Papua No. 1 News Portal | Jubi ,
Oleh: Siska B. Tekege
Semua manusia ingin hidup sehat. Kebutuhan akan hidup sehat juga menjadi urgen bagi setiap manusia di dunia ini. Usaha menjaga kesehatan baik secara promotif, preventif, kuratif, maupun rehabilitatif dijalankan oleh setiap individu agar kesehatannya terjaga, aman, terlebih oleh tim medis.
Usaha-usaha ini mempunyai tujuan utama agar manusia sehat, terhindar dari bahaya sakit dan penyakit. Sebab manusia dapat melaksanakan tugas secara baik dan benar jika kesehatannya terjamin.
Kondisi kesehatan yang baik dan memadai memungkinkan orang menjalankan tugas secara baik pula. Karena itu, apotek hidup yang diusung dalam Musyawarah Pastoral (Muspas) Mee di Madi tahun 2017 amat bermakna untuk menjaga kesehatan, tanpa meniadakan obat medis dari rumah sakit.
Urgennya kesehatan itu, dalam tulisan ini saya berbagi cara atau kebiasaan orang manusia Mee dalam menjaga sekaligus mengusahakan agar kesehatan tetap terjaga.
Kosep sehat dilihat dari segi jasmani
Konsep sehat dari segi jasmani dapat dipahami atau paling kurang dialami secara sederhana karena dimensi sehat yang paling nyata adalah perhatiannya pada fungsi mekanistik tubuh. Dalam kehidupan suku bangsa Mee yang berdomisili di 3 kabupaten (Paniai, Deiyai, dan Dogiyai) memiliki konsep yang sama dengan suku bangsa lain di Papua secara khusus dan seluruh suku bangsa di dunia pada umumnya: bahwa kesehatan itu penting dan karena itu harus dijaga.
Menurut manusia Mee sehat jasmani dikonsepkan dengan “tidak sakit: didi beu.” Tidak sakit berarti sehat “epoo ena atau epoo edou ena.” Sehat secara jasmani menurut manusia Mee adalah manusia yang dapat bergerak dan bisa menggerakkan tubuh untuk melakukan sesuatu. Artinya mereka yang memiliki daya untuk melakukan aktivitas.
Mereka yang sehat adalah mereka yang dapat berolah raga, bekerja, berjalan, dan mereka yang produktif secara jasmani untuk mengadakan atau menciptakan sesuatu.
Untuk menjaga kesehatan jasmani, orang Mee dianjurkan untuk kerja “ekowai enagiyo” atau berolah raga “emo nawina tikumi”. Jikalau orang Mee sakit, maka orang Mee mengobatinya dengan obat alami, sesuai sakit yang diderita. Misalnya, sakit demam dengan “Puge atau bouma: daun Gatal”, sakit mata dengan “gei ama”, dll.
Konsep sehat dilihat dari segi mental
Konsep sehat ini berkaitan dengan kemampuan berpikir dengan jernih dan koheren. Istilah mental dibedakan dengan emosional dan susila walaupun ada hubungan yang dekat antara ketiganya.
Konsep sehat dari segi mental, setiap suku bangsa berbeda. Berkaitan dengan kemampuan berpikir jernih dan koheren, bagi suku bangsa Mee mengenal sebuah istilah, sekaligus menjadi filosofi, ialah, “dimi akauwai awii": jadikan pikiran sebagai kakak.
Konsep filosofis ini merupakan landasan utama bagaimana orang Mee masuk dalam ranah berpikir secara jernih, sehat, dan terkontrol.
'Dimi akuwai awii" sebagai satu rambu-rambu dalam memandang atau memahami segala-sesuatu. Filosofi lain adalah “gai tiga: berpikir dulu”. Gai tiga bermakna kewaspadaan, penuh hati-hati dalam mengambil satu keputusan atau sikap tertentu. Gai tiga, berpikir dulu merupakan satu kebiasaan yang dihidupi orang Mee turun-temurun, bahkan hingga sekarang. Konsep “gai: berpikir” berada pada posisi sentral dalam satu saya filosofi orang Mee, yakni “dou-gai-ekowai: melihat, berpikir, dan bertindak.”
