TERVERIFIKASI FAKTUAL OLEH DEWAN PERS NO: 285/Terverifikasi/K/V/2018

Benny Wenda dan Joko Widodo, dalam perspektif spiritual Alkitab dan conflict resolution

papua-benny-wenda
Benny Wenda - Jubi/IST

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Ole: Pares L. Wenda

Raja Firaun di Mesir memandang rendah nabi Musa, hingga 10 tulah harus dilakukan Tuhan kepada bangsa Mesir, hingga tulah terakhir bahwa setiap anak sulung bangsa Mesir; mulai dari anak sulung manusia hingga anak binatang mati. Dengan kata lain, Tuhan pada akhirnya menurunkan 10 tulah untuk melunakkan hati Firaun.

Tuhan memerintahkan malaikat maut membunuh anak-anak sulung manusia hingga binatang milik kepunyaan bangsa Mesir. Tuhan menghancurkan masa depan bangsa Mesir dan mengguncang hati bangsa Mesir sampai ke titik terendah.

Raja Firaun tak mampu berbuat apa-apa kecuali hanya punya satu pilihan, biarkan bangsa Israel itu pergi dari tanah perbudakan di Mesir untuk selamanya pulang ke tanah perjanjian–tanah Kanaan (promised land). Firaun dan segala kekuatan sebagai kerajaan adidaya pada masa itu, tidak mampu menghalangi kuasa Tuhan, yang paling dahsyat dan belum pernah terjadi sebelumnya dalam peradaban bangsa Mesir, hingga pada masa Musa membuat 10 tulah menjadi kenyataan.

Tuhan melalui Musa menawarkan resolusi konflik tanpa harus para pihak berkorban, tetapi semua tawaran Musa ditolak dengan segala argumentasi politik-ekonomi. Kemampuan sumber daya manusia bangsa Israel, sepertinya tidak ada tandingannya hingga semua itu dapat meyakinkan pendirian Raja Firaun menolak seluruh proses resolusi konflik dua arah dan Tuhan sebagai negosiator kedua belah pihak yang berkonflik.

Tuhan sebagai negosiator di sini maksudnya Tuhan mendorong Musa untuk mengirimkan beberapa sinyal agar Firaun paham kuasa Tuhan, dan maksud Tuhan menyelamatkan bangsa Israel. Pada saat yang sama Tuhan mau agar Firaun percaya Tuhan dan menerima tawaran Tuhan melalui Musa. Tetapi Firaun tidak mengindahkannya, walaupun semua ini harus terjadi dalam rencana dan kehendak-Nya, tetapi bagian lain Tuhan memberikan kepada bangsa Israel hikmat dan akal budi, diberi kebebasan penuh untuk memilih ataupun memutuskan sesuatu. Di sinilah Firaun menolak Allah. Karena itulah di sini saya mengatakan Tuhan sebagai negosiator.

Namun, Firaun memandang Musa sebagai sampah, tidak penting. Firaun justru meningkatkan kekerasan fisik dengan satu program dan kebijakan unggulan. Program pertama adalah mendirikan Kota Pitom dan Raamses dengan mendirikan berbagai piramida, yang sekarang kita lihat bukti sejarah peninggalannya.

Kebijakan kedua adalah pembunuhan setiap anak bayi laki-laki Israel yang lahir, dan bila bayi perempuan dibiarkan hidup. Program ini tidak membiarkan bangsa Israel punah. Tuhan mendengarkan doa dan tangisan mereka, mereka terselamatkan dari bahaya genosida yang dirancang secara sistematis oleh negara melalui Raja Firaun.

Penderitaan bangsa Israel pada waktu itu hanya diperhatikan oleh Tuhan melalui seruan doa, dan teriakan, tangisan pilu, minta tolong bangsa bangsa Israel karena kejamnya penindasan dan pembunuhan yang luar biasa.

Penderitaan, perjuangan, dan pengorbanan bangsa Papua hari ini didengar oleh Tuhan, bahkan Tuhan menyaksikan langsung semua kekejaman yang terjadi di negeri ini.

Teknologi informasi dan perkembangan media sosial yang pesat saat ini, telah memberi ruang kepada dunia secara langsung menyaksikan peristiwa kemanusiaan yang nyaris terjadi setiap hari di Papua, dipublikasi tanpa disensor pemerintah.

Apakah posisi pemerintah Indonesia yang dinahkodai Jokowi akan seperti pemerintahan Raja Firaun? Ataukah sikap pemerintahannya akan lunak? Setidaknya ada beberapa kemungkinan yang akan membuat bangsa Indonesia terdesak untuk melepaskan Papua.

