Papua No.1 News Portal | Jubi

Oleh Lice Movono di Suva, Fiji

Hampir sepertiga populasi Fiji menderita diabetes, dan penyakit ini sering kali tidak didiagnosis sampai amputasi anggota badan, atau bahkan kematian, sudah tidak dapat dihindari.

Selang kariernya selama 15 tahun terakhir sebagai ahli bedah di Fiji, Dr. Jone Hawea bisa melakukan delapan sampai 10 operasi akibat diabetes setiap harinya – setidaknya dua di antaranya adalah untuk mengamputasi anggota badan.

“Bangsal-bangsal kita selalu penuh dengan pasien diabetes. Kadang-kadang bangsal bedah kita tidak bisa menangani kasus-kasus bukan darurat karena ada banyak operasi diabetes yang harus dilakukan,” ungkap Hawea.

Hawea, seorang spesialis penyakit tidak menular (PTM) terkemuka di Fiji, mengatakan jumlah itu cukup umum di rumah sakit-rumah sakit besar di seluruh negeri itu. Fiji memiliki salah satu tingkat penderita diabetes tertinggi di dunia.

Meski di banyak negara diabetes dapat dideteksi sejak dini dan dapat dimoderasi melalui pola makan, olahraga, dan obat-obatan, di Fiji, penyakit ini seringkali tidak ketahuan sampai sudah tidak ada opsi lain selain amputasi, atau bahkan kematian.

‘Memakan semua makanan, dan meminum semua minuman’

Bagi Wilisoni Lagi Vuatalevu, inilah realitasnya. Dalam waktu satu bulan setelah ia pensiun pada usia 55 tahun, Vuatalevu harus mengamputasi salah satu kakinya.

Dia seharusnya pensiun di kampung halamannya, di mana setiap hari ia akan menghabiskan waktu untuk menangkap ikan dan mencari makan dari sumber-sumber alam. Sebagian besar orang-orang Fiji memulai dan mengakhiri hidup aktif mereka dengan cara ini.

Namun, dua tahun setelah merampungkan pekerjaan, Wilisoni dihadapkan dengan kemungkinan akan menghabiskan sisa hidupnya diatas kursi roda di rumahnya di Delainavesi di luar ibu kota, Suva.

“Dua tahun sebelum pensiun, saya menyadari ada bisul di kaki saya yang tidak kunjung sembuh. Ketika saya periksa di pusat kesehatan, mereka melakukan pemeriksaan, tetapi tidak berkata saya terkena diabetes. Mereka bilang gula darah saya masih normal.”

Wilisoni mengakui bahwa dia tidak terlalu terpikir untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut tentang luka itu, dan bertahan selama lebih dari setahun dengan luka itu meradan. Satu bulan setelah dia pensiun, rasa sakitnya tak tertahankan dan luka itu terus berdarah.

“Ketika mereka memeriksa saya, dokter itu sangat sabar dan tenang ketika dia berkata kepada saya bahwa itu pasti ‘penyakit gula’ dan menerangkan bahwa saya akan kehilangan kaki itu… saya sangat takut,” kata Wilisoni.

Setelah berbicara dengan istrinya, Kelera, dimana mereka mulai merencanakan masa depan mereka tanpa kakinya, ia dengan enggan menyetujui operasi itu.

“Kita berdua telah saling menjaga selama kita menikah, mengapa ini harus berbeda? Saya bilang kepadanya, saya akan terus menjagamu, bahkan jika kamu kehilangan kedua kaki,” tutur Kelera.

Seperti kebanyakan orang pribumi Fiji, kisah hidup Vuatalevu dimulai di desa pulau yang asri – di Vanua Balavu di Kepulauan Lau. Desanya itu jauh dari Suva, dan juga jauh dari makanan olahan, makanan ringan, dan manisan yang telah menjadi makanan utama orang-orang Kepulauan Pasifik untuk mengganti makanan sehari-hari mereka.

“Saya tidak pernah gemuk, saya cukup tinggi, jadi ketika saya bertumbuh badan saya selalu stabil,” kata Vuatalevu. “Tapi saya memakan semua makanan, dan meminum semua minuman, saya tidak benar-benar memilih-milih makanan, atau bahkan mempertimbangkan makanan apa yang baik untuk saya dan apa yang tidak. Saya tidak perlu berpikir-pikir. Apapun yang ada didepan saya, saya lahap. Begitu juga dengan minum alkohol.”

