Amuk massa yang terjadi di Wamena, ibukota Kabupaten Jayawijaya, Papua, pada 23 September 2019 menyentak rasa kemanusiaan publik. Semua pihak terpukul dan berduka, melihat bagaimana sebuah unjukrasa anti rasisme para pelajar bisa meledak menjadi amuk massa yang menewaskan sedikitnya 42 korban jiwa dan menghancurkan separuh kota terbesar di kawasan pegunungan tengah Papua itu.
Semua ingin bergegas menenun lagi relasi sosial yang terkoyak, secepatnya menutup luka. Namun, pemerintah punya banyak pekerjaan rumah jika ingin merajut perdamaian yang kokoh. Tulisan ini adalah bagian pertama dari enam tulisan serial “Menggadai damai di Wamena”.
Kabar dugaan rasisme yang beredar cepat
Mikael Alua memacu sepeda motornya menuju SMA PGRI Wamena di Jalan Bhayangkara. Senin pagi itu, 23 September 2019, ia harus berangkat lebih awal, lantaran sekolah akan menyelenggarakan ujian Penilaian Tengah Semester. Begitu memarkir sepeda motornya di depan gerbang SMA PGRI Wamena di Jalan Bhayangkara, Mikael Alua tertegun.
“Saat itu, saya melihat kaca ruang kelas sudah hancur berantakan. Pagi itu, saya Kepala Sekolah SMA PGRI Wamena, Herry Max Kasiha bersama-sama mencari tahu apa yang terjadi dengan sekolah kami. Salah satu tetangga sekolah memberi tahu, sekolah didatangi sejumlah orang pada Senin sekitar pukul 02.00 dinihari, dan mereka menghacurkan seluruh kaca ruang kelas dan ruang guru sekolah kami,” ujar Mikael Alua di Wamena, Jumat (4/10/2019).
Mikael Alua akhirnya tak sempat lagi mencari tahu kenapa sekelompok orang menghancurkan kaca ruang kelas dan ruang guru SMA PGRI. Ketika para guru dan murid berdatangan, Mikael Alua sibuk menyiapkan upacara bendera.
Tiba-tiba, sekelompok siswa SMA PGRI Wamena menyeru, mengajak teman-temannya mangkir dari Penilaian Tengah Semester. Mereka menyoal kabar dugaan seorang guru Pengajar Pengganti (Jarti) berinisial RTS yang diduga menyebut salah satu siswa kelas XI IPS 2 berinisial APB “seperti monyet” dalam pelajaran Ekonomi pada Rabu sepekan sebelumnya, 18 September 2019.
RTS, sang guru Jarti itu, baru sepekan mengajar di SMA PGRI. Ia merupakan guru Jarti yang ditempatkan Dinas Pendidikan Papua untuk menggantikan Elfrida Panjaitan, guru mata pelajaran Ekonomi di SMA PGRI yang sedang mengikuti proses sertifikasi guru di Makassar, Sulawesi Selatan. Ketika umur mengajar masih hitungan hari, RTS berselisih paham dengan APB, murid yang merasa dihina RTS dengan sebutan “monyet”.
Senin pagi itu, para siswa SMA PGRI meminta Kepala Sekolah Herry Max Kasiha menindaklanjuti dugaan ucapan rasis RTS dengan proses hukum. Mikael Alua bertutur, sang kepala sekolah mencoba menenangkan para siswa, menjelaskan dugaan ujaran rasis guru Jarti itu sudah didamaikan Wakil Kepala Sekolah Urusan Kesiswaan Debora Agapa pada Sabtu, 21 September 2019.
Debora Agapa juga menuturkan ulang peristiwa itu kepada Kepala Kepolisian Daerah Papua, Irjen Paulus Waterpauw. “Kami bingung. Tiga hari tidak ada apa-apa. [Dugaan ujaran rasis] itu terjadi Rabu. Kamis, tidak ada apa-apa. Jumat, tidak ada apa-apa. Tapi hari Sabtu, siswa ribut. Kami para guru baru tahu adalah masalah itu pada Sabtu, 21 September 2019, karena para siswa protes. Sabtu itu, kami mencoba mendamaikan guru Jarti dan siswa APB itu,” kata Debora Agapa saat Waterpauw mengunjungi SMA PGRI Wamena pada 7 Oktober 2019 lalu.
Mikael Alua mengakui, Senin pagi itu para guru memang kewalahan menenangkan siswanya. “Ketika kami sedang menenangkan para siswa, tiba-tiba serombongan siswa SMA dari sekolah lain datang, ikut bicara soal dugaan rasisme itu. Saya tidak kenal mereka, tapi siswa kami menjadi semakin berkeras menuntut RTS diadili. Sepertinya, pasca upaya damai pada Sabtu, kabar justru menyebar lebih luas pada hari Minggu,” ujar Mikael Alua menduga.
