Papua No.1 News Portal | Jubi

Oleh: Siorus Degei

Filsafat adalah sebuah ilmu yang kritis. Dengan mempelajari filsafat seseorang menjadi kritis atas apapun dalam hidupnya. Mulai dari hakikat hidup manusia, dirinya, sesama, alam ciptaan, dan Tuhan, semuanya dipertanyakan dan dicari kebenaran sahih. Ciri kritislah yang membuat filsafat cukup was-was dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan, apalagi di negara yang diktator, otoriter, konservatif, dan tertutup kebebasan persnya. Misalnya saja di Prancis, oleh pemerintah pengajaran filsafat dibatasi, karena membina anak-anak muda menjadi orang yang kritis dan mungkin berhaluan kiri (K. Bertens: 1985: 250).

Lantas bagaimana kedudukan filsafat dalam kehidupan intelektualitas di Indonesia, terutama dalam kehidupan intelektualitas pendidikan di Tanah Papua? Tulisan ini adalah upaya penulis untuk menjawab pertanyaan ini.

Filsafat sebagai ilmu kritis

Apa itu filsafat dan bagaimana orang berfilsafat? Pertanyaan-pertanyaan sederhana seperti ini sering muncul ketika orang berhadapan dengan filsafat. Menurut asal katanya filsafat berasal dari bahasa Yunani, yakni philo dan Sophia, yang berarti cinta akan hikmah atau cinta akan pengetahuan. Seorang filsuf adalah seorang pecinta atau pencari pengetahuan dan hikmah, (Hamersma,:1981, hlm.10).

Dalam filsafat segala sesuatu dipertanyakan, sekalipun sesuatu itu kayaknya sudah jelas. Sikap ingin tahu yang besar inilah yang membuat seseorang yang mempelajari filsafat selalu berpikir kritis, analitis, dan objektif,. Ibarat seorang anak kecil yang polos, seorang filsuf mempertanyakan dan mempertentangkan segalah sesuatu.

Jadi, filsafat adalah ilmu sepanjang hayat, pencarian tanpa akhir, karena pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti asal dan tujuan hidup manusia, kehidupan dan kematian, alam semesta, dan Tuhan selalu terbuka dan relevan.

Kedudukan filsafat di Papua

Cukup pesimistis bila kita hendak menggambarkan situasi intelektualitas atau pendidikan di tanah Papua, sebab situasi pendidikan di Tanah Papua sangat memprihatinkan, apalagi jika hendak memiliki kedudukan filsafat sebagai sebuah disiplin ilmu dalam kurikulum pendidikan di sana. Maka rasanya upaya itu cukup ironis sekaligus berani, karena mayoritas penduduk Papua buta aksara, apalagi disiplin ilmu sekelas filsafat sangat mushkil sekali. Namun ada juga kaum intelektual Papua yang fasih berfilsafat. Untuk menjelaskan ini ada tiga topik penting:

Pertama, filsafat sangat kabur bagi mayoritas masyarakat Papua. Jangankan di Papua, mayoritas penduduk Indonesia juga belum banyak yang fasih berfilsafat, baik secara teoretis, maupun praktis, atau pun kedua-keduanya.

Memang belum ada data yang cukup valid atau hasil riset yang menunjukkan barometernya. Namun bila digeneralisir secara umum, dapat disimpulkan, bahwa filsafat hanya dikenal oleh kaum intelektual dan berkembang dalam iklim kampus atau universitas-universitas terkemuka.

Namun lebih dari itu senada dengan Antonio Gramsci (1891-1937), filsuf Marxis asal Italia mengatakan, sebenarnya semua orang merupakan filsuf, tetapi hanya sedikit orang saja berfilsafat dalam hidupnya (Edward W. Said: 2018, hlm. xxvii);

Kedua, kaum intelektual, yakni mahasiswa, dosen, cendekiawan, para aktivis, tokoh agama dan lain-lain adalah komunitas yang cukup familiar dalam aktivitas berdialog, berdiskusi, dan berdialektika dengan filsafat. Kaum intelektual ini selalu berlaku oposisi dengan getol mengkritik penguasa, tapi juga berlaku akomodatif dan kooperatif dengan mendukung rezim penguasa.

