Papua No.1 News Portal | Jubi
Analisis oleh Dominic O’Sullivan
Penangkapan sembilan politisi oposisi Fiji, termasuk ketua-ketua partai dan dua mantan perdana menteri, telah, sekali lagi, menunjukkan lemahnya demokrasi di Fiji. Intimidasi seperti ini bukan pertanda yang baik untuk pemilu parlemen yang akan diadakan tahun depan (atau awal 2023).
Krisis politik di Fiji telah disamarkan oleh krisis Covid-19, yang menyebabkan lebih dari 25.000 kasus dan lebih dari 100 kematian sejak menyebar kembali April lalu. Perdana Menteri, Voreqe Bainimarama, bahkan menggunakan perbandingan tentang Covid-19 ketika dia menyebut mereka yang ditangkap telah menyebarkan kebohongan atau hoaks.
Meskipun sejauh ini tidak ada gugatan yang diajukan, sembilan orang tersebut dituduh telah menghasut kerusuhan dengan menentang RUU pemerintah untuk mengubah pengelolaan hak atas tanah adat orang pribumi iTaukei.
UU iTaukei Land Trust Act 1940 yang asli memperbolehkan adanya sewa tanah jangka panjang untuk kepentingan pribadi. Tujuannya adalah untuk memaksimalkan keuntungan ekonomi atas tanah itu sekaligus melindungi dari pelepasan kepemilikan tanah yang permanen.
Tindakan tersebut dimaksudkan untuk melindungi kepentingan adat, dengan melarang aktivitas mengulang-sewaan atau menaikkan jumlah pinjaman berbasis hipotek di tanah yang disewa tanpa persetujuan dari dewan iTaukei Land Trust Board. RUU amandemen yang diusulkan ini akan menghapus persyaratan untuk mendapatkan persetujuan dewan tadi, dan mencegah pemilik tanah adat untuk mengadu ke pengadilan dalam perkara-perkara sengketa penggunaan lahannya.
Menahan politisi yang mengecam RUU
PM Bainimarama, yang juga mengepalai dewan tadi, menerangkan bahwa tujuan dari RUU itu adalah untuk menghilangkan rintangan birokrasi untuk perubahan kecil-kecilan seperti listrik atau air. Menurutnya, diperlukan waktu yang terlalu lama bagi dewan itu untuk memberikan persetujuan, dan ini merupakan kendala akan pembangunan ekonomi.
Namun para pengkritik RUU tersebut, termasuk beberapa dari mereka yang ditangkap, berpendapat RUU itu akan melemahkan hak atas tanah adat pribumi iTaukei. Anggota Parlemen (MP) oposisi, Lynda Tabuya, dituduh melakukan tindakan kebencian setelah dia membagikan gambar bertajuk ‘Say no to iTaukei Land Trust Bill’ melalui Facebook pekan lalu.
Dalam pos terpisah, menunjukkan rendahnya ambang untuk tindakan kebencian di negara Fiji yang modern, ia bertanya-tanya, “Perlindungan apa yang masih tersisa bagi para pemilik tanah? Ini benar-benar ilegal dan melanggar HAM pemilik-pemilik tanah. Ini bukan masalah ras, ini masalah HAM dan telah melanggar pasal 29 dari konstitusi Fiji.”
Pandangan Tabuya ini bukan satu-satunya perlawanan. Partai Federasi Nasional (National Federation Party/ NFP) Fiji mengatakan pemerintah belum melakukan konsultasi yang memadai mengenai RUU tersebut, dan ketua partai itu, Profesor Biman Prasad, termasuk salah satu politisi yang ditangkap, bersama-sama dengan mantan perdana menteri Mahendra Chaudhry dan Sitiveni Rabuka.
Kebebasan pers yang terbatas
Liputan pers mengenai kontroversi ini juga telah terimbas dampak dari penangkapan tersebut. Contohnya, satu laporan dari Fiji Sun terkait masalah ini dalam edisi Kamis, 28 Juli kemarin, hanya mengutip pendukung RUU tersebut dan tidak memberikan informasi mengenai mengapa RUU itu bermasalah.
