilah padaku menurut perkataan-Mu itu” (bdk. Luk. 1:38).

Maria menghayati penderitaan dan kebahagiaan yang tidak bisa dialami orang lain kecuali Yesus sendiri dalam sabda-Nya, “Berbahagialah orang yang berdukacita, sebab mereka akan dihibur” (bdk. Mat. 5:4). Bersama Yesus, Maria mengalami penderitaan demi dosa-dosa umat manusia, sebab Maria yang murni tak bernoda tidak pernah dijangkiti oleh dosa manapun (Dister, 2004: hlm.484).

Dukacita Maria mengungkapkan iman dan kasih kesetiaannya kepada Allah. Dukacitanya merupakan tanda peranannya di dalam keluarga baru yang di dalamnya setiap umat manusia memahami hukum Kristus.

Maksudnya ialah saling memikul beban satu sama lain, hal ini mengungkapkan bahwa ‘dipersatukan dengan Kristus, Maria ikut memikul beban kita’ (Haring, 1992: hlm.127).

Penderitaan manusia Papua

Pengalaman penderitaan yang dialami orang asli Papua tidak terlepas dari sejarah panjang konflik di Papua sejak dikumandangkannya Tri Komando Rakyat (Trikora) oleh Soekarno 19 Desember 1961. Meski pemerintahan Indonesia berganti dari waktu ke waktu dan gelombang reformasi sosial di Indonesia sejak tahun 1998 sampai ke Papua hingga melahirkan status Otonomi Khusus bagi Papua di tahun 2001, tampaknya pemerintah Indonesia menganggap keamanan di Papua belum kondusif. Hal ini terlihat dari kuatnya pendekatan keamanan teritorial di Papua yang diberlakukan hingga kini.

Tanah Papua terus-menerus menjadi perbincangan dunia. Dalam sidang tahunan PBB selalu saja dunia menyoroti pemerintah Indonesia terkait pelanggaran HAM di Papua.

Sorotan dunia bukan berdasarkan spekulasi atau pun pengandaian-pengandaian subjektif belaka melainkan berdasarkan fakta empirik. Rentetan pelanggaran HAM, eksploitasi bumi Papua, dan konflik lainnya bukanlah hal yang baru terjadi melainkan sudah terjadi berkali-kali sejak Papua diintegrasikan ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) 1963.

Konflik demi konflik selalu mewarnai kehidupan orang asli Papua. Sebut saja konflik-konflik tersebut antara lain: penembakan di Paniai 2014 (Koten, 2018: hlm.14), penembakan di Intan Jaya (2015), penembakan di Kabupaten Deiyai 2017 (Koten & Saur, 2019: hlm.39-59), kekerasan dan penembakan terhadap masyarakat di Nduga 2018 (Koten, 2019: hlm.36-64), dan pelanggaran HAM lainnya yang belum dituntaskan sampai saat ini.

Sadar akan situasi ini, lalu muncullah berbagai upaya dari orang asli Papua untuk menuntut hak-haknya yang selama ini ‘dirampok’, terlebih hak hidup. Gerakan-gerakan perjuangan Papua Merdeka (OPM) semakin masif dan solid, lembaga-lembaga advokasi HAM, tokoh perempuan, pemuda, agama, dan adat mulai menyuarakan ketidakadilan yang selama ini terjadi. Mereka dengan gigih menuntut keadilan bagi pihak korban.

Namun upaya tersebut sering berakibat pada pelanggaran HAM. Tak terhitung lagi berapa jumlah korban akibat pelanggaran HAM masa lalu maupun masa kini.

Baca juga: Ribuan warga Intan Jaya mengungsi lagi ke Gereja Katolik Bilogai dan Stasi Waboagapa

Kejahatan kemanusiaan di Intan Jaya saat ini merupakan rentetan penderitaan berkepanjangan yang secara langsung mau menegasikan bahwa seruan ‘Papua Tanah Damai’ (JDP, 2014: hlm.1-3) masih menjadi sekadar wacana semata. Belum ada niat baik dari para pihak yang bertikai untuk mencari jalan damai bagi penyelesaian seluruh konflik yang terjadi. Sekalipun LIPI bersama Jaringan Damai Papua telah mengidentifikasi masalah Papua dan menyerukan dialog Jakarta-Papua.

Melihat wajah Mater Dolorosa pada Mama Intan Jaya

Belum lama ini, umat Katolik Papua di Intan Jaya merayakan tahbisan tiga imam baru (12/10/2021). Tepat pada Bulan Maria dalam kalendarium Gereja Katolik.

Perayaan iman ini merupakan ungkapan syukur atas anugerah Tuhan yang dilimpahkan-Nya kepada umat-Nya. Semua umat bersyukur karena tiga imam bisa ditahbiskan di tanah yang sementara menjadi ladang konflik antara pihak TNI/Polri dan TPNPB-OPM.

