Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh: Soleman Itlay*
Elawohe namanya. Usianya sekarang sudah mencapai 56 tahun. Dia adalah salah satu perempuan yang berani angkat tombak. Kemudian masuk ke kota Wamena pada 6 Oktober 2000.
Dia salah seorang cucu kepala suku dari Itlawisage, Apela Hisage, seorang yang demi memenangkan Pepera 1969, mendapat tipu, menjadi korban dan dikubur di pulau karang, angkasa, Biak Numfor, belakang menara ait—lokasi pembantaian tragis yang dikenal Biak Berdarah, tanpa sedikit pun perhatian dari pemerintah ini.
Kabar tentang keterlibatan perempuan itu, pada waktu itu cukup heboh di kampung. Sebab pada situasi yang panas dan tak terkirakan, dia memilih untuk ikut berperang dalam tragedi yang membuat Kota Dingin ternoda karena sejarah kelamnya itu.
Suaminya Weakalok. Seorang juru panah yang mahir dan pernah ada di masa peperangan antar sub suku/klen, wilayah di Wamena, khususnya kawasan Pugima Gunung Atas, Xolihmo.
Baca juga: Pemekaran mengancam eksistensi Orang Asli Papua
Tidak peduli dengan tubuhnya yang kurus kerempeng. Juga matanya yang kurang bagus karena sering mengeluarkan cairan. Pada malam itu dia bersikap seperti seorang perempuan terlatih dan memang sangat berani.
Sang suami suruh dia tinggal dan jaga anak-anak di rumah. Tetapi diam-diam dia ikut dari belakang. Suaminya kaget pada pagi hari di jembatan Wesaput, bahwa istrinya ikut dalam peperangan itu.
Malam biasa-biasa saja. Orang tidak memperhatikan saat dimana Wenewule/Wenehule Hubi membatasi orang-orang dari Pugima Lembah dan Gunung, agar tidak masuk ke dalam kota.
Tapi pada pagi hari, semua orang melihat dia. Dia tidak merasa malu dan apapun, walaupun ribuan mata tertuju padanya. Dia tetap memegang tombak kecil yang ringan dan memang dirancang untuk perempuan.
Kemudian dia duduk, dan mengisap rokok di tepian Sungai Palim/Baliem. Dia santai saja, walaupun orang di samping kiri-kanan menceritakan tentang dia dan bertanya “itu istrinya siapa? Dia hebat sekali.”
Baca juga: Kearifan lokal orang asli Papua sebagai modal dasar pembangunan
Saya ketemu pada pagi hari di Alowa, Sagesalo. Tempat kami bermain waktu kecil-kecil. Perempuan itu datang dari arah kota atau Lukaken di tengah gerombolan para pria yang memegang segala perlengkapan perang tradisional.
Rupanya dia sangat lapar. Bukan lapar nyawa manusia ya? Tapi setelah menempuh perjalanan pergi pulang (PP) sekitar 30-50 kilometer, dia lapar dan benar-benar haus.
Kemudian ia masuk ke rumah kami di Wisageyo. Di sana setelah mengkonsumsi makanan lokal, seperti hepuru, xoa, dan lainnya, dia istirahat dan seperti biasa, mengisap rokok tradisional.
Di sini dia menceritakan pengalaman pada malam hari hingga pagi itu. Katanya, dia ingin berperang di dalam kota. Tapi sial, karena kepala suku besar Mukoko di Wesaput membatasinya dan komando perang waktu itu tidak jelas.
Perempuan bertubuh putih itu masih hidup. Dia sangat kuat, dan mampu bekerja kebun sendiri, menggantikan peran para lelaki yang [terbuai] karena pemekaran dan otonomi khusus (otsus) Papua yang semakin merosot.
Baca juga: Krisis ekologi dan kemanusiaan di Tanah Papua
Menarik, karena dia tidak tahu baik soal perjuangan untuk tanah ini. Tapi soal perang dia ingin sekali terlibat di dalamnya.
Pada 2017 lalu, saya ke kampung dan bertanya soal pengalaman itu kembali. Hanya untuk memastikan apakah dia masih ingat atau sudah lupa. Tapi dia mengatakan:
“Eye… Yak yisa, an likma asusak atoma naluk gen? Nerop, an nakla ewerek motok hakama.”
Yang tahu bahasa Hugula pasti mengerti ini. Tapi kalau tidak tahu, maka kembali belajar bahasa daerah sendiri untuk mengetahui artinya.