Dalam konteks Papua, misalnya, Pater Neles Tebay (alm.) yang menuangkan ide filosofisnya yang brilian dalam bukunya yang berjudul “Dialog Jakarta-Papua: Sebuah Perspektif Papua” yang diterbitkan pada 2009 (Sambut: 2012, hlm. X). Ada juga beberapa intelektual pribumi Papua lainnya (orang asli Papua), sebut saja, Pdt. Benny Giyai, Pdt. Socratez Sofyan Yoman, Markus Haluk, Sendius Wonda, Victor Yeimo, Benny Wenda, Okto Mote, dan lain-lain.

Intelekual kawakan pribumi ini selalu dengan konsen menjaga keteraturan dan keruntutan pemikiran yang berkembang di Tanah Papua akibat terintegrasi ke dalam negara Indonesia. Sebab buah dari sejarah Integrasi Papua yang penuh manipulatif karenanya. Dalam hal ini sejarah aneksasi Papua tahun 1962 dan Pepera 1969, yang telah menelurkan konflik, ketidakadilan, marjinalisasi, diskriminasi, bahkan dicurigai ada kejahatan sekaliber genosida.

Mereka sekalipun banyak menuai ocehan, cemoohan, bahkan diteror hingga mau dibunuh tidak pernah sekali-kali mundur dari perjuangan mereka, konsistensi yang total dan loyal adalah modal hakiki passion mereka. Bagi mereka, posisi mereka adalah berpihak pada kebenaran, keadilan, dan kedamaian, sehingga pergolakan dari luar dianggap sebagai konsekuensi logis atas sikap yang mereka ambil.

Itulah peran intelektual yang sesungguhnya sebagaimana yang telah dengan gambalang digambarkan oleh filsuf dan aktivis Amerika-Aljazair, Edwar W. Said (Said, hlm. Xii), bahwa seorang intelektual adalah dia yang dengan berani mengatakan kebenaran kepada penguasa sekalipun, mungkin tidak sesuai dengan pikiran penguasa atau malah bertentangan;

Ketiga, filsafat tumbuh subur di Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Fajar Timur Jayapura. Meskipun di Papua lembaga pendidikan yang berbasis filsafat sangat langka, rupanya STFT menjadi satu-satunya lembaga pendidikan yang menjadikan filsafat sebagai disiplin ilmu yang prioritas di Papua.

Sebagai lembaga pendidikan calon imam di Tanah Papua, para mahasiswa diwajibkan untuk mendalami teologi dan filsafat sebagai bekal ilmu untuk melayani umat, dan memastikan hidup umat bertumbuh dan berkembang baik dalam terang iman dan akal budi.

Hal ini sesuai dengan tuntutan seorang Bapa Gereja yang besar, yaitu St. Thomas Aquinas (1225-1274), bahwa setiap calon imam wajib mendalami filsafat selama empat tahun. Bahwa segala bentuk pergumulan dan persoalan umat yang pelik, sulit dan rumit sekalipun, mesti dijawab dengan final.

Hal ini telah terbukti di mana banyak jebolan STFT yang berandil besar dalam peradaban Gereja dan orang asli Papua. Mereka fokus pada bidang pendidikan, kesehatan, keterampilan dan lain-lain. Ada juga yang menjadi imam yang getol melawan ketidakadilan dan penindasan di Papua. Semisal Pater John Jongga yang dengan konsisten melawan penindasan dan diskriminasi di Tanah Papua (Sambut: hlm. 77).

Hingga saat ini, STFT Fajar Timur tetap menjadi garda terdepan dalam kehidupan intelektualitas yang berkualitas kritis, analitis, dan objektif di Tanah Papua, sesuai namanya  Fajar Timur. Kiprah intelektualitas STFT selama ini membuktikan bahwa orang asli Papua tidak tertinggal dalam intelektualitas mereka, hanya sengaja ditinggalkan secara intelektualitas oleh pihak tertentu demi kepentingan tertentu pula.

Filsafat masuk kurikulum di Papua

Bisa disangka bahwa salah satu faktor kelambanan kemajuan negara ini adalah lemahnya daya kritis dan analitis, terutama di kalangan generasi milenialnya. Apalagi di bagian timur negeri ini, seperti di Papua. Semua upaya, mulai dari perubahan kurikulum belajar era Menteri Anies Baswedan (bahkan jauh sebelumnya) hingga perubahan sistem pendidikan yang didigitalisasi secara masif, kompleks dan komprehensif era Menteri Nadiem Makarim, sang bos Go-Jek itu.