Pertama, Tuhan mendatangkan musibah terbesar dalam sejarah Indonesia yang belum pernah terjadi sebelumnya? Kedua, Indonesia akan mengizinkan Papua bebas atas desakan masyarakat internasional melalui PBB, bisa tanpa referendum atau melalui referendum? Ketiga, atas desakan bangsa Indonesia setelah memahami betul sejarah proses integrasi dan penderitaan orang Papua yang belum selesai secara tuntas.

Paling tidak suara permasalahan di Papua sudah dipublikasi melalui suatu riset mendalam dari LIPI, yaitu empat akar masalah Papua (Sejarah dan Status Politik Papua, Pelanggaran HAM, Marginalisasi Orang Asli Papua, dan Kegagalan Pembangunan).

Jauh sebelum itu, Mohammad Hatta, salah seorang founding father negara Indonesia sudah menyatakan secara jelas saat sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) bahwa bangsa Papua berhak mendirikan negara, karena mereka berbeda ras dengan Indonesia saat itu, orang Papua adalah ras Melanesia.

Anak-anak muda Indonesia hari ini seperti Surya Anta Ginting, Dandhy Laksono, dan sejumlah generasi muda Indonesia secara terbuka mendukung Papua membentuk negara sendiri.

Benny Wenda, dkk. tidak bisa membuat mukjizat seperti Musa, tetapi kerja-kerja mereka hari ini membuat Pemerintah Indonesia harus mengeluarkan energi dan dana yang tidak sedikit. Step by step Benny Wenda dan kawan-kawan, tua, dan muda, terus berjuang menunjukkan eksistensi dan konsistensi mereka dalam perjuangan penentuan nasib sendiri bangsa Papua.

Benny Wenda, Cs. akan membuat mukjizat-mukjizat kecil tetapi Jakarta akan tetap pada dalilnya bahwa Papua sudah final di dalam NKRI melalui  Act of Free Choice pada tahun 1969, itu tidak masalah karena itu jalan Tuhan dalam konteks perspektif spiritual.

Benny Wenda tidak akan dianggap seperti Jokowi atau setara dengan pemimpin nasional pemerintah Indonesia hari ini. Benny Wenda adalah seorang buronan Pemerintah Indonesia, bahkan kemampuan intelektualnya mungkin akan dianggap tidak sebanding dengan founding fathers dari Indonesia. Benny Wenda tidak sekelas dengan seorang Soekarno, Bung Hatta, dkk, dan kemungkinan akan dibanding-bandingkan seperti itu oleh Indonesia.

Dalam semua perspektif Indonesia terhadap OAP (orang asli Padang) tetap dianggap terbelakang. Dalam perspektif seperti ini resolusi konflik yang ditawarkan oleh Benny Wenda, dkk. tidak akan didengar Jakarta, setidaknya sama seperti Musa dan Firaun.

Dalam konsep spiritual ada dua hal yang dilupakan orang Kristen Indonesia dan tidak berhasil mengingatkan pemerintah Indonesia di tengah “gencarnya” agama Kristen mewartakan bahwa pemerintah adalah wakil Allah, dan karena itu harus taat kepada pemerintah sebagai wakil Allah. Apa yang dilupakan gereja-gereja di Indonesia?

Spiritual concept yang saya maksudkan pertama adalah “apa yang dianggap dunia ini hina, sampah, tidak berguna dipilih Allah untuk mempermalukan mereka yang dianggap berhikmat, berbudaya, bermoral, dsb”. Dalam konteks ini Indonesia menganggap OAP tertinggal dan terbelakang, tetapi setidaknya tampilnya Benny Wenda, Cs. telah melampaui batas wilayah NKRI.

Ia telah menembus negara adikuasa, negara maju dan negara-negara yang konsen terhadap isu-isu kemanusiaan universal kita di atas segalanya. Benny Wenda, dkk. mendapatkan simpati terbaik di seantero dunia.

Spiritual concept yang kedua adalah, “mereka yang dianggap terbelakang, terbodoh, mereka akan menjadi terkemuka dan yang terkemuka akan menjadi yang terbelakang”. Orang Papua hari ini masih dianggap terbodoh dan terbelakang. Hal itu bisa kita lihat dari Human Development Index yang tidak pernah naik kelas dan tidak pernah turun kelas. Tetapi dalam spiritual concept, ketidakberdayaan mereka orang Papua ini, Tuhan mengatakan “jangan takut Aku ada”. Artinya, tidak selamanya orang Papua akan berada dalam posisi terbodoh dan terbelakang.

Di mata dunia negara adikuasa Firaun adalah kerajaan terkuat yang ditakuti manusia pada waktu itu, tetapi Tuhan meruntuhkan mereka dari dalam istana Firaun hingga orang-orang Mesir yang tidak tahu apa-apa, yang hidup di pinggiran daerah terpencil, kumuh, jauh dari wilayah istana Firaun juga terkena imbas: anak sulung mereka harus meninggal, oleh karena kebijakan kepala negara yang keras kepala, yang tidak taat kepada perintah Tuhan.

