Papua No.1 News Portal | Jubi
Oleh Miranda Forsyth & Philip Gibbs
Isu kekerasan terkait sihir atau Sorcery Accusation Related Violence (SARV) adalah permasalahan yang serius di Papua Nugini (PNG) dan di banyak daerah lainnya di dunia. Sifat kerahasiaan serta elemen ketakutan yang terselubung menyebabkan korban kekerasan yang terkait dengan tuduhan seperti ini kadang sulit untuk dilapor dan diukur, tetapi proyek penelitian kami selama beberapa tahun berhasil mengumpulkan hingga 1.553 tuduhan di empat provinsi di PNG, dari Januari 2016 hingga Juni 2020. Dari jumlah tersebut, 298 kasus melibatkan kekerasan fisik lalu menyebabkan 65 kematian, 86 korban luka permanen, dan 141 luka berat. Sedangkan di tingkat global, peninjauan berbasis literasi daring atas laporan yang dapat diverifikasi menunjukkan ada setidaknya 22.000 korban SARV di 50 negara dalam periode sepuluh tahun.
Para korban ini mengalami berbagai penderitaan, mulai dari diskriminasi dan stigmatisasi, diusir dari keluarga dan komunitas, hingga kekerasan ekstrem, seperti pemukulan, pembakaran, mutilasi dan amputasi bagian tubuh, penyiksaan, bahkan pembunuhan.
Banyak insiden ini terjadi di hadapan umum, dilakukan oleh kelompok-kelompok besar, dan dilakukan dengan dukungan dari masyarakat. Oleh karena itu, sangat penting untuk memahami faktor apa yang mendorong dan menungkinkan, dan apa yang melemahkan, tindak kekerasan yang publik seperti itu.
Salah satu komponen dari penelitian kami ini melibatkan pertimbangan tentang peran narasi dan wacana dalam menyebabkan seseorang menuduh orang lain, serta dalam menyebabkan orang-orang untuk melakukan atau justru menjauh diri dari SARV. Kami menemukan ada sejumlah narasi yang sangat berbeda terkait dengan sihir di pelosok PNG, dan kami juga menemukan bahwa ada narasi khusus yang mirip si komunitas-komunitas tertentu. Di beberapa area, contohnya, narasi ini melibatkan seorang perempuan yang mengeluarkan jantung seseorang, di tempat lain ada roh dalam bentuk binatang yang dapat keluar dari tubuh seseorang, ementara di daerah lain lagi ada pembicaraan tentang seseorang yang menggunakan rambut dan sisa-sisa makanan untuk “meracuni” orang lain.
Seorang ilmuwan politik, Deborah Stone, tahun 1989 mengembangkan sebuah konsep tentang ‘causal stories’ untuk menjelaskan bagaimana berbagai pihak dengan kepentingan menggunakan narasi tertentu untuk memengaruhi interpretasi dan pencitraan suatu isu agar dapat mempengaruhi agenda kebijakan mereka. Causal stories juga merupakan cara yang berguna untuk memahami faktor pendorong kekerasan dalam konteks SARV. Narasi-Narasi yang digunakan lalu mengarahkan pemahaman tentang kejadian tertentu, baik di dunia nyata maupun supernatural, dan dengan demikian menentukan batas moral dan siapa yang bersalah atas peristiwa tersebut. Contohnya, jika causal stories yang dikaitkan dengan penyakit seseorang adalah bahwa mereka mengidap diabetes, tanggapan bermoral yang umum itu fokusnya pada perawatan kesehatan orang itu sendiri. Akan tetapi jika ada narasi bahwa penyakit tersebut disebabkan oleh istri kedua yang cemburu dan menggunakan ilmu sihir, tanggapan bermoral yang mungkin diterapkan adalah menyalahkan istri kedua tadi.
Oleh karena itu, causal stories juga dapat sangat memengaruhi tanggapan dan perilaku terhadap peristiwa tertentu: apakah orang itu dilarikan ke rumah sakit, berkonsultasi dengan dokter, mengubah pola makan, dan disuntikkan insulin? Atau,apakah sekelompok besar orang lalu menuduh istri kedua dan menyiksanya karena menggunakan sihir? Causal stories yang berbau sihir menghasilkan respons yang sesuai terhadap keadaan yang buruk, yaitu dengan cara-cara yang memberikan stigma pada individu tertentu dan dapat memicu dan membenarkan tindakan-tindakan yang dianggap layak, termasuk kekerasan, terhadap individu itu.