Bagi manusia Mee kita harus berpikir matang atas apa yang dilihat atau diamati dan sekaligus berpikir matang sebelum bertindak. Koherensi dari “kesehatan mental” orang Mee berkaitan dengan berpikir jernih adalah orang Mee mendudukkan “gai, dimi” pada posisi yang sentral antara apa yang dilihat, dialami dan apa yang hendak dilakukan, dikerjakan.
Konsep sehat dilihat dari segi emosional
Konsep sehat dari segi emosional orang Mee memahami dalam term “gai, dimii, gada, atau tegee.” Sehat secara emosional ini adalah kemampuan untuk mengenal emosi seperti takut, kenikmatan, kedukaan, dan kemarahan, dan untuk mengekspresikan emosi-emosi secara cepat. Konsep kesehatan dari segi emosional dalam kaitan dengan “emosi”, orang Mee lakukan dengan aneka seni dan tindakkan-tindakan ritual. Satu puncak ritual yang menjadi momentum dan terpenting bagi orang Mee adalah “Yuwo: pesta adat”.
Dalam pesta adat “yuwo” ini, aneka perasaan muncul. Misalnya, takut “weda”. Perasaan takut itu muncul terlebih di kalangan “tonawi: kaum kaya”. Mereka takut kalau-kalau babi yang disembelih kurang atau tidak sebanding dengan lawannya. Hal ini berkaitan dengan kedudukan, rasa dihargai atau dihormati.
Selanjutnya, rasa terharu atau tertarik “didi dimi, atau ide dimi.” Perasaan terharu atau sedih dan tertarik, juga jengkel muncul ketika melakukan pesta dansa adat di tempat dansa atau “emaida”. Emaida, di tempat pesta dansa dilakukan acara dansa dengan aneka “nyanyian”, dengan aneka suasana pula. Biasanya, dinyanyikan nyanyian-nyanyian cinta: cinta akan tanah, dusun juga manusia, nyanyian-nyanyian romantis.
Selain di “emaida” perasaan-perasaan dibentuk di “dawapa: tempat menstruasi pertama seorang gadis” dan di “meepeuda: di tempat duka.”
Konsep sehat dilihat dari segi sosial
Konsep sehat ini berarti kemampuan untuk membuat dan mempertahankan hubungan dengan orang lain. Konsep sehat dari segi sosial (mempertahankan hubungan baik dengan orang lain) manusia Mee mengenal istilah “ipa, ipa dimi: kasih atau cinta kasih, kasih saya.”
Ipa atau ipa dimi ini mendominasi kehidupan manusia Mee, sehingga konsep ini membentuk manusia mee untuk saling mencintai. Selain itu, konsep lain adalah “meeko bee tegai atau mee bee teewi, jangan membenci atau jangan membuat sesama tersakiti.”
Konsep-konsep demikian membuat manusia Mee memandang sesamanya sebagai manusia. Selalu menjaga hubungan yang harmonis dan damai. Konsep ini juga yang membentuk manusia Mee untuk selalu bersatu dan bersaudara, berkeluarga dan memiliki ikatan darah yang kuat. Yang paling kuat dan tak terputuskan adalah adanya ikatan darah, marga dan klan-klan, berdasarkan dusun dan wilayah adat.
Konsep sehat dilihat dari aspek spiritual
Konsep sehat spiritual ini berkaitan dengan kepercayaan dan praktik keagamaan berkaitan dengan perbuatan baik, secara pribadi, prinsip-prinsip tingkah laku, dan cara mencapai kedamaian dan merasa lalai dalam kesendirian. Konsep sehat dari aspek spiritual, orang Mee mengenal Allah dengan istilah “Ugatamee, Poyamee, Toutomee.”
