Papua No. 1 News Portal | Jubi
Patung Dafonsoro Sepick nan unik. Peralatan perang, musik, transportasi, aksesoris, dan religi tertata dengan apik. Ukiran-ukiran, lukisan kulit kayu, gerabah, perlengkapan perang, manik-manik, perahu, budaya, kain timor, dan benda-benda bersejarah lainnya tersimpan di Museum Loka Budaya Universitas Cenderawasih (Uncen) Jayapura.
Di museum Uncen, saya tertegun dengan sebuah tiang. Diameternya sekira pelukan orang dewasa. Pasalnya tiang tersebut diambil dari dalam danau Sentani, dan merupakan tiang rumah masyarakat sekitar danau itu pada masa lalu.
Koleksi museum ini sebanyak 2.500 buah. Namun di etalase hanya terlihat 900 buah. Koleksi-koleksi etalase itu berasal dari 270-an suku di Tanah Papua.
Museum Uncen berdiri kokoh. Berdampingan dengan auditorium Uncen. Auditorium lebih tinggi. Lebih megah. Luas lagi. Sedangkan museum lebih rendah. Halamannya luas. Biasa dijadikan tempat pentas seni atau mimbar bebas para aktivis.
Tapi museum punya beberapa bunga di depannya. Saat bertandang ke sini, bunga-bunga menari ria. Saya duduk sebentar di beberapa anak tangga. Menyaksikan bunga-bunga yang diterpa angin pagi.
Sekitar sepuluh meter saja dari area Jalan Raya Jayapura- Sentani, Abepura, persis di sisi kiri jalan. Ketika pertama kali melihat gedung ini, saya tak menyangka bahwa gedung sederhana ini menyimpan ribuan cerita.
Merujuk sejarah awalnya museum tersebut hanya menyimpan ukiran-ukiran Asmat. Sekitar tahun 1961 peneliti asal Amerika, Michael Rockefeller, dikabarkan hilang. Perahunya terbalik karena terbawa arus di Sungai Betsj, Kabupaten Asmat.
Pada tahun 1974, Gubernur New York, Nelson Rockefeller, menggagas pembangunan museum untuk mengenang anaknya yang hilang tadi. Ukiran-ukiran Asmat pun disimpan. Enam tahun kemudian, 1981, museum tersebut diserahkan ke Uncen di bawah Lembaga Antropolgi Uncen, setelah pemerintah menetapkan PP Nomor 5 Tahun 1980 Tentang Pokok-Pokok Organisasi Universitas/Institut Negeri, dan digabungkan menjadi Pusat Penelitian Uncen. Museum pun menjadi Unit Pelaksana Teknis (UPT) sesuai SK Rektor tertanggal 4 Juli 1990 nomor 1698/PT.23.H/C/1990.
Peneliti dari Balai Arkeologi Papua, Hari Suroto, berkata museum Uncen dikenal luas oleh akademisi luar negeri dan menjadi destinasi favorit turis asing, bahkan masuk dalam buku Lonely Planet—merupakan referensi turis dunia untuk Papua.
Menurut situs ini Papua menyimpan banyak keindahan untuk dikunjungi, misalnya, Wayag dan Pianyemo di Raja Ampat, Papua Barat, Taman Nasional Teluk Cenderawasih, Museum Loka Budaya, Museum Kebudayaan dan Kemajuan Asmat, Danau Habema di Jayawijaya, Pulau Mansinam di Manokwari, Papua Barat, Pantai Base-G di Kota Jayapura, Pantai Segara Indah, Mumi Wimontok Mabel di Jayawijaya, Air Garam, Gua Wikuda, Pantai Anggopi, Pulau Asei Sentani, Jayapura, Mumi Werapak Elosak, Pantai Pasir Putih, Situs Megalitik Tutari, Tugu MacArthur, Taman Burung dan Taman Anggrek, Gua Kotila, Pantai Nabire, Mumi Alongg Huby, dan Piramid.
Dari sejumlah tempat itu, dua objek museum yang patut dikunjungi adalah Museum Loka Budaya dan Museum Kebudayaan dan Kemajuan Asmat. Di Kota Jayapura ada Museum Loka Budaya Papua di Expo-Waena, Distrik Heram, dan Museum Loka Budaya Uncen di Distrik Abepura. Namun Museum Uncen lebih lengkap dari Museum Expo.