Desakan agar ada perubahan

Wilisoni tidak sendiri. Menurut Kementerian Kesehatan Pemerintah Fiji, 30% dari populasi negara itu menderita diabetes.

Di wilayah Pasifik, secara lebih luas, jumlah orang dengan penyakit ini juga sangat tinggi. Sepuluh negara Kepulauan Pasifik berada di daftar 20 negara teratas dengan jumlah penderita diabetes tertinggi, dipimpin oleh Kepulauan Marshall, Kiribati, dan Tuvalu.

Menurut Federasi Diabetes Internasional (International Diabetes Federation; IDF) sekitar 87.000 orang dewasa Fiji menderita diabetes – sekitar 15% dari populasinya – tetapi memperkirakan ada 46.000 orang lainnya belum terdiagnosis.

Operasi amputasi anggota tubuh terkait diabetes mencakup 40% dari semua operasi rumah sakit di negara itu pada tahun 2019, profesor bedah di Universitas Nasional Fiji itu mengungkapkan kepada Radio New Zealand.

Tiga penyebab utama kematian di Fiji adalah diabetes, penyakit jantung, dan strok.

Dalam beberapa tahun terakhir, peneliti di bidang kesehatan telah mencoba memahami bagaimana orang-orang Kepulauan Pasifik, yang budaya kesehariannya sebagian besar dilakukan di luar ruangan dengan fokus untuk mengelola dan memanen hasil alam, bisa memiliki tingkat penyakit yang begitu tinggi.

Hawea begitu lelah melihatnya tingginya angka amputasi, sehingga ia mulai bekerja untuk menyelesaikan masalah tersebut dari akarnya.

Kuncinya, menurut Hawea, adalah membuat orang-orang Fiji bangga atas makanan tradisional mereka yang sangat sehat, dan memastikan harga makanan-makanan itu lebih terjangkau bagi orang-orang.

“Orang-orang Fiji, dan saya curiga orang-orang Kepulauan Pasifik lainnya, memanen hasil alam di sekitar mereka untuk diekspor, tetapi sebagai gantinya mereka memakan makanan olahan tidak sehat yang dijual dengan murah ke wilayah Pasifik. Ini harus diubah. Ini bukan hanya tentang sikap, tetapi juga tentang fakta, dan fakta itu adalah: pola makanan kita sedang pelan-pelan membunuh kita.”

Makanan Fiji umumnya termasuk mi, makanan kaleng, dan sayuran beku, sementara sebagian besar keluarga Fiji hanya akan mengonsumsi makanan tradisional yang sehat – ikan segar, rumput laut, atau kerang, ditambahkan dengan sayuran hijau dan kelapa – pada akhir pekan. Ini sering kali disebabkan oleh harga, makanan olahan jauh lebih murah daripada makanan segar.

IDF, dimana Fiji merupakan salah satu negara anggotanya, memperkirakan bahwa Pemerintah Fiji mengeluarkan biaya hingga AS $ 24,4 Juta per tahun untuk pengobatan penyakit tersebut. Hawea adalah salah satu dari banyak suara yang mendesak agar sumber daya itu dialokasikan untuk meningkatkan gaya hidup dan makanan asli Pasifik.

“Keadaan sekarang mulai berubah, tetapi ini belum lama terjadi, orang-orang Fiji tidak bangga dengan makanan mereka, padahal dunia mengakui banyak makanan ini sebagai makanan ‘super’. Kita perlu mengubah kebiasaan itu.”

Wilisoni, sekarang berusia 63 tahun, dan masih merupakan pencari nafkah keluarganya. Ia duduk di belakang meja di dalam toko yang ia buka di rumahnya, ia masih khawatir orang-orang Fiji lainnya juga akan terkena penyakit itu.

“Terus terang, saya tidak tahu banyak tentang penyakit ini sampai saya didiagnosis. Saya berharap saya dulu lebih banyak belajar tentang penyakit ini, tetapi saya tidak bisa menatap ke masa lalu. Kalian harus tetap positif agar kalian bisa umur panjang,” katanya.

“Saya sangat beruntung karena istri saya itu baik, dan keluarga saya menjaga saya.”

“Tetapi jika saya bisa, saya ingin meningkatkan kesadaran masyarakat tentang penyakit ini. Jika saja dulu saya tahu apa yang saya tahu sekarang, mungkin saya akan membuat pilihan yang berbeda tentang makanan saya. Saya tidak akan hidup terlalu lama di kota.” (The Guardian)

 

Editor: Kristianto Galuwo