Orang hanya akan merasa bahwa alam semesta ini terasa sangat hangat ketika berada di atas pukul 9 atau 10 pagi. Lebih dan kurang dari itu, siapa saja tahu bahwa Wamena itu dingin.
Baca juga: Agama kaki tangan “Trinitas” abad 21 di Papua
Seperti orang kampung biasa. Dia memakai pakaian yang kotor-kotor. Bau busuk dan sedikit robek kalau dilihat dari sudut mata orang-orang kota, terpelajar, kaya dan merasa lebih hebat.
Semua orang yang pernah ke Wamena tahu, bahwa ibu kota Kabupaten Jayawijaya itu sangat dingin. Angin menusuk tubuh semua orang, bahkan seperti ayam yang berkokok pada pagi, membangunkan semua orang. Dinginnya Angin Kurima itu menjadi alarm penting di waktu perang ataupun normalnya.
Bukan jahat. Tapi justru bersahabat. Karena itulah dia selalu mengingatkan lebih awal, bakalan sebelum ayam yang baru muncul ini berkokok.
Perempuan yang berani angkat tombak itu mampu melewati ujian semesta seperti itu. Dia tidak mau kalah dari laki-laki yang sebagian tidak mengenakan pakaian dan hanya pakai koteka saja.
Dia tampil dengan rok Timika. Tidak mau pakai celana, walaupun ada di rumahnya. Dia tetap merawat wibawa perempuan di zaman modern. Meskipun beberapa perempuan lain memaksanya pakai celana tali saja.
Pada waktu itu, dia sama sekali tidak takut pada Angin Kurima, ataupun hawa dari Sungai Palim. Juga senjata api milik aparat keamanan dan militer yang menguasai Kota Dingin.
Baca juga: Pengaduan konstitusional, keharusan dalam konstitusi
Dia meninggalkan segalanya, mempertaruhkan nyawanya, untuk ikut perang di dalam kota. Tidak peduli pada nasib dan masa depannya. Ketika lelaki angkat senjata tradisional di depan, dia berada di tengah-tengah dan belakang.
Tidak seperti perempuan di wilayah lain, yang hanya ditugaskan untuk memasak dan mengantar makanan ke medan pertempuran. Ia maju tanpa sedikit pun menyerah.
Saya sampai saat ini masih heran. Karena totalitas perempuan tua itu luar biasa. Bahkan semangat lebih dari seorang lelaki yang dikenal amat berani dan banyak menelan nyawa orang dari tangannya.
Elawohe, seorang yang tidak berpendidikan. Buta aksara. Tapi kesadarannya pada waktu itu untuk perlawanannya luar biasa. Dia angkat tombak demi penegakan harga diri dan kaumnya.
Banyak yang tidak tahu perempuan kampung, yang sehari-hari hanya berkebun dan suka memikul beban, noken berlapis-lapis, satu hingga lima noken di kepala. Termasuk kayu bakar untuk di rumah atau jual di pasar, dengan menempuh jarak yang sangat jauh. Macam dari Koya Barat ke Bandar Udara Theys H. Eluay, Sentani.
Baca juga: 10 akar sejarah kekerasan negara di Papua (2/2)
Sekarang sudah 21 satu tahun. Tapi sayang, semakin ke sini, semangat mama ini semakin tidak menentu. Dulu dia bersemangat untuk berjuang. Tetapi sekarang dia tidak seperti dulu lagi.
Akhirnya saya harus bertanya, mengapa dulu mama ini bersemangat dan sekarang nampak kehilangan fokus tuntutan hak hidup dan masa depannya? Apa yang membuat mama ini kehilangan peran dalam gerakan-gerakan selanjutnya dan hanya spontan saja?
Saya rasa pemekaran dan Otsus Papua menjadi jawaban yang tepat untuk mematahkan semangat hati nurani yang muncul dari mama yang pada belakangan ini bergantung dan bakal “menyalibkan” diri dalam sistem asing yang mempersulitnya.
Untuk kembali memang membutuhkan lilin yang harus menetap dan menyala di tengah ketidaktahuan mereka, terutama kaum perempuan. Sampai membuat mereka benar-benar sadar dan ingin terlibat dalam hal-hal, termasuk “kejahatan” sekalipun, tapi dapat membawa perubahan bagi perempuan tanah. (*)
* Penulis adalah masyarakat Papua, tinggal di Jayapura
Editor: Timoteus Marten