Suroto berkata di museum Loka Budaya Uncen tersimpan sebuah tiang rumah tradisional orang Sentani, yang diambil dari dalam danau. Tiang tersebut diduga akan akan dikirim ke Jerman, tetapi berhasil disita dan disimpan di museum Uncen.
Pegawai di Museum Uncen, yang sejak tahun 1981 hingga pensiun 2018, Yosef Wally, pada suatu kesempatan berkata kepada Jubi, Museum Loka Budaya Uncen dibangun Pemerintah Indonesia tahun 1970. Ketika itu, Pemerintah Indonesia membangun museum ini setahun setelah Papua integrasi dengan Indonesia, karena Pepera dilaksanakan tahun 1969. Setelah itu diresmikan oleh Direktur Jenderal Pendidikan dan Kebudayan Publik, Doktor Ida Bagus Mantar, pada 1 Oktober 1973.
Wally berpuluh-puluh tahun mengabdi di sini, tetapi tak ditemui banyak pengunjung lokal, kecuali turis asing yang sudah renta. Namun, pada Maret 2019, Jubi melakukan program pelatihan jurnalistik bertajuk “Journalist Goes To School” yang diikuti beberapa siswa SMA. Dalam sebuah praktik menulis, Tim Jubi memboyong mereka ke Museum Uncen, 15 Maret 2019, dan mewajibkan mereka menuliskan laporannya dalam bentuk tulisan jurnalistik. Mereka pun senang, bahkan ingin tahu banyak tentang Papua dari koleksi benda-benda bersejarah.
Beberapa bulan kemudian, 20 Agustus 2019, para siswa dari Sulawesi Selatan dalam program Siswa Mengenal Nusantara (SMN) mengunjungi Museum Uncen. Seorang siswa SMAN 12 Maros, Sulsel, Hasrullah, ketika itu kepada Antara mengungkapkan kekagumannya pada Museum Uncen, yang menyimpan benda-benda purbakala dan unik.
Baca juga: Mengenang 37 tahun kematian budayawan dan seniman Arnold C Ap
Berbicara tentang museum Uncen juga tak lepas dari budayawan Papua, mendiang Arnold C. Ap, yang tewas dibunuh tentara elite Indonesia tahun 1984. Beliau adalah kurator Museum Uncen dan getol mendokumentasikan budaya Papua melalui lagu-lagu bahasa daerah tiap suku. Grupnya Mambesak, yang tenar tahun 1980-an, menelurkan lagu-lagu yang kini menjadi spirit anak-anak muda di Bumi Cenderawasih.
Antropolog Papua, Enos H. Rumansara, dalam artikelnya berjudul “Peran Sanggar Seni Dalam Menunjang Kegiatan Bimbingan Edukatif Pada Pameran Benda Budaya Koleksi Museum-Museum di Papua” Volume 1. No.3 Agustus 2000, yang dipublikasikan papuaweb.org (pdf.) mengharapkan, agar setiap kabupaten di Tanah Papua perlu mendirikan museum, untuk melestarikan kebudayaan suku-suku di daerah tersebut, yang merupakan warisan sejarah alam dan budayanya.
Beberapa hal yang perlu diperhatian dalam rangka melestarikan kebudayaan Papua, tulisnya, yaitu, mendirikan lembaga-lembaga yang bertanggung jawab untuk melestarikan kebudayaan daerah Papua, khususnya, yang berhubungan dengan benda-benda budaya—identitas suku-suku bangsa yang mendiami Tanah Papua. Kelompok seni atau sanggar dapat mementaskan budaya-budaya Bumi Cenderawasih di museum. Mereka pun perlu dibina demi mengembangkan kesenian daerah Papua.
Menurut Rumansara, pembentukan kelompok seni dapat juga menciptakan lapangan kerja bagi para seniman dan mendukung pariwisata di Tanah Papua, sebab, kesenian daerah merupakan suatu aset daerah yang perlu ditumbuhkembangkan untuk masa depan Tanah Papua. (*)
Editor: Dominggus Mampoioper