Ini tidak mengagetkan mengingat jurnalisme di Fiji yang bekerja di bawah ketentuan konstitusional yang membatasi hak dan kebebasannya ‘demi kepentingan keamanan nasional, keselamatan publik, ketertiban umum, moralitas publik, kesehatan masyarakat, atau pelaksanaan pemilu yang tertib’.
Surat kabar Fiji Times berani mengambil risiko minggu lalu dengan menerbitkan sebuah opini dimana draf RUU itu disebut tidak memadai dan minimnya konsultasi yang dilakukan berarti RUU itu satu langkah lebih jauh dari tujuan yang dimaksudkan, yaitu untuk kemudahan dan efisiensi administratif.
Di luar kompleksitas hukum RUU tanah itu, masalah sebenarnya adalah masalah politik. Seperti yang ditanyakan oleh artikel itu, ‘Apa permasalahannya?’.
Seperti yang saya bahas dalam buku saya, Indigeneity: a politic of potential — Australia, Fiji and New Zealand, permasalahannya adalah bahwa Fiji adalah demokrasi yang lemah, acuh tak acuh, dan bersyarat.
Campur tangan militer
Kudeta pada 1987 dan 2006, dan pemberontakan pada tahun 2000, terjadi karena demokrasi di Fiji gagal memberikan jawaban yang ‘benar’ untuk para penggerak kudeta atas pertanyaan politik yang ribet tentang kelas, kekuatan militer, dan kepentingan pribadi.
Hak-hak penduduk pribumi Fiji selalu menjadi isu sambilan, seperti yang ditunjukkan oleh konflik RUU saat ini.
Konstitusi Fiji 2013 menetapkan bahwa “adalah tanggung jawab keseluruhan Angkatan Bersenjata Republik Fiji untuk memastikan keamanan, pertahanan dan kesejahteraan Fiji dan semua orang Fiji setiap saat”.
Keterlibatan militer dalam pekerjaan pemerintah itu intensional dan eksplisit. Ketika Bainimarama, yang saat itu menjabat sebagai kepala pasukan militer, memimpin kudeta pada 2006, dia mengabaikan tuduhan akan adanya campur tangan politik. Jika militer tidak bertindak melawan pemerintah, tegasnya, “negara ini akan semakin genting”.
Dia juga mengklaim bahwa perdana menteri Fiji saat itu, Laisenia Qarase, berusaha melemahkan militer dengan mencoba untuk menyingkirkannya: “Jika dia berhasil, tidak akan ada yang mengawasi mereka, dan bayangkan betapa korup jika itu terjadi.”
Namun pengkritik RUU tersebut, termasuk beberapa politisi yang ditangkap, berpendapat bahwa RUU itu akan melemahkan hak tanah iTaukei.
Konstitusi yang membatasi warga Fiji
Intimidasi adalah sebuah strategi politik di Fiji. Amandemen yang diusulkan atas UU iTaukei Land Trust Act bukanlah hal yang paling penting — proses parlemen dapat mengidentifikasikan dan menyelesaikan perselisihan apa pun.
Persoalan yang lebih signifikan adalah bahwa kepemimpinan autokrasi, dan konstitusi nasional negara itu sendiri tidak memberikan ruang bagi warga Fiji untuk memutuskan sendiri jenis masyarakat yang mereka inginkan. Ini juga hanya memberikan ruang yang terbatas bagi warga Fiji untuk menuntut agar ada kebijakan yang lebih efektif dalam menanggapi krisis Covid-19 di negara mereka sendiri. (Asia Pacific Report/The Conversation)
Dr. Dominic O’Sullivan merupakan bagian dari Fakultas Ilmu Kesehatan dan Lingkungan, Auckland University of Technology dan profesor Ilmu Politik di Charles Sturt University.
Editor: Kristianto Galuwo