Syukur kepada Tuhan bahwa selama persiapan hingga pada acara puncaknya, tidak ada insiden penembakan yang dilakukan, baik dari pihak TNI/Polri maupun TPNPB-OPM.

Selang dua minggu setelah pentahbisan imam, penembakan antara TNI/Polri dan TPNPB-OPM kembali terjadi (26/10/2021). Kali ini, yang menjadi korban bukan pihak TNI/Polri atau TPNPB-OPM, tetapi anak-anak; Nopelinus Sondegau (2 tahun) dan Yoakim Mujijau (6 tahun). Pada foto yang beredar, nampak seorang mama dengan penuh kasih merangkul anaknya yang menjadi korban penembakan.

Dalam situasi mencekam itu, mama tersebut pasrah. Di wajahnya, lantas mengingatkan kita pada ungkapan terkenal Maria setelah menerima kabar dari malaikat Gabriel, “sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu” (Luk. 1:38). Mama itu terlihat “paksa tegar” merangkul mayat anaknya sekalipun hatinya tersayat-sayat pedang bermata dua.

Secara positivistik, gambar pada foto tersebut persis dengan penderitaan Maria yang digambarkan pada patung pieta. Mama Intan Jaya dan Bunda Maria sama-sama menanggung penderitaan anak mereka. Tanpa takut, tanpa ragu, tanpa cemas, dengan hati penuh cinta, sekalipun sakit hati, mereka tetap setia menemani anak mereka sampai ajal. Kesetiaan mereka adalah bukti pengabdian tulus pada Allah.

Selalu ada kemenangan

Maria setia menemani Yesus selama perjalanan hidupnya, sampai pada puncak di mana predikat Yesus sebagai Imam Agung ditunjukkan di dalam dan melalui kurban Salib. Di bawah kaki Salib Yesus, Maria menanggung penderitaan yang dahsyat bersama putranya yang tunggal.

Dengan hati keibuannya, ia menggabungkan diri dengan kurban-Nya, dan penuh kasih menyetujui persembahan kurban yang dilahirkannya.

Penderitaan Bunda Maria persis dengan penderitaan yang dialami “mama bumi” Intan Jaya. Sekalipun manusia dan alamnya sampai detik ini masih dirusak, dirampok, dicuri, dijarah, dibantai, dan dibunuh secara brutal, mereka tetap bertahan dalam keyakinan iman kepada Allah, bahwa suatu saat Allah sendiri akan membebaskan bangsa-Nya dari penindasan.

Rakyat Intan Jaya Papua, jangan sekali-kali kalian kehilangan harapan. Tuhan Allah ada di pihak orang benar. Dia adalah sumber kebenaran dan kebenaran itu sendiri. Sekalipun kebenaran bisa disalahkan tetapi dia tidak bisa dikalahkan. Suatu saat, kebenaran pasti akan menang. Tetaplah setia menanggung penderitaan seperti Bunda Maria. Kalian pasti menang. Tuhan selalu menyertai kalian. (*)

Penulis adalah alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Fajar Timur Abepura, Papua

Editor: Timoteus Marten

Daftar Pustaka

Collins O’Gerald, SJ and Edward G, Farragia, SJ. 1996. Kamus Teologi. Yogyakarta: Kanisius

Dister, Nico Syukur, OFM. 2004.Teologi Sistematika 2; Ekonomi Keselamatan. Yogyakarta: Kanisius

Haring, Bernard C.SS.R. 1992.Maria Dalam Hidup Kita Sehari-hari. Ende: Nusa Indah

Jaringan Damai Papua.2014 Indikator Papua Tanah Damai Versi Masyarakat Papua. Jayapura: JDP ‘Jaringan Damai Papua’

Koten, Bernard. et al. 2018.Papua ‘Surga’ Yang Terlantar; Laporan Hak Asasi Manusia SKP Se-Papua 2015-2017. Jayapura: SKPKC

Koten, Bernard dan I.G. Saur, Wilhelmus OFM. 2019.Yang Hilang Dan Tumbuh Dalam ‘Endemi’ Kekerasan; Beragam Peristiwa dan Fakta Hak Asasi Manusia Di Papua 2017. Jayapura: SKPKC

Koten, Bernard. et al. 2019.Papua Bukan Tanah Kosong; Beragam Peristiwa dan fakta Hak Asasi Manusia di Tanah Papua 2018. Jayapura: SKPKC

Lembaga Alkitab Indonesia. 1976.Alkitab Deuterokanonika. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia

Schneiders, Mgr. Nicolaas Martinus, CICM. 2011.Orang Kudus Sepanjang Tahun. Jakarta: Obor

Tisera, Guido, SVD. 1997.Salam Engkau Yang Dikaruniai; Maria Dalam Perjalanan Keselamatan. St.Paulus Ledalero: Dioma

Leave a Reply