Waktu Tuhan meruntuhkan keegoan negara atau kerajaan ini, dan mengangkat bangsa Papua sesuai dengan masa dan waktu yang ditetapkan Tuhan. Karena di balik ini kuasa Tuhan harus dinyatakan, supaya semua orang akan tahu, bahwa Tuhan orang Papua adalah Tuhan yang penuh kekuasaan, dan mengasihi umat-Nya, sehingga Ia membebaskan mereka dari penindasan.

Dua spiritual perspective ini dilupakan oleh negara, karena gereja-gereja di Indonesia gagal mengedukasi pemimpin bangsa Indonesia.

Dalam spiritual concept, sosok Benny Wenda, dkk. seperti Musa. Mereka hanya dianggap negara/kerajaan Firaun yang berkuasa pada waktu itu sama seperti hari ini kita akui bahwa Amerika Serikat memimpin sebagai polisi dunia (meskipun wilayah pengaruhnya tidak sampai seantero dunia), karena tidak ada bukti sejarah yang dapat membuktikan hal itu, tetapi catatan pentingnya dari bukti kekuasaan pemerintahan yang pernah ada pasca air bah adalah Nimrod, dan kedua adalah Kerajaan Firaun Mesir (mereka ini semua adalah keturunan Ham).

Setelah Pemerintah Nimrod runtuh, setidaknya kerajaan terkuat kedua adalah kerajaan Firaun. Firaun dengan segala kekuasaan militernya, tatanan ekonomi yang kuat, sumber daya manusianya yang kuat, dan secara manusiawi kekuatan pemerintahan seperti itu membuat pemerintahan adikuasa ini tidak tunduk kepada Musa.

Tetapi Firaun salah, di balik orang Israel dengan pemimpin terdepannya adalah Musa dipandang rendah, lemah. Tetapi Firaun lupa, Musa tidak datang atas kehendaknya sendiri, Musa di utus Tuhan dan berpihak kepada bangsa Israel yang lemah dari semua sisi sebagai sebuah bangsa.

Founding Fathers meletakkan dasar negara Pancasila dengan sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, tetapi pemimpin negara ini tidak membaca tanda-tanda alam, dan petunjuk firman Tuhan melalui Kitab Bible, Alquran, dan kitab agama lain. Firaun pada masa itu menyembah berhala, bukan Tuhan yang sesungguhnya yang disembah bangsa Israel.

Tetapi sungguh benar mata dan telinga rohani mereka telah dibutakan oleh ilah-ilah zaman ini, sehingga mereka sendiri sudah tidak bisa membedakan mana yang baik dan mana yang jahat. Seperti banyak mukjizat yang dilakukan Yesus sejak kelahiran-Nya, masa kerja-Nya, dan kematian-Nya di kayu salib membuktikan bahwa Yesus adalah Isa Almasih. Namun pemimpin Yahudi dan Romawi yang memimpin wilayah Israel tidak mampu melihat bahwa Yesus adalah Isa Almasih yang dinubuatkan nabi Yesaya dan para nabi lainnya.

Perspektif spiritual melihat Indonesia dan Papua atau melihat Benny Wenda dan Jokowi sebagai dua bangsa dengan segala kekuatan bargaining politik dan kekuasaannya harus melihat Papua dan Indonesia tidak hanya dari kaca mata jasmani seperti Firaun, tetapi mari kita berhikmat, mari kita berkaca mata rohani, dengan tidak mengulangi kesalahan yang sama seperti Firaun.

Minimal kita belajar seperti Amerika yang memberikan kemerdekaan kepada Filipina, pascaperang dunia kedua berakhir, Inggris kepada Singapura, dan jangan lupa perjuangan rakyat Papua melalui ULMWP telah membentuk UUDS dan Presiden Sementara Benny Wenda sebagai prosedur internasional yang diakui dunia.

Janganlah Tuhan yang bertindak membebaskan bangsa Papua yang adalah “umat pilihan-Nya”. Jika Indonesia mengakui adanya Tuhan dalam dasar negara dan konstitusi negara, maka selesaikan masalah Papua dengan perspektif resolusi konflik dengan konsep spiritual, agar tidak ada yang merasa kalah dan tidak ada yang merasa menang. Semoga terwujud pesan moral ini. (*)

Penulis adalah Members at Large Baptist World Alliance Perwakilan Papua-Indonesia

Editor: Timoteus Marten

Baca Juga

Berita dari Pasifik

Loading...
;

Sign up for our Newsletter

Dapatkan update berita terbaru dari Tabloid Jubi.

Trending

Terkini

JUBI TV

Rekomendasi

Follow Us