Amuk massa yang terjadi di Wamena, ibukota Kabupaten Jayawijaya, Papua, pada 23 September 2019 menyentak rasa kemanusiaan publik. Semua pihak terpukul dan berduka, melihat bagaimana sebuah unjukrasa anti rasisme para pelajar bisa meledak menjadi amuk massa yang menewaskan sedikitnya 42 korban jiwa dan menghancurkan separuh kota terbesar di kawasan pegunungan tengah Papua itu.

Semua ingin bergegas menenun lagi relasi sosial yang terkoyak, secepatnya menutup luka. Namun, pemerintah punya banyak pekerjaan rumah jika ingin merajut perdamaian yang kokoh. Tulisan ini adalah bagian kelima dari enam tulisan serial “Menggadai damai di Wamena”.

Mereka yang berdiam dalam duka

Di tengah terik kawasan Pisugi, Pendeta Simet Yikwa melangkahkan kaki di atas tanah setengah becek menuju sebuah silimo, komplek rumah hunian tradisional warga pegunungan tengah Papua. “Ini rumah duka Kelion Tabuni. Jenazahnya dibakar di halaman silimo itu,” kata gembala dari Persekutuan Gereja Baptis Papua (PGBP) Gereja Baptis Wesaroma di Pikhe itu.

Silimo itu sepi, hanya ada beberapa lelaki di sana. “Kami baru kembali dari mengungsi. Sejak 24 September, kami sekeluarga meninggalkan Pikhe. Baru hari ini kami yang laki-laki mulai kembali ke rumah. Belum ada perempuan yang kembali ke rumah,” kata salah satu kerabat Kelion Tabuni pada 8 Oktober 2019 lalu.

Pendeta Simet Yikwa menyebut tertembaknya Kelion Tabuni (20) pada 23 September lalu menjadi atau pemicu pembakaran toko dan kios di Homhom. Sebelum mahasiswa jurusan Teknik Arsitektur Universitas Negeri Manado, Sulawesi Utara itu tertembak, Pendeta Simet Yikwa sudah melihat massa berpakaian seragam SMA beringas dan melemparkan batu ke segala arah. Mereka marah karena gagal menembus barikade polisi di depan Markas Kepolisian Sektor Wamena di Jalan Homhom, Wamena, ibukota Kabupaten Jayawijaya.

Ruko di Pikhe hangus terbakar – Jubi/Vembri Waluyas

“Massa buang batu ke segala arah. Akan tetapi, waktu itu tidak ada pembakaran. Setelah Kelion Tabuni tertembak, massa yang semakin marah mengambil bensin eceran di depan kios, dan membakar kios serta toko di Jalan Homhom dan Jalan Pikhe,” ujar Pendeta Simet Yikwa.

Kerabat Kelion Tabuni tak tahu persis bagaimana Kelion bisa berada di Homhom. Kelion Tabuni baru pulang ke Papua pada akhir Agustus lalu, meninggalkan kuliahnya di Manado, yang baru ia tempuh selama tiga semester. Ia tiba di Wamena dua pekan sebelum amuk massa terjadi di Wamena.

Paman Kelion Tabuni, Tianus Jikwa, bertutur seharusnya Kelion Tabuni ikut berkebun pada 23 September pagi. “Minggu malam, saya sudah ingatkan Kelion, Senin pagi jadwal berkebun. Tapi, Kelion pergi ke Homhom. Kami tidak tahu apa yang terjadi di Homhom. Siang, kami mendengar kabar bahwa Kelion tertembak. Ada sejumlah kerabat membawa jenazah Kelion dari Homhom ke mari, berjalan kaki. Pukul 16.00, barulah jenazah Kelion tiba di rumah,” ujar Tianus Jikwa.

Peluru yang menewaskan Kelion Tabuni mengenai perut dan menembus di punggung bagian bawah. Orang-orang yang mengarak jenazah Kelion menyebut, Kelion tertembak dalam kekacauan yang terjadi di dekat kampus Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Amal Ilmiah Yapis di Homhom. Mereka langsung mengambil jenazah Kelion, membawanya ke Pikhe. Itulah mengapa kematian Kilion Tabuni tak tercatat dalam data korban amuk massa Wamena yang dikeluarkan polisi.

Para kerabat bersaksi di tubuh Kelion Tabuni tidak ada luka selain luka tembak itu. “Kami membakar jenazah Kelion pada 24 September 2019, sekitar pukul 13.00. Sore harinya, kami mengungsi,” ujar Tianus Jikwa.

Duka juga dirasakan keluarga Niligi Wenda, seorang satpam yang bekerja di salah satu pertokoan di kawasan Homhom. “Akan tetapi, saat rusuh terjadi Niligi Wenda sedang libur. Ia mendengar ada kerusuhan di Pasar Misi di Wouma, dan pergi untuk melihatnya. Saat itu, ia tidak membawa apa-apa, tetapi malah tertembak. Ia terkena dua tembakan di dada,” ujar salah satu kerabat Niligi Wenda saat ditemui di Wamena pada 8 Oktober 2019.

