Papua No.1 News Portal | Jubi
Oleh Stephen Howes
Baik bangsa Fiji maupun Papua Nugini (PNG), dua negara dengan populasi paling padat di Pasifik Selatan, telah merasakan buruknya dampak ekonomi tidak langsung dari pandemi Covid-19 selama setahun terakhir ini. Tahun ini diharapkan akan membawa harapan. Tetapi dalam beberapa minggu terakhir, keadaan menggawat menjadi jauh lebih buruk di kedua negara itu, meskipun dengan dua cara yang sangat berbeda.
Di Fiji, pandemi Covid-19 tidak terkendali. Jika dibandingkan dengan ukuran populasi mereka, angka rata-rata mingguan kasus baru Covid-19 di Fiji berada di atas jumlah maksimum yang dicapai oleh India pada puncak wabah baru-baru ini, dan jauh di atas jumlah yang saat ini terlihat di Indonesia. Faktanya, menurut Our World in Data pada 5 Juli, Fiji memiliki rata-rata kasus baru per kapita tertinggi ke-8 di dunia. Kita sudah mulai melihat laporan tentang rumah sakit yang penuh kapasitasnya, dan kekhawatiran negara itu juga akan kehabisan tabung oksigen.
Di sisi lain, upaya PNG dalam mengendalikan dan membendung wabah itu di dalam negaranya dengan jauh lebih baik. Meskipun kita tahu bahwa cakupan tes Covid-19 di PNG masih rendah, jumlah resmi kasus baru yang dilaporkan telah menurun dan, secara luas, dilaporkan bahwa jumlah pasien rawat inap juga mulai drop.
Sebaliknya, seperti yang bisa diketahui dari data yang ada, pada saat ini, vaksinasi adalah harapan Fiji agar dapat keluar dari kejatuhan ini. Meski PNG menyuntikan sekitar 1.000 vaksin setiap hari (yang tidak jauh lebih dari perkembangan harian absolut dalam populasi, sekitar 630 kasus sehari), Fiji, dengan populasi sekitar seperdelapan dari populasi PNG, telah melambungkan jumlah vaksinasi harian hingga 6.000 suntikan. Sekarang negara itu memiliki rasio dosis vaksinasi untuk populasinya sudah mencapai 35%. Angka ini tidak terlalu bagus menurut standar global: Fiji duduk tepat di bawah 100 negara teratas dalam parameter ini. Akan tetapi, sementara ada beberapa pihak yang masih ragu akan vaksinnya, setidaknya cakupan vaksinasi di Fiji terus melonjak dengan cepat.
Pada akhirnya, bahkan jika tindakan pencegahan yang ditetapkan itu gagal untuk menghentikan Covid-19 di Fiji, cakupan vaksinasi yang meningkat akan menyelesaikan persoalan itu – tetapi ini hanya bisa terjadi setelah negara tersebut menghadapi penderitaan dan kehancuran yang sangat signifikan. Seychelles saat ini bisa menggambar visi yang nyata tentang apa yang mungkin akan terjadi di masa depan Fiji sebelum situasi akhirnya membaik. Meskipun cakupan vaksinasinya hampir universal, Seychelles masih juga melaporkan jumlah kasus baru covid-19 per kapita tertinggi di dunia.
Sementara itu PNG menghadapi persoalan yang berbeda. Varian Delta virus Corona yang sangat menular, yang telah memicu wabah di Fiji yang tak kunjung bisa dibendung, belum sampai di PNG – setidaknya berdasarkan data yang resmi. Tetapi berapa lama sampai situasi ini berubah?
Pihak berwenang di PNG baru-baru ini menolak pesawat carter dari India, dan pemerintah juga telah memperketat peraturan untuk orang-orang yang baru datang – contohnya dengan memanjangkan periode karantina menjadi 21 hari. Kebijakan-kebijakan yang tegas seperti ini mungkin bisa dibenarkan untuk menjauhkan varian mematikan tersebut dari komunitas, tetapi mereka juga akan menyebabkan isolasi dan kehancuran ekonomi yang berkepanjangan. Namun langkah-langkah ini juga harus dipertahankan tanpa batas waktu yang pasti jika cakupan vaksinasi tidak juga meningkat.
Dan tidak ada tanda-tanda bahwa hal itu akan terjadi. Hasil dari salah satu survei menunjukkan bahwa, tidak termasuk tenaga kesehatan, hanya 39% populasi umum yang bersedia menerima suntikan vaksin Covid-19. Survei lainnya, dengan sampel khusus diantara kalangan pelajar di perguruan tinggi, menunjukkan bahwa hanya 6% dari mahasiswa dan mahasiswi yang ingin di vaksin.
Berbagai teori konspirasi berkembang dan beredar. Setiap politisi yang berani berbicara untuk mendukung program vaksinasi harus mempertimbangkan pendirian itu karena pesan yang akan mereka umumkan itu sangat tidak populer. Pemimpin oposisi PNG telah mendesak agar peluncuran kampanye vaksin dihentikan. Lalu akibat fakta bahwa PNG adalah negara dengan tingkat urbanisasi terendah kedua di dunia – ini membuat upaya vaksinasi menjadi semakin menakutkan.
Bagi orang-orang Fiji, banyaknya penderitaan mereka (dalam bidang kesehatan, ekonomi, dan sosial), telah mereka alami, dan hal yang sama masih akan mereka hadapi. Tapi setidaknya ada jalan keluar untuk Fiji dari krisis ini jika mereka dapat terus menaikkan cakupan vaksinasi Covid-19. Tapi PNG, di sisi lain, tampaknya ditakdirkan untuk menjadi salah satu negara terakhir yang keluar dari isolasi. Dan, tanpa vaksinasi massal, selalu ada kemungkinan – bahkan sangat mungkin – bahwa Delta atau varian lainnya, betapapun ketatnya tindakan isolasi yang diterapkan, pada akhirnya akan sampai di perbatasannya dan menyebabkan melambungnya kasus baru di PNG hingga mencapai tingkat yang dihadapi Fiji sekarang.
Rasa sakit dan kehilangan yang dialami oleh Fiji terkait Covid-19 saat ini memang lebih intens daripada PNG, tetapi prospek fatal yang disebabkan oleh rendahnya cakupan vaksin di PNG itu lebih mengkhawatirkan lagi. (Development Policy Centre Blog, Australian National University)
Stephen Howes adalah Direktur dari Development Policy Centre, Crawford School of Public Policy, Australian National University.
Editor: Kristianto Galuwo