Papua No. 1 News Portal | Jubi,

Wamena, Jubi – Enjelita Meho, 13 tahun, harus menerima kenyataan pahit dihukum oleh kepala sekolahnya di hadapan rekan-rekannya. Siswi kelas VIII  SMP YPPK St. Thomas Wamena, yang biasa dipanggil Lita itu tak menyangka bakal menerima hukuman berat usai menulis kegiatan upacara bendera di sekolahnya.

Tak hanya dihukum, orang tuanya diberikan surat panggilan dari sekolah dengan dalil kesalahan dalam penyebutan nama lembaga dan tidak ada surat izin publikasi.

“Awalnya Senin, 23 Oktober 2017  Enjelita Meho meliput kegiatan upacara bendera di sekolah,” kata Frater Basilius Gergorius Suri Kelora, wali murid yang mewakili Pater Jhon Jongga orang tua Enjelita Meho, dalam komentar yang ditulis oleh, Naomi Kwambre, seorang  jurnalis warga Noken Wamena, yang dikirim ke Jubi.

Usaha Enjelita menulis bukan tanpa alasan, ia yang juga anggota komunitas Jurnalis Warga (JW) Noken Jayawijaya ingin berlajar menulis momentum upacara di sekolahnya. Enjelita yang sedang belajar menulis juga berusaha profesional  wawancara guru bernama Emang Sing yang saat itu sebagai pembina upacara.

Karya jurnalistik Enjelita itu dikirim untuk RRI Wamena, kemudian laporan karya jurnalistiknya disiarkan di RRI Wamena edisi 25 Oktober 2017, di jalur Lintas Berita Pegunungan Tengah.

Ternyata berita yang ditayangkan RRI itu menjadi masalah karena kepala sekolah tak terima dan meminta dia menghadap. Tak hanya menegur, Lita dihukum  dengan cara jongkok di hadapan semua siswa  saat apel pagi.

“Lita dihukum di hadapan rekan-rekannya disekolah oleh kepala sekolah,” kata Frater, menjelaskan.

Hukuman Lita dilakukan pada hari Rabu saat apel pagi disaksikan ibu guru dan kepala sekolah serta kawanya. Dalam apel yang diikuti semua kelas itu Lita menghadapi sidang dengan pertanyaan menghakimi. Misalnya saat apel kepala sekolah menanyakan siapa dari Jurnalis Noken, Lita pun angkat tangan, lalu disuruh maju di hadapan peserta apel.

“Oh kamu yang jurnalis Noken yang siarkan berita di RRI?” tanya kepala sekolah seperti ditirukan Frater Basilius.

Setelah maju, Lita dihukum dengan cara berlutut dihadapan teman-teman yang apel. Kepala sekolahnya juga mengatakan jangan publikasi berita sembarangan tanpa ada surat izin kepala sekolah. Bahkan saat berlutut Lita, kepala sekolah bilang jika sudah mau kerja di RRI jangan sekolah.

Lita pun tak hanya menghadapi beratnya hukuman fisik, tapi merasa tertekan secara psikologis karena juga diejek para teman sekolah.

Koordinator Komunitas Jurnalis Warga Noken Wamena, Ronny Hisage yang mengedit dan mengakomodir tulisan Enjelita Meho untuk disiarkan di RRI Wamena, mengatakan tidak ada kesalahan dalam menuliskan nama lembaga SMP YPPK St. Thomas Wamena.

“Ada naskahnya di RRI dan ada rekaman juga bahwa tidak ada kesalahan sebagaimana disebutkan dalam surat panggilan,” kata Ronny.

Ia memperkirakan kepala sekolah tidak mendengarkan berita  RRI tapi dengar dari orang lain.

Tidak ada yang salah dalam menyebutkan nama sekolah itu. “Kami ada bukti untuk itu, rekaman dan naskanya ada” Ujar Ronny Hisage

Ronny mengakui sesungguhnya kesalahan Lita telah menyebutkan nama kepala sekolah, karena sebagai pembina upacara guru lain atas nama Eman Sing. “Tapi dalam berita Lita menyebut Eman Sing sebagai kepala sekolah,” katanya.

Menurut dia, substansi berita Lita sama sekali tidak menjatuhkan sekolah, Enjelita mewawancarai Eman Sing selaku Pembina upacara, mengkomfirasi amanatnya tentang disiplin dalam upacara dan bagaimana murid harus belajar disiplin.(*)

Leave a Reply