Seperti kerabat Kelion Tabuni, kerabat Niligi Wenda juga takut untuk melaporkan kematian Niligi kepada polisi atau pemerintah. Keluarga takut jika kematian itu dilaporkan, Niligi justru akan dituduh sebagai pelaku rusuh.

Di Wesaput, keluarga Eles Himan (25) juga masih diliputi duka atas kepergian Eles. Eles Himan adalah mahasiswa tingkat akhir Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (STISIP) Amal Ilmiah Yapis Wamena tewas tertembak saat berada di kampusnya. Iton mengenang, Eles pada 23 September 2019 berangkat pagi-pagi ke kampusnya, karena ingin merampungkan berkas skripsi sebagai syarat mengikuti wisuda. Eles ingin mengikuti wisuda sarjana STISIP Amal Ilmiah Yapis Wamena pada 5 Oktober 2019.

“Hari Senin itu, Eles berangkat dari Wesaput sekitar pukul 07.30. Ia membawa ransel berisi seluruh dokumen terkait kampus, KTP, telepon pintar, buku tabungan, dan surat mandatnya sebagai pendamping Dana Desa di Kabupaten Yahukimo. Setelah ia pergi, kami mendengar ada kerusuhan di Homhom. Sejak pukul 09.00 WP, kerabat berusaha menelepon Eles, ada nada tunggu, tetapi Eles tak pernah menerima panggilan itu,” tutur Iton.

Sejumlah bangunan yang terbakar di kawasan Homhom – Jubi/Vembri Waluyas

Pada 24 September pagi para kerabat Eles Himan mendatangi Rumah Sakit Umum Daerah Jayawijaya di Wamena. “Keluarga menemukan jenazah Eles ada di Bangsal 1. Perawat menyatakan jenazah Eles adalah jenazah korban terakhir yang diterima rumah sakit pada 23 September. Jenazah Eles dibawa aparat keamanan dan tiba di rumah sakit pada pukul 20.16 WP. Kami tidak tahu bagaimana Eles ditembak. Yang kami tahu, Eles pergi ke kampus untuk mengurus skripsi dan wisuda. Mengapa ia ditembak?” sesal Iton.

Iton menuturkan Eles Himan tewas karena tembakan yang mengenai pinggulnya. “Peluru itu tidak tembus, tidak ada luka lain ditubuhnya. Tetapi, leher dan bahunya membengkak, juga tangan dan kakinya. Kami membakar jenazah Eles pada 25 September,” ujar Iton, sambil menunjukkan makam Eles yang berada di bagian belakang silimo.

Eles Himan adalah satu dari delapan korban tewas yang disebut Kapolri Jenderal Tito Karnavian sebagai “warga Papua asli”. Tujuh korban lain yang tercatat dalam data resmi polisi adalah Eliaken Wetapo, Gestanus Hisage, Ketron Kogoya, Manu Meage, Nison Lokbere, Yus Asso, dan Marius Wenda.

Sementara Kelion Tabuni dan Niligi Wenda adalah “warga Papua asli” belum tercatat sebagai korban tewas amuk massa Wamena dalam data resmi polisi. Dewan Adat Papua versi Kongres Luas Biasa juga mencatat keberadaan enam korban tewas lain, yaitu Lawan Hesegem, Beam Wenda, Inius Tabuni, Naligin Yikwa, Wenas Babingga, Yandrik Wenda.

Secara terpisah, Jubi menemukan identitas satu korban tewas lainnya, Nisaba Himan. Sejumlah warga bersaksi jenazah Nisaba Himan ditemukan di Pisugi, dengan luka tembak dada. Nama Nisaba Himan belum tercatat dalam daftar korban yang dicatat polisi maupun DAP versi Kongres Luar Biasa.

Dalam amuk massa yang masif seperti yang terjadi di Wamena, memang tak mudah menelusuri keberadaan seluruh korban. “Kami khawatir, jumlah korban tewas bisa lebih banyak lagi, mengingat ada banyak korban terluka yang takut berobat ke rumah sakit. Keberadaan seluruh korban harus ditelusuri dan diungkap. Hanya dengan cara itu, kita bisa memulai proses rekonsiliasi,” kata Ketua DAP versi Kongres Luar Biasa, Dominikus Surabut. (*)

Jurnalis Jubi Victor Mambor, Islami Adisubrata turut berkontribusi dalam penulisan berita ini.

Baca Artikel 1 dari 6 
Baca artikel 2 dari 6
Baca artikel 3 dari 6
Baca artikel 4 dari 6
Baca artikel 6 dari 6