Orang Mee memanggil Ugatamee yang disebut Allah. Karena itu, kepercayaan, keberimanan dan keberagamaan orang Mee dapat dikatakan sama dengan agama Samawi (Kristen, Islam, dan Yahudi).
Kalau pun orang Mee percaya akan hal-hal gaib, benda-benda gaib, pada umumnya bukan menggantikan posisi Ugatamee. Benda-benda gaib yang dimaksud bukan yang tidak baik atau jahat “black magic” melainkan benda-benda baik “white magic” untuk menyuburkan, menghidupkan dan memperbaiki.
Di samping itu orang Mee mempunyai kepercayaan pada “Ipuwe: pelindung atau penjaga pribadi, marga, atau bangsa.” Ipuwe atau pelindung diyakini oleh orang Mee sebagai yang diberikan oleh Allah sendiri, sebagai utusan Allah untuk menjaga ciptaan-Nya. Orang Mee dari agama modern, hampir 99% lebih beragama Kristen, hanya sebagian kecil yang masuk agama Islam, sementara masih ada saja mengikuti agama budaya, tapi isi dari kepercayaan agama asli bermuara pada Allah “Ugatamee” sebagai Pencipta dan Penyelenggara hidup.
Konsep sehat dilihat dari societal
Konsep societal berkaitan dengan kesehatan pada dingkat individual yang terjadi karena kondisi-kondisi sosial, politik ekonomi dan budaya yang melingkupi individu tersebut. Adalah tidak mungkin menjadi sehat dalam masyarakat yang “sakit” yang tidak dapat menyedihkan sumber-sumber pemenuhan dasar dan emosional (Djekky, 2001:8).
Konsep sehat dari societal dalam hubungan individu dalam kaitan dengan kondisi riil sosial, ekonomi, politik dan budaya dikenal dengan konsep “kepemilikan bersama, kebersamaan dan kesatuan: utoma ipuwe, abuya ipuwe, enaimo, enato”.
Konsep kesatuan dan persatuan ini memungkinkan setiap individu merasa diperhatikan, merasa dihargai dan merasa berharga di hadapan sesama manusia dan di hadapan Tuhan Pencipta.
Konsep kepemilikan bersama “abuya atau ipoya ipuwe, enaimo ipuwe” mendorong individu merasa memiliki terhadap segala sesuatu termasuk merasa bertanggung jawab atas semua bidang kehidupan. Maka, di samping sebagai pribadi mengharapkan dukungan dari sesama, juga dari alam, individu itu juga harus bertanggung jawab atas setiap manusia yang lain, dan terhadap alam.
Bagi orang Mee, ia harus bertanggung jawab atas kehidupan sesama. Seperti ia mengharapkan bantuan dari sesama, dan alam, ia harus bertanggung jawab membantu sesama dan alam. Inilah satu bentuk “resiprositas” yang dihidupi oleh orang Mee dalam upaya menjaga hubungan harmonis antara sesama makhluk hidup sebagai ciptaan Allah, tidak hanya manusia, tetapi juga lingkungan alam, dari semua bidang kehidupan, baik sosial, ekonomi, politik maupun budaya.
Penutup
Cara perawatan kesehatan dari suku bangsa Mee ini tidak lain adalah bagaimana manusia Mee hidup dan bertumbuh secara sehat, baik secara fisik maupun psikis, baik secara jasmani maupun rohani. Tulisan ini mengundang manusia Mee untuk kembali menyadari kekayaan kesehatan yang terkandung dalam dirinya.
Bahwa menjaga kesehatan pertama-tama dari diri dan berimbas pada lingkungan. Apotek hidup yang dikembangkan Dekenat Paniai dalam menumbuhkan aneka obat tradisional dengan nilai-nilai kebijaksanaan lokal yang dimiliki orang Mee dapat membendung arus sakit dan penyakit, bahkan menutup pintu penderitaan dan kematian. (*)
Penulis adalah mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Cenderawasih