Lagi, terdakwa sebut dianiaya dan dipaksa tanda tangan BAP

Lagi, terdakwa sebut dianiaya dan dipaksa tanda tangan BAP 1 i Papua
Foto ilustrasi. - pixabay.com
Lagi, terdakwa sebut dianiaya dan dipaksa tanda tangan BAP 2 i Papua
Foto ilustrasi. – pixabay.com

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Jayapura, Jubi – Pengadilan Negeri Kelas 1A Jayapura pada Senin (27/1/2020) kembali menggelar persidangan perkara yang terkait dengan amuk massa rasisme yang terjadi pada 29 Agustus 2019. Dalam sidang Senin itu, pengadilan memeriksa Dolfinus Hisage salah satu koordinator lapangan dalam aksi di depan Kampus Universitas Cendrawasih di Jayapura, Papua, pada 29 Agustus 2019.

Read More

Saat diperiksa sebagai terdakwa perkara penghasutan, Dolfinus Hisage menuturkan bagaimana ia memimpin unjukrasa para mahasiswa Universitas Cendrawasih (Uncen) memprotes kasus persekusi dan rasisme terhadap para mahasiswa Papua di Surabaya pada 16 dan 17 Agustus 2019. Hisage membenarkan dirinya menjadi salah satu orator dalam unjukrasa itu. Ia juga menuturkan dirinya dianiaya dan dipaksa menandatangani Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang dibuat penyidik.

“Saat itu saya mengumpulkan massa pakai megaphone. Sebanyak 30 mahasiswa [berkumpul], kami berdiri [sekitar] jam 08.00-09.00 WP.  Waktu itu saya berorasi di [Kampus] Uncen [Waena]. Setelah orasi, kami jalan kaki ke Abepura,” kata Hisage dalam persidangan Senin.

Hisage menuturkan sejumlah warga ikut bergabung dengan para mahasiswa yang berjalan kaki dari kampus menuju Abepura itu.  “Kami berjalan bersama massa yang terkumpul di Abepura, [jumlahnya] ribuan. Saya tidak tahu soal selebaran yang beredar. Saya hanya bawa massa dari Uncen ke Abepura.Selanjutnya saya tidak tahu, sebab [massa] diambil alih oleh korlap umum,” katanya.

Hisage mengatakan di Abepura dirinya tak lagi berorasi. Di Abepura, massa pengunjukrasa anti rasisme telah beragam. “Jadi saya tidak kenal mahasiswa serta massa aksi yang terkumpul banyak di Abepura,” katanya.

Hisage menegaskan unjukrasa 29 Agustus 2019 dipicu perkara rasisme terhadap para mahasiswa Papua di Surabaya. Unjukrasa itu dilakukan untuk menuntut polisi menindak para pelaku ujaran rasisme yang pada 16 dan 17 Agustus 2019 mengepung Asrama Mahasiswa Papua Kamasan III di Surabaya. “Tuntutan kami, [agar Negara] mengadili mereka yang menciderai martabat bangsa,” kata Hisage.

Ia menyatakan dirinya ikut bersama massa pengunjukrasa yang bergerak dari Abepura menuju Kantor Gubernur Papua di Dok II Jayapura. Hisage menyatakan dirinya mencapai Kantor Gubernur Papua pada pukul 17.00, dan menginap di sana. Ia pulang bersama massa pengunjukrasa lainnya pada 30 Agustus 2019.

“Saya hendak pulang dan ditangkap oleh polisi di Entrop. Setelah ditangkap, saya dipukul polisi. Saya tidak ditanya kemudian langsung dipukul. Polisi tidak menunjukkan surat penangkapan kepada saya,” katanya.

Hisage menuturkan dia dipukul hingga hidungnya berdarah. Dia juga ditendang dan dipukul dengan popor senjata. Polisi yang menangkapnya lalu membawa Hisage ke Markas Kepolisian Sektor Jayapura Utara. “Lalu saya dibawa ke Polda, dibawa ke ruang tahanan. Polisi tendang saya. Kepala saya dipukul pakai popor senjata. Mereka menyuruh saya buka baju, buka celana, pukul kaki, lalu menginterogasi,” katanya.

Hisage mengaku bahwa diperiksa penyidik ia diintimidasi. “[Ada yang menyatakan] ‘macam begini harus ditembak mati’. Mereka suruh saya potong rambut gimbal. Waktu itu tidak ada pengacara. Semua [orang yang ditangkap] dipukuli, [dipaksa] ikuti penyidik. Terpaksa kami ikuti [apa yang dinyatakan penyidik] dan menandatangani [Berita Acara Pemeriksaan],” katanya.

Hisage mengatakan ada advokat yang sempat menemuinya, namun ia menolak memberikan kuasa kepada advokat itu. “Kami tolak, sebab kami bilang kami punya pengacara ada,” tutur Hisage.

Majelis Hakim Alexander Tetelepta memutuskan menunda sidang hingga 4 Februari 2020.(*)

Editor: Aryo Wisanggeni G

Related posts

Leave a Reply