Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Manajemen PT Freeport Indonesia (PTFI) mengatakan konsultasi publik dalam rangka proses Analisa Dampak Lingkungan (AMDAL) yang sedang berlangsung tidak terkait dengan perluasan maupun pengembangan area pertambangan. Penyusunan AMDAL 2020 lebih pada untuk mempembarui izin lingkungan yang telah dimiliki PTFI.
Pertanyaan itu disampaikan Vice Pres Corporate Communications PT Freeport Indonesia, Riza Pratama, kepada redaksi arsip.jubi.id, di Jayapura-Papua, Senin (17/08/2020).
Kata dia, ada sejumlah pembaruan yang tercakup dalam AMDAL 2020 meliputi Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) seluas 9.946 Ha dan wilayah penunjang (WPIUPK) seluas 116.783 Ha.
“Tidak ada rencana pengembangan dan perluasan wilayah baru untuk operasi kegiatan pertambangan PTFI. Semua masih dalam wilayah yang diperuntukan bagi kegiatan operasional PTFI sesuai dengan izin pemerintah (WIUPK dan WPIUPK) tersebut,” ungkap Riza.
Lebih lanjut, Riza Pratama mengatakan penyusunan AMDAL ini lebih untuk melengkapi kebutuhan perizinan proses transisi dari Tambang Terbuka Grasberg ke Tambang Bawah Tanah, dengan menggunakan metode pengolahan bijih yang lebih ramah lingkungan, optimalisasi pemanfaatan bijih, dan perbaikan pengelolaan tailing PTFI.
Selain itu, kata Riza, juga mencakup langkah-langkah mitigasi potensi risiko dari kegiatan operasi PTFI.
“Penyusunan AMDAL 2020 ini memiliki tujuan yang baik yakni untuk melindungi masyarakat dan seluruh pemangku kepentingan dengan berbagai upaya yang harus dilakukan PTFI dalam meminimalisasi dampak sosial dan lingkungan kepada masyarakat dan memaksimalkan manfaat dari keberadaan perusahaan,” ungkapnya.
Riza menambahkan prosesnya berjalan dengan melibatkan para pemangku kepentingan, termasuk perwakilan masyarakat adat, tokoh masyarakat, dan pemerhati lingkungan baik di tingkat lokal maupun nasional melalui proses konsultasi publik yang disyaratkan oleh peraturan perundangan yang berlaku.
“Dalam penerapannya di kemudian hari, PTFI pun akan senantiasa melibatkan pemerintah pusat dan daerah, khususnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai kementerian teknis yang melakukan pendampingan dan pengawasan penerapan AMDAL 2020 ini,” pungkas Riza.
Baca juga: Warga adat di Papua menolak perluasan lahan tambang PT Freeport
Sebelumnya, Sekretaris II Dewan Adat Papua hasil Konferensi Masyarakat Adat Papua di Biak, John Gobay, mengatakan masyarakat adat merasa heran karena Freeport baru mau membahas AMDAL yang menjadi dasar awal sebuah perusahaan itu layak atau tidaknya operasi, sebagai sebuah instrumen yang menjadi tolak ukur bagi pelaku usaha agar tidak semena-mena terhadap lingkungan sekitar sudah ada dalam hukum Indonesia.
“Ini baru pertama kalinya perusahaan ini melakukan konsultasi publik. Konsultasi publik semenjak perusahaan ini masuk dan beroperasi tahun 1967 dengan cara yang ilegal,” ungkapnya.
Gobay menambahkan Freeport Indonesia masuk tanpa izin kepada siapapun untuk mengeruk kekayaan alam sebanyak-banyaknya. Mengakibatkan begitu banyak darah yang mengalir, ekosistem hutan dan sungai hingga lautan yang akhirnya rusak karena tailing.
“Namun masih tetap berpikir seolah-olah apa yang dilakukannya itu benar,” ungkapnya.
Lanjut Gobay, dokumen AMDAL harusnya diadakan sebelum perusahaan melalukan operasi mineral tetapi PT Freeport Indonesia mengabaikannya selama puluhan tahun.
“Mengapa setelah 53 tahun Freeport beroperasi baru melakukan hal ini?” tanya Gobay.
Sesuai aturan LH UU no 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan lingkungan hidup, kata Gobay, harusnya AMDAL dibuat sebelum usaha dilakukan karena jika sebuah perusahaan tidak memiliki izin lingkungan, izin usaha dapat dicabut.
“Sekarang menjadi pertanyaan, Freeport mau membuat AMDAL ini untuk usaha yang mana? Apakah ada pemain baru sehingga harus ada AMDAL? Bagian ini Freeport harus terbuka untuk menjelaskan. Jika tidak, inilah fakta konspirasi kapitalis dan negara,” tegasnya.
Gobay menambahkan ke depan Pemerintah Indonesia harus menggelar sesi khusus yang menghadirkan PT Freeport Indonesia dan masyarakat sekitar tambang yang disebut sebagai pemilik hak adat untuk bicara berbagai hal terkait keberadaan perusahaan ini di Papua. (*)
Editor: Dewi Wulandari