Tolak resolusi PBB ‘Responsibility to Protect’, Indonesia dianggap tak serius sikapi pelanggaran HAM berat

Papua-List of Shame
'List of Shame' negara-negara yang memberi suara TIDAK terhadap resolusi R2P - Twitter UN Watch

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Indonesia menjadi bagian dari 15 negara yang memilih suara ‘TIDAK’ menyangkut resolusi PBB tentang tanggung jawab untuk melindungi dan mencegah genosida, kejahatan perang, pembantaian etnis, dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Pada tanggal 17 Mei 2021, 76 negara ajukan resolusi menyangkut ‘The responsibility to protect and the prevention of genocide, war crimes, ethnic cleansing and crimes against humanity’ (Tanggung Jawab melindungi dan mencegah genosida, kejahatan perang, pembersihan etnis dan kejahatan terhadap kemanusiaan – disingkat R2P) ke agenda tahunan Sidang Umum PBB.

Read More

Dalam diskusi yang berlangsung 2 hari itu beberapa negara anggota PBB mengutarakan pentingnya R2P untuk masuk ke agenda tahunan terutama dengan adanya konflik yang terus terjadi di Palestina, Myanmar, dan Suriah.

Pada 18 Mei 2021, 115 negara memberikan suara setuju terhadap resolusi tersebut, 28 abstain, dan 15 negara, termasuk Indonesia, bersuara menolak.

Inti resolusi yang ditolak Indonesia tersebut berbunyi:

  1. Memutuskan untuk memasukkan ke dalam agenda tahunan item yang berjudul “Tanggung jawab untuk melindungi dan pencegahan genosida, kejahatan perang, pembersihan etnis dan kejahatan terhadap kemanusiaan”.
  2. Meminta Sekretaris Jenderal untuk setiap tahun melaporkan kepada Majelis Umum tentang tanggung jawab untuk melindungi dan pencegahan genosida, kejahatan perang, pembersihan etnis dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Penolakan Indonesia itu menjadi ramai diperbincangkan setelah sebuah lembaga nirlaba, UN Watch pada 20 Mei mengunggah di Twitter daftar negara-negara yang menolak resolusi tersebut sebagai daftar List of Shame (Daftar yang memalukan).

Menanggapi hal itu, Dirjen Kerja Sama Multilateral Kementerian Luar Negeri, Febrian Alphyanto, serta Juru Bicara Kemenlu, Teuku Faizasyah, masing-masing segera mengklarifikasi posisi Indonesia itu.

Febrian dalam jumpa pers Kamis, 20 Mei 2021, menyampaikan bahwa Indonesia memang menolak resolusi PBB itu namun yang ditolak bukanlah substansi dari R2P melainkan pembahasan R2P dalam ruang atau event terpisah (atau yang pemerintah sebut sebagai mata agenda baru).

“Jadi, saya tegaskan, apa yang ditolak Indonesia bukan isu substantifnya, tetapi proseduralnya…Kami sudah mendukung R2P sejak 2005 hingga 2020. Perlindungan terhadap korban kejahatan kemanusiaan, genosida, itu sudah jelas,” ujar Febrian, Kamis (20/5/2021), mengutip tempo.co.id.

Hal senada dikatakan Teuku Faizasyah mengutip keterangan tertulisnya kepada tirto.id Kamis (20/5), “Posisi kami sudah jelas, sudah ada proses yang berjalan dengan baik sejak tahun 2005 dan tidak ada urgensi membentuk proses baru. Substansinya sudah dibahas bertahun-tahun dan tidak ada masalah dan Indonesia pun ikut dalam pembahasan tersebut,” kata Faiza.

R2P memang disahkan oleh semua negara anggota PBB pada KTT Dunia 2005 dalam rangka mencegah genosida, kejahatan perang, pembersihan etnik dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Hal itu dicantumkan dalam paragraf 138-139 dari Dokumen Hasil KTT Dunia tersebut.

Namun yang dipertegas dalam resolusi baru itu, yang ditolak pemerintah RI, adalah mekanisme tanggung jawab laporan tahunannya oleh Sekjend PBB kepada Majelis Umum.

RI tidak serius

Terkait penolakan itu Amnesty International Indonesia menganggap komitmen Indonesia rendah dalam penegakan HAM, terlebih pelanggaran HAM berat.

Mengutip siaran pers Amnesty International Indonesia tertanggal 20 Mei 2021, Direktur Eksekutif Usman Hamid mengatakan: “Sikap itu memperlihatkan rendahnya komitmen Indonesia dalam memajukan dan melindungi hak asasi manusia di dunia. Padahal Indonesia adalah anggota tidak tetap dewan HAM PBB.” (*)

Editor: Jean Bisay 

Related posts

Leave a Reply