Papua No. 1 News Portal | Jubi
RUANG Terbuka Hijau (RTH) Pantai Nabire saban hari ramai dipadati pengunjung. Mereka sekedar singgah untuk menghilangkan penat sembari melihat pemandangan di laut atau menyaksikan pesawat yang akan mendarat atau naik. Ya, jalur ini memang dilalui pesawat ke Bandara Nabire.
Di sana banyak pedagang. Mereka menamakan tergabung dalam perkumpulan Paguyuban Pengusaha Pantai Nabire. Ada penjual buah-buahan, berbagai minuman, es buah, es kelapa sampai es nona, dan bakso. Mereka ini berjualan dari pagi hingga malam.
Sementara, pada sore ada pedagangnya lain yang memadati RTH, mereka menjajakan berbagai mainan, motor, dan hiburan bagi anak-anak. Tiap sore, tentu para orangtua akan menemani anaknya untuk bermain di tempat tersebut.
Namun, bukan para penjual dan pengunjung yang ingin dikisahkan. Tetapi ada dua penjual lainnya. Kedunya khusus menjajakan kacang dan jagung rebus. Setiap sore, pasti mereka hadir dengan jualannya berkeliling areal dan menawarkan dagangannya.
Mereka adalah dua perempuan, Yuliana Keiya dan Maria Mote. Keiya, ibu empat anak, sudah berjualan sejak awal hadirnya areal hiburan tersebut. Banyak pedagang non-Papua mengakui jika Keiya luar biasa, rajin berjualan setiap hari. Keduanya merupakan dua perempuan orang Papua asli yang berjualan di areal tersebut dengan berkeliling.
Yuliana Keiya adalah seorang ibu rumah tangga. Dia berjualan untuk tambahan ekonomi keluarganya. Suaminya seorang tenaga honorer di Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Nabire, bidang persampahan.
Tugas suaminya adalah mengangkat sampah di Kota Nabire. Namun karena tenaga honorer, gajinya bukan tiap bulan didapat, melainkan tiga atau empat bula sekali ia terima.
Berbeda dengan Nona Maria Mote, dia belum menikah. Belum juga mendapatkan pekerjaan tetap walau sudah menamatkan sekolah tingkat SMA.
Dia mengisahkan, punya tiga anak dan yang tua sudah berkeluarga. Jualan kacang rebus dan jagung sebenarnya bukan pilihannya, tapi kenyataan yang harus dia hadapi. Dia, sebenarnya ingin berkebun atau bertani, namun tidak tercapai karena tidak memiliki lahan. Terpaksa satu-satunya peluang untuk tambahan kebutuhan adalah berjualan makanan ringan terebut.
“Saya ingin tambahan untuk kebutuhan keluarga, sebenarnya mau buat kebun tapi tidak punya tempat,” katanya kepada Jubi, Jumat sore, 22 Maret 2019.
Anak keduanya masih SMP, sedangkan anak ketiga berumur empat tahun. Keiya berjualan setiap hari dengan modal Rp 100 ribu. Jika pagi harus naik ojek dari KPR Nabarua ke Pasar Karang Tumaritis. Di sana dia akan berbelanja kacang dan jagung seharga Rp 100 ribu.
Kacang biasanya dibelinya seharga Rp 50 ribu, juga jagung dengan harga yang sama. Dua bahan ini akan direbusnya, lalu dijual di Pantai Nabire pada sore harinya.
Peluang ini didapatnya beberapa tahun silam. Saat itu belum ada penjual kacang rebus dan jagung rebus. Setiap berjualan keuntungannya paling banyak Rp 30 ribu. Hasil jualannya disisakan, pertama untuk modal besoknya, kemudian ongkos ojek, beli gula dan beras, dan jajan anak. Prinsipnya tidak perlu ada keuntungan yang banyak. Cukup tidak cukup harus dicukupi.
“Waktu itu saya jalan-jalan, lihat tidak ada jagung rebus dan kacang dan akhirnya saya coba sampai sekarang, padahal tidak ada untungnya,” katanya.
Sebab, jual hari ini akan habis hasilnya. Tapi dia sudah sisihkan modal untuk besok lagi.
“Jadi untung atau tidak yang penting jualan dan biar ada uang jajan untuk anak sekolah dan ongkos ojek,” katanya.
Harga seikat kacang rebus adalah Rp 5.000. Harga yang sama untuk sebuah jagung rebus.
“Kadang laku habis, tapi kadang juga tidak,” ujarnya.
Sedangkan Maria Mote mengaku setelah menamatkan SMA beberapa tahun lalu sebenarnya ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi. Namun apalah daya, orangtuanya tidak mampu membiayai pendidikannya.
Terpaksa, hanya tinggal di rumah dan untuk menghilangkan penatnya dia memilih berjualan kacang dan jagung rebus.
“Saya sudah tamat SMA beberapa tahun lalu, rencana mau kuliah, tapi orang tua tidak mampu, maka saya tinggal saja di rumah, jadi daripada bosan di rumah saya jualan tiap sore di sini,” ujarnya.
Mote mengaku hasil jualannya digunakan untuk membantu keluarga. Ia memberikan kepada ibunya untuk berbelanja kebutuhan dapur.
Modalnya Rp 100 ribu tiap harinya, sama dengan ibu Yuliana. Pagi berbelanja kacang dan jagung di Pasar Karang Tumaritis, lalu sorenya turun dan berjualan di Pantai Nabire.
“Untungnya tidak ada, paling banyak Rp 30 ribu, yang penting modal kembali biar besok belanja untuk jualan lagi,” katanya.
Seorang pengunjung, Andika, mengaku jika mampir di Pantai Nabire dia senang jajan. Menurut dia, jajan di areal ini hampir lengkap sebab apa saja ada.
“Jadi kalau bosan dengan minum es atau lainnya bisa juga diselingi dengan kacang rebus atau jagung,” ujarnya. (*)
Editor: Syofiardi