Papua No.1 News Portal | Jubi
Oleh Mihai Sora
Varian Delta dari Covid-19 telah menyebabkan peningkatan yang berkelanjutan dalam hal cakupan vaksinasi di hampir semua negara-negara di Kepulauan Pasifik. Negara-negara tampaknya telah mengakui bahwa cakupan vaksinasi yang tinggi itu sangat penting dalam memungkinkan mereka untuk membuka perbatasan dan kembali terlibat aktif dalam perekonomian regional dan global.
Tren yang sama, dengan lonjakan permintaan akan vaksin Covid-19, dilaporkan di Papua Nugini. Tetapi dengan hanya 187.138 orang yang sudah menerima vaksinasi dari populasi sekitar 9 juta orang – 10% dari target pemerintah untuk tahun 2021 – bansga itu jauh tertinggal dari negara-negara tetangganya.
Dan sementara negara-negara Pasifik lainnya, seperti Fiji, sekarang sudah mulai fokus pada pemulihan ekonomi dan bersiap-siap untuk membuka negaranya bagi pengunjung internasional, PNG masih berjuang keras untuk mengatasi krisis kemanusiaan itu.
Penerapan karantina wilayah di antara provinsi mulai mendorong harga pangan menjadi lebih tinggi karena terganggunya rantai pasokan makanan. Semakin lama waktu yang terbuang bagi negara untuk melakukan vaksinasi, semakin lama pula negara tersebut harus menunggu sebelum bisa berpartisipasi penuh dalam perdagangan internasional dan investasi.
PNG dari awal sudah lebih rentan terhadap goncangan kesehatan dan ekonomi terkait Covid-19 karena minimnya jangkauan sistem kesehatan dan tata kelola di negara itu yang lebih mengandalkan kemandirian masyarakat dan bukan layanan nasional yang terkoordinasi. Sebenarnya kerentanan seperti ini tidak hanya dilaporkan di PNG, tetapi cakupan vaksinasi yang buruk dan antipati yang ditunjukkan terhadap upaya vaksinasi di beberapa komunitas menunjukan adanya tingkat keraguan akan vaksinasi yang mendalam di seluruh negeri. Ada juga berbagai upaya untuk memobilisasi masyarakat melawan lembaga-lembaga pemerintah yang membatasi layanan mereka hanya untuk masyarakat yang memiliki sertifikat vaksinasi.
Situasi dimana ada non-vaksinasi yang meluas itu menciptakan kondisi yang memungkinkan penyebaran Covid-19 dengan lebih cepat. Hal ini lalu dapat meningkatkan kemungkinan munculnya varian baru dan bisa saja memicu lonjakan kasus lagi kedepannya, yang berarti bisa jadi PNG akan memerlukan tanggapan kemanusiaan lebih lanjut dan menunda pemulihan ekonomi yang sangat diperlukan penting. Musim bencana hujan badai yang akan datang juga dapat menambah tekanan ini.
Prevalensi Covid-19 di komunitas-komunitas di luar pusat-pusat kota di daerah itu sangat sulit untuk diukur, tetapi dampaknya di seluruh negeri akan terlihat nantinya dengan mengamati penurunan indikator ekonomi dan sosial.
Lalu mengapa keragu-raguan terhadap vaksinasi Covid-19 masih begitu tinggi di PNG dibandingkan dengan negara-negara tetangganya?
Rasa lengah diri terlalu dini dan peredaran informasi yang salah telah disebut sebagai penyebab penyerapan vaksinasi yang lambat. Tanpa vaksinasi wajib, pemerintah PNG harus meyakinkan warganya untuk menerima vaksinasi. Tetapi rendahnya tingkat kepercayaan publik terhadap politisi dan lembaga-lembaga publik mengurangi dampak dari kampanye vaksinasi resmi.
Dan karena hanya setengah dari anggota-anggota parlemen yang sudah menerima vaksinasi, kampanye sosialisasi vaksin akan terus gagal dengan publik yang masih skeptis.
Namun akhir ada peningkatan dalam permintaan vaksin Covid-19 sementara varian Delta menyerang negara itu. Sama seperti di Australia, mungkin wabah itu telah menyadarkan lebih banyak orang di PNG akan kelengahan mereka. Tetapi bagian dari populasi PNG yang masih juga aktif dalam menolak vaksinasi akan berusaha untuk mengecilkan momentum ini dan kita mungkin akan melihat adanya penurunan lagi dalam permintaan vaksin, yang akan menghalangi upaya pemerintah untuk mencapai target vaksinasinya. Konteks yang lebih luas adalah cakupan imunisasi di negara ini yang tak kunjung meningkat.
Sementara pandangan para politisi pelan-pelan mulai menuju ke pengakuan akan ancaman yang ditimbulkan oleh varian Delta, persepsi publik tentang keamanan vaksin sudah telanjur terjadi. Pemimpin-pemimpin di Australia juga dihadapkan dengan hal yang sama dimana kepercayaan masyarakat terhadap AstraZeneca telah hancur. Meredakan kekhawatiran publik itu jauh lebih sulit untuk dilakukan daripada memicu ketakutan.
Penyebaran informasi yang tidak benar seputar Covid-19 dan keamanan vaksin adalah tantangan yang dihadapi oleh pemimpin-pemimpin dan otoritas-otoritas kesehatan secara global. Di PNG, bahaya dan narasi yang dilebih-lebihkan yang dimaksudkan untuk mencegah penggunaan vaksin telah menjadi lebih populer di antara masyarakat yang sudah tidak mempercayai pemimpinnya dan lebih waspada akan intervensi dari luar.
Bagaimana bisa keterbatasan akan akses ke infrastruktur komunikasi telah menghambat jangkauan pesan-pesan kesehatan masyarakat, sementara informasi yang salah pada platform yang sama yang digunakan oleh kampanye resmi pemerintah bisa cepat menarik perhatian masyarakat dan menyebar jauh lebih cepat? Apakah karena medianya, atau pesannya? Jawabannya mungkin terletak di antara kedua aspek ini: pesan yang tepat belum bisa benar-benar menjangkau masyarakat, dan ketika tersampaikan, ini tidak efektif. Bahkan kampanye vaksin yang dipimpin oleh tokoh-tokoh lokal dan terkenal juga tidak bisa membangkitkan ketertarikan akibat maraknya teori-teori konspirasi.
Pesan-pesan terkait kampanye vaksin itu harus tegas dan berdampak, dan harus bisa disesuaikan dengan masyarakat agar dapat mengatasi kekhawatiran mereka seputar keamanan vaksin. Kampanye sosialisasi yang efektif juga bisa disertai dengan insentif yang nyata, bisa berupa bahan makanan, voucher, atau bahkan pulsa.
Petugas-petugas kesehatan yang sedang turun ke masyarakat untuk sosialisasi atau memberikan vaksin bisa didampingi oleh tenaga keamanan jika pergi ketempat-tempat berisiko tinggi.
Naiknya permintaan masyarakat akan vaksin di PNG itu sangat penting untuk meningkatkan prospek ekonomi negara dan mengurangi kerugian sosial dan ekonomi yang ditimbulkan oleh Covid-19. (The Interpreter)
Mihai Sora adalah seorang peneliti di program Pacific Islands Program.
Editor: Kristianto Galuwo