Causal stories tentang musibah tertentu sering dibahas, baik di dalam individu maupun di dalam kelompok, karena ada cara berpikir dan agenda serta kepentingan yang berbeda. Dalam kasus penggunaan ilmu sihir, ini umumnya sangat relevan. Ilmu sihir dan hal-hal gaib lainnya adalah topik yang penuh dengan ambivalensi, keraguan, dan ketakpastian. Dalam tulisan kami baru-baru ini, kami berpendapat bahwa memahami dinamika akan siapa saja dan kepentingan apa saja yang bersaing dalam menciptakan causal stories tentang SARV memberikan informasi yang sangat penting tentang apa yang sebenarnya mendorong tindak kekerasan seperti itu.
Konteks yang penting dalam memahami dinamika yang komplex ini adalah pandangan dunia pluralis yang umum di seluruh PNG (dan sebenarnya di sebagian besar dunia). Dengan ini, yang kami maksud adalah bahwa meskipun banyak orang pada prinsipnya memahami dunia melalui kerangka yang didasarkan pada prinsip-prinsip ilmiah, atau prinsip-prinsip agama, atau prinsip-prinsip magi (dimana kekuatan supernatural bisa memberikan kekuatan langsung ke dunia nyata), hal yang juga umum dilakukan adalah jika lebih dari satu prinsip-prinsip ini dipercayai oleh seseorang. Dalam konteks tertentu, salah satu atau kombinasi dari prinsip-prinsip atau pandangan dunia ini yang akan dinyalakan dan akan mendiktekan pemikiran dan perilaku tentang masalah yang sedang dihadapi.
Dalam konteks pandangan dunia yang pluralis, ada beberapa faktor yang berpadu untuk meningkatkan atau mengurangi kemungkinan seseorang atau sebuah komunitas akan menerima causal stories berbau magi. Ini termasuk faktor-faktor yang terdapat intrinsik dalam setiap individu (seperti pengalaman masa kanak-kanak yang melibatkan hal-hal supernatural, atau sebaliknya, interaksi pribadi dengan mereka yang dituduh dengan salah melakukan sihir), serta faktor-faktor eksternal di tingkat kelompok, seperti moral kepemimpinan dan penularan emosional. Tingkat pendidikan hanyalah salah satu faktor di antara banyak faktor lainnya yang mempengaruhi seberapa causal stories magi bisa mendominasi narasi atas suatu kejadian pada waktu tertentu.
Dalam hal implikasi kebijakan, temuan kami melawan asumsi yang selama ini dipegang oleh akademisi, praktisi, dan orang awam, bahwa jika orang-orang menerima pendidikan dan dihadapkan pada penjelasan yang ilmiah, mereka tidak lagi tertarik pada causal stories berdasarkan magi. Kami berpendapat bahwa, dalam pekerjaan untuk melakukan intervensi, akan lebih bermakna bila upaya-upaya ini dilakukan dalam ruang yang diciptakan oleh keraguan dan ketakpastian, dan untuk mengembangkan berbagai inisiatif yang menargetkan semua faktor yang menjauhkan orang-orang dari narasi magi dan supernatural tentang suatu musibah. Misalnya, daripada hanya mengandalkan penjelasan biomedis jika ada penyakit atau kematian, inisiatif-inisiatif yang diterapkan harus menggabungkan penjelasan ilmiah seperti ini dengan mengacu pada prinsip-prinsip agama atau budaya, atau faktor-faktor lain yang dominan dalam komunitas tertentu, jika memungkinkan dengan menggunakan perantara dari komunitas tersebut. (The Devpolicy Blog/ ANU)
Tulisan ini merupakan bagian pertama dari dua bagian. Miranda Forsyth adalah lektor kepala di School of Regulation and Global Governance di ANU. Philip Gibbs adalah seorang pastor Katolik dari Society of the Divine Word (SVD) dan seorang profesor di Divine Word University, Papua Nugini.
Editor: Kristianto Galuwo