Kelihatannya tidak menghasilkan perubahan positif yang signifikan dan berarti bagi seluruh bangsa Indonesia, terutama dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana amanat UUD 1945. Di Pulau Jawa dan sekitarnya perubahan-perubahan itu pasti nampak jelas dan mencapai target.

Namun bila ke arah timur kian redup, apalagi setiba di Papua, pasti nihil. Malah menyulitkan peserta didik dan pendidik karena semuanya berbasis digital, sementara siswa di sana (Papua) mayoritas buta aksara apalagi sarana digital (komputer, HP, laptop, dan lain-lain).

Parahnya lagi belum ada jaringan internet yang memadai di sana. Sekalipun ada, malah sering eror karena faktor geografis yang terisolir. Inilah salah satu kelemahan pemerintah pusat karena kebijakan dijalankan tanpa penelitian atau riset kontekstual berdasarkan pendekatan sosiologis, antropologis, dan geografis dengan melibatkan pakar-pakarnya terlebih dahulu. Paling kurang, kebijakan dijalankan sesuai dengan konteks daerah tertentu dengan menjunjung kearifan-kearifan lokalnya semisal di Papua.

Bila tidak, maka kabinet sebagus apapun dan program sepamungkas apapun tidak akan mengenai target atau meleset, karena melenceng dari kodrat target tersebut.

Maka di sini amat penting sekali pendekatan kontekstual dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, juga barangkali program pemerintah pusat lainnya. Jangan melulu sampel primer pembangunan kehidupan berbangsa dan bernegara diambil hanya dari satu teritori kecil seperti di Pulau Jawa saja dengan logika remeh-temeh (atau bahkan dicontek dari Eropa), padahal NKRI bukan hanya di Pulau Jawa saja.

Dari semua ide yang sudah diberikan kepada pemerintah provinsi dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, dua hal yang ingin penulis sampaikan.

Pertama, filsafat semestinya dipertimbangkan untuk bisa masuk dalam kurikulum Sekolah Menengah Atas (SMA). Di sana pengantar ke dalam dunia filsafat diperkenalkan, paling kurang, sebagai praksis hidup di mana metode berpikir yang logis, menulis yang objektif, berkata yang santun dan bertindak yang etis dikemas dalam kepribadian peserta didik melalui silabus transfer ilmu.

Dengan demikian, daya kritis dan analitis peserta didik sebagai modal pembaharu bangsa dan negara diperuncing sedini mungkin. Di tahap inilah sumber daya manusia yang diharapakan itu disemai, supaya dituai pada masa depan;

Kedua, adanya fakultas filsafat di universitas-universitas Papua, seperti di Universitas Cenderawasih Papua (Uncen) dan Universitas Negeri Papua (Unipa) bisa menjadi bahan pertimbangan selanjutnya. Ini diprioritaskan bagi orang asli Papua (OAP) agar mereka semakin kritis atas jati diri mereka, pergaulannya, alam dan tanah leluhurnya, dan masa depan tanah dan suku bangsanya.

Hal ini bukan sebagai tameng diskriminatif bagi kaum muda non-Papua, tetapi sebagai sebuah upaya penyediaan ruang edukatif yang berpihak pada kaum muda pribumi Papua.

Dengan konsistensi Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, kiranya filsafat sebagai ilmu yang kritis itu dapat dimasukkan dalam kurikulum pendidikan minimal pada jenjang SMA dan perguruan tinggi.

Dengan bertindak demikian pemerintah telah mempersiapkan intelektual-intelektual muda yang kritis dan analitis sebagai agen perubahan bangsa dan negara Indonesia dari timur, ibarat fajar timur yang menyingsing untuk menyinari dunia di kemudian hari. Sayangnya hanya STFT Fajar Timur yang mampu melakukan ini dalam segala keterbatasannya. Pemerintah harus berguru dari pengalaman STFT. (*)

Penulis adalah mahasiswa STFT Fajar Timur, Abepura, Papua. Tulisan Ini dibuat dalam rangka memperingati HUT-54 STFT Fajar Timur pada 10 Oktober 2021

Editor: Timoteus Marten

Daftar Pustaka
Bertens, K. 1985. Filsafat Barat Abad XX: Jakarta: Gramedia
Hamersma Harry. 1980. Pintu Masuk ke Dunia Filsafat. Yogyakarta: Kanisius
Said W. Edward. 2018. Peran Intelektual. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Sambut, Pieter. 2021. Melawan Penindasan dan Diskriminasi di Papua. Jakarta: Yayasan Teratai Papua

Leave a Reply