Mikael Alua sedikit lega ketika beberapa polisi datang ke sekolah, mencoba berdialog dengan para siswa yang berkeras RTS harus diadili. “Polisi menyatakan setuju, dan meminta perwakilan siswa melaporkan masalah itu ke Polres Jayawijaya. Polisi itu meminta beberapa siswa dari Kelas XI IPS 2 saja yang pergi ke Polres. Tapi semua siswa SMA PGRI Wamena menuntut ikut pergi ke Polres,” ujar Mikael Alua.
Para siswa SMA PGRI Wamena, juga sejumlah siswa sekolah lain, akhirnya berjalan kaki menuju Markas Polres Jayawijaya lewat Jalan Bhayangkara. Ketika itu, Mikael Alua bersama Kepala Sekolah Herry Max Kasiha dan dua guru lainnya bersepeda motor, dan lebih dulu tiba di Polres Jayawijaya.
“Di Polres Jayawijaya, kami dibawa ke ruang Intel. Ketika kami memasuki ruangan itu, ternyata RTS sudah ada di sana. Kami bersama-sama menunggu kedatangan para siswa di sana. Tapi ternyata para siswa kami tidak pernah sampai di Markas Polres Jayawijaya,” tutur Mikael Alua.
Massa siswa SMA PGRI itu akhirnya tak pernah sampai di Markas Polres Jayawijaya. Mereka berjalan di Jalan Bhayangkara, sempat mendatangi SMA YPK Betlehem Wamena dan mengajak siswa sekolah itu bergabung dengan massa siswa SMA PGRI. Di simpang Jalan Bhayangkara dan Jalan Sudirman, massa terpecah.
Untuk mencapai Polres Jayawijaya, massa seharusnya berjalan terus ke arah timur, menyusuri Jalan Bhayangkara. Akan tetapi, sebagian siswa berbelok ke kiri, mendatangi SMA Negeri 1 Wamena. Sebagian lainnya berbelok ke kanan, menuju Jalan Yos Sudarso, tempat Kantor Bupati Jayawijaya dan SMA Yapis Wamena berada.
Kepala Sekolah SMA Negeri 1 Wamena, Yosep Wibisono bertutur massa pelajar itu berlaku anarkis saat memasuki sekolahnya. Massa melempari kaca kelas sekolah itu, dan mengajak para siswa SMA Negeri 1 turut berunjukrasa mengecam dugaan rasisme di SMA PGRI Wamena.
“Semua terjadi dengan begitu cepat. Para guru yang sedang berada di kelas ketakutan melihat amarah massa, tidak bisa berbuat apa-apa. Massa itu merusak ruang guru, melempari ruang kaca kelas. Saya pun hanya bisa bersembunyi di ruang kerja saya,” tutur Yosep pada 7 Oktober 2019.
Massa pelajar itu juga berlaku anarkis saat mendatangi SMA Yapis Wamena dan mengajak para siswa SMA Yapis bergabung dalam unjukrasa itu. Para siswa SMA Yapis sempat menolak ajakan itu, hingga bentrok dengan massa pelajar yang mendatangi sekolah mereka. Sejumlah warga Wamena sempat mengira kericuhan di sana adalah tawuran antar sekolah. Polisi juga menangkap tujuh siswa yang mendatangi SMA Yapis Wamena.
Mendapat tambahan massa dari sejumlah sekolah di pusat kota Wamena itu, massa pelajar itu mendatangi Kantor Bupati Jayawijaya. Wartawan TVRI di Wamena, Naftali Pawika yang pagi itu berada di Kantor Bupati Jayawijaya menyebut para siswa itu tiba sekitar pukul 08.00 WP.
“Saat itu Bupati Jayawijaya Jhon Richard Banua belum ada di kantor. Massa pelajar duduk di halaman Kantor Bupati Jayawijaya. Meskipun mengancam wartawan agar tidak memotret, mereka tidak beringas. Betul mereka membawa kayu yang dipungut di jalan, tapi saya tidak melihat mereka membawa batu atau bahan bakar minyak. Mereka duduk, menunggu,” kata Naftali Pawika. (*)
Jurnalis Jubi Victor Mambor dan Islami Adisubrata turut berkontribusi dalam penulisan berita ini.
Baca artikel 2 dari 6
Baca artikel 3 dari 6
Baca artikel 4 dari 6
Baca artikel 5 dari 6
Baca artikel 6 dari 6