Amuk massa yang terjadi di Wamena, ibukota Kabupaten Jayawijaya, Papua, pada 23 September 2019 menyentak rasa kemanusiaan publik. Semua pihak terpukul dan berduka, melihat bagaimana sebuah unjukrasa anti rasisme para pelajar bisa meledak menjadi amuk massa yang menewaskan sedikitnya 42 korban jiwa dan menghancurkan separuh kota terbesar di kawasan pegunungan tengah Papua itu.
Semua ingin bergegas menenun lagi relasi sosial yang terkoyak, secepatnya menutup luka. Namun, pemerintah punya banyak pekerjaan rumah jika ingin merajut perdamaian yang kokoh. Tulisan ini adalah bagian kedua dari enam tulisan serial “Menggadai damai di Wamena”.
Pagi kabur di Homhom
Pada saat yang bersamaan, ratusan orang berbaju siswa SMA juga terkumpul dalam amarah yang sama di Homhom, lokasi yang berjarak 3,2 kilometer arah utara dari Kantor Bupati Jayawijaya. Gembala dari Persekutuan Gereja Baptis Papua (PGBP) Gereja Baptis Wesaroma di Pikhe, Pendeta Simet Yikwa menyebut massa di Homhom itu berusaha mendatangi Kantor Bupati Jayawijaya, untuk bergabung dengan unjukrasa memprotes dugaan ujaran rasis guru SMA PGRI Wamena.
Akan tetapi, massa itu gagal melewati blokade polisi di Markas Kepolisian Sektor Wamena di Jalan Homhom. Mereka dipaksa mundur ke arah pertigaan Jalan Pikhe. Massa yang terpukul mundur itu justru semakin beringas. “Mereka melemparkan batu ke segala arah. Jumlah mereka sangat banyak, seperti ribuan. Mereka buang batu tanpa peduli siapapun. Tapi, saat itu belum ada pembakaran,” kata Pendeta Simet Yikwa.
Jenazah Kelion Tabuni diarak dari sekitar Supermarket Yudha hingga Kampung Pisugi. Sepanjang perjalanan, massa membakar rumah, toko dan kios di kawasan Pikhe
Aparat keamanan yang datang berulang kali membuang tembakan peringatan, namun massa justru semakin nekat gara-gara mendengar kabar tujuh anak sekolah ditangkap polisi saat mendatangi SMA Yapis Wamena. Dalam kekacauan, orang berlarian tak tentu arah, melimpas dari Jalan Homhom.
Ketua Dewan Adat Papua atau DAP versi Kongres Luar Biasa, Dominikus Surabut bertutur ia bertemu beberapa pengunjukrasa yang berlarian dari arah Jalan Homhom ke simpang Jalan SD Percobaan – Jalan Sangiri.
“Saya sempat menegur salah satu anak SMA di dekat saya, ‘anak, tunggu dulu!’ Tapi, ada siswa lain yang malah berteriak kepada saya, ‘ko ini provokator’, sambil memukulkan balok kayu ke arah tubuh saya. Saya menangkis, balok itu pecah. Belum lagi selesai, ada satu nona memukulkan batu besar ke helm saya. Motor saya juga ditendang,” ujar Dominikus Surabut.
Ia yakin sejumlah orang yang sempat menganiayanya itu adalah siswa sekolah. Namun, ia juga melihat banyak “siswa” yang punya perawakan terlalu dewasa di sana. Dominikus Surabut tahu, massa itu tak mengenalnya, dan ia tidak akan bisa menenangkan mereka. Ia akhirnya menjauh.
Dominikus membenarkan adanya informasi yang menyebutkan sejumlah orang membeli pakaian seragam SMA dalam jumlah besar di beberapa toko di pakaian di Wamena. Informasi ini memang beredar setelah tanggal 23 September. Namun informasi ini tak bisa dikonfirmasi. Dua toko yang menjadi distributor pakaian dan seragam sekolah di Kota Wamena mengaku tidak ada lonjakan penjualan seragam SMA selama beberapa hari hingga tanggal 23 September.
Seorang warga Obeth Alua, bersaksi massa di pertigaan Jalan Homhom – Jalan Pikhe menolak didekati. Obeth Alua dan teman-temannya pun menonton amuk massa dari kejauhan. Apalagi ia tak mengenal orang-orang yang tengah mengamuk di depan Supermarket Yudha Jalan Homhom itu.
“Mereka bilang mau demo anti rasis. Saya tidak kenal siapa mereka, jadi saya menonton dari jauh saja. Tiba-tiba saya melihat dua orang jatuh tertembak. Satu laki-laki, sedangkan satunya perempuan,” ungkap Obeth Alua. Obeth ingat, kedua orang yang tertembak itu tidak memakai seragam SMA.
Pendeta Simet Yikwa membenarkan ada seorang lelaki tertembak di tengah kekacuan situasi di Homhom itu. Belakangan itu mengetahui bahwa lelaki yang tertembak itu adalah Kelion Tabuni (20), seorang mahasiswa Fakultas Arsitektur Universitas Negeri Manado, Sulawesi Utara.
Akan tetapi, Pendeta Simet Yikwa menyatakan tidak mengetahui keberadaan perempuan yang disebut Obeth Alua tertembak dan dilarikan ke arah Wesaput. Jubi juga tidak mendapat konfimasi kabar perempuan tertembak itu dari sejumlah narasumber lainnya.
Akan tetapi, Pendeta Simet Yikwa dan Obeth Alua punya kesaksian yang sama soal bagaimana amuk massa semakin menjadi setelah mereka melihat Kelion Tabuni tewas. Sejumlah warga yang tadinya menonton marah dan bergabung dengan amuk massa di Homhom itu, menyerang toko para di kawasan Homhom dan Jalan Pikhe.
“Saya melihat beberapa orang memanggul jenazah Kelion Tabuni, membawanya ke arah Pikhe. Sementara massa mulai menyerang toko dan kios di sana. Mereka mengambil bensin eceran di depan toko-toko itu, melemparkan bensin ke arah toko di Jalan Homhom, dan membakarnya,” kata Pendeta Simet Yikwa.
Massa membakar Dina Teknik, sebuah bengkel mobil di Jalan Homhom. Mereka lantas membakar gudang Yudha Supermarket. Di tengah amukan massa itu, sejumlah pengunjukrasa maupun warga tertembak.
Melihat gelagat amuk massa semakin menjadi-jadi, Pendeta Simet Yikwa mengerahkan para pengurus Gereja Baptis Wesaroma untuk mengevakuasi warga pedatang. Kebanyakan dari mereka adalah para pemilik toko, bengkel, atau kios di Jalan Homhom dan Jalan Pikhe.
“Beberapa kami jemput dari pintu belakang rumah mereka. Toko atau rumah yang tidak punya pintu belakang kami bobol, penghuninya kami pindahkan ke Gereja Baptis Wesaroma. Kami berhasil mengumpulkan sekitar 350 warga pendatang. Hal yang sama dilakukan Pendeta Yason Jikwa di Gereja Baptis Panorama di Pikhe, dia mengevakuasi sekitar 270 warga pendatang ke gerejanya,” ujar Pendeta Simet Yikwa.
Di Jalan Pikhe, bara api terus bergerak ke utara, menjauhi kota, menghacurkan deretan toko, kios, bengkel di kiri-kanan jalan. Para pelaku pembakaran terus bergerak, seolah mengiringi sekelompok orang yang tengah memanggul jenazah Kelion Tabuni menyeberangi Jembatan Pikhe, menuju Pisugi. Asap hitam meninggi, terlihat hingga di pusat kota Wamena.
Kepala Bagian Teknik UP3 Wamena Junaedi, juga memperkirakan amuk massa di Homhom terjadi lebih awal, sebelum amuk massa meluluhkan separuh kota Wamena. Ia menyebut trafo penurun tegangan di Homhom telah meledak sebelum Kantor Bupati Jayawijaya terbakar. “Trafo itu meledak sekitar pukul 09.30 WP. Setelah itu, barulah trafo jaringan listrik ke arah Kantor Bupati Jayawijaya meledak,” ujar Junaedi di Wamena pada 4 Oktober 2019.
Sementara amuk massa terjadi dan membakar Homhom, para siswa SMA PGRI dan sejumlah sekolah lainnya justru berada di Kantor Bupati Jayawijaya. Mereka masih bertahan dan menuntut tujuh teman mereka yang ditangkap di SMA Yapis Wamena dibebaskan. Lalu, dari mana dan bagaimana massa bisa terkumpul di Homhom?
Tim Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga masih mencari jawaban asal-usul massa di Homhom itu. Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik menyebut asal-usul massa di Homhom itu masih menjadi tanda tanya, dan ia meminta polisi menelusuri bagaimana mobilisasi terjadi di sana. “Kami sudah minta aparat keamanan mencari tahu dan menelusuri dugaan mobilisasi massa,” ujar Ketua Komisioner Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik di Jayapura, 17 Oktober 2019.
Jurnalis Jubi Victor Mambor dan Islami Adisubrata turut berkontribusi dalam penulisan berita ini.
Artikel ini telah direvisi pada tanggal 28 September 2019 pukul 20.45 WP
Baca Artikel 1 dari 6
Baca Artikel 3 dari 6
Baca Artikel 4 dari 6
Baca artikel 5 dari 6
Baca